Warga Dolly Terus Berjuang Cari Rupiah Halal

Their struggle is real...

Prostitusi adalah salah satu profesi paling kuno di dunia. Coba tengok kitab suci orang Kristen. Di sana ada beberapa ayat yang menyebutkan tentang profesi pelacur. Ribuan tahun kemudian, seks tetap menjadi sebuah komoditas yang diperdagangkan.

Bagaimana cara menghapusnya dari muka bumi? Menurut Karl Marx itu sulit dilakukan selama kapitalisme masih ada sebab "seks hanyalah salah satu bentuk prostitusi umum yang dilakukan pekerja".

Namun, tidak demikian menurut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Perangnya melawan kegiatan prostitusi di Jarak-Dolly sudah diketahui publik sejak ia menjabat pada 2010. 

Warga Dolly Terus Berjuang Cari Rupiah HalalIDN TV
Kawasan Putat Jaya yang dulu dikenal sebagai Dolly kini lebih kondusif. 

Empat tahun kemudian, tepatnya di bulan Juni, Risma secara resmi mengakhiri keberadaan lokalisasi legendaris itu. Perputaran uang sebesar miliaran rupiah per malam pun menghilang dalam sekejap.

Akan tetapi, langkah tersebut tidak membuat Putat Jaya –kawasan di mana lokalisasi itu berada– seratus persen bebas dari pekerja seks komersial (PSK). Beberapa warga yang kami temui mengaku masih ada yang tetap menjajakan diri, hanya saja jumlahnya sudah sangat jauh berkurang.

Baca juga: Rela Tak Jadi Pengacara, Perempuan Ini Pilih Main Film Porno

Tak hanya soal lingkungan, mata pencaharian warga pun turut berubah.

Warga Dolly Terus Berjuang Cari Rupiah HalalIDN TVSeorang pedagang kaki lima melintas di daerah Putat Jaya, Ahad (15/10). Geliat ekonomi di sana kini tak lagi bergantung pada lokalisasi. 

Meski begitu, secara kasat mata, Putat Jaya kini terlihat seperti perkampungan lainnya di Surabaya. Tak ada lagi pengeras suara sember yang memutar lagu-lagu house remix atau dangdut dengan kencang. Tak ada lagi ribuan kendaraan yang berjejer setiap waktu untuk mencari "kepuasan sesaat".

Bukan itu saja yang terlihat beda. Masyarakat yang dulu menggantungkan hidup dari lokalisasi dengan membuka warung kopi, toko kelontong, laundry maupun rumah kos kini menjalani kehidupan yang berbeda.

Warga Dolly Terus Berjuang Cari Rupiah HalalIDN TVAnak-anak Putat Jaya sedang bermain di area makam

"Adik ipar saya baru keluar dari penjara. Dia ditahan tujuh bulan," kata salah satu ibu yang merupakan warga Putat Jaya. Saat kami tanya apa penyebabnya, ibu itu menjawab, "Dia buka 'layanan' diam-diam, lalu ketahuan aparat. Sekarang dia mungkin stres karena dulu kan punya wisma."

Tak bisa dipungkiri bahwa urusan ekonomi menjadi perbedaan lain yang mencolok dari lingkungan bekas lokalisasi Jarak-Dolly, terutama beberapa bulan setelah ditutup. "Banyak yang kaget. Persoalannya kan mau kerja apa?" ujar Dwi, seorang ibu rumah tangga yang kami wawancara.

Hal senada juga diungkapkan oleh Jarwo. Selama bertahun-tahun ia berjualan kopi dengan keuntungan ratusan ribu per hari. Ia sempat dikenal sebagai salah satu warga terdampak yang dengan keras menolak penutupan Dolly. 

Warga Dolly Terus Berjuang Cari Rupiah HalalIDN TVKawasan Putat Jaya pada sore hari. Tak ada lagi degup kencang musik dangdut. 

Jarwo bahkan masuk daftar pencarian orang (DPO) yang disebar oleh polisi karena aksi demonstrasinya di kantor kecamatan dan pasar. "Kalau bisa jangan langsung menutup semuanya, tapi pelan-pelan, sampai kami punya modal," ucapnya.

"Saya menolak karena yang dapat kompensasi hanya PSK, mucikari dan pemilik wisma, sedangkan PKL (pedagang kaki lima) juga warga terdampak, gak dapat ganti rugi, bagaimana nasibnya?" kata Jarwo.

Sekarang warga tengah bangkit dan berusaha mendapatkan sumber penghasilan baru.

Warga Dolly Terus Berjuang Cari Rupiah HalalIDN TVJarwo yang dulu getol menolak penutupan Dolly kini menikmati kehidupannya sebagai pengusaha tempe.

Setelah penutupan lokalisasi, warga yang terdampak memeras keringat untuk tetap bisa menghasilkan rupiah. Dibantu oleh Gerakan Melukis Harapan (GMH) dan Pemerintah Kota Surabaya, mereka berupaya bangkit untuk mandiri.

Dwi dan tujuh ibu-ibu lain, kini aktif terlibat dalam usaha pembuatan oleh-oleh keripik berbagai rasa khas Dolly bernama Samijali. "Intinya kita jualan itu cari uang. Ibu-ibu pasti [mencari] uang. Siapa saja yang bisa membantu perekonomian kita lagi, itu yang kita tunggu," kata Dwi.

Begitu juga dengan Saropah, Hariyani dan dua ibu lainnya. Keduanya memanfaatkan pelatihan yang disediakan GMH untuk membuat minuman hasil olahan rumput laut yang segar dengan nama Orumy.

Warga Dolly Terus Berjuang Cari Rupiah HalalIDN TVSaropah dan Hariyani saat menceritakan awal usaha mereka.

"Kalau lagi ramai, kita bisa dapat Rp 5 - 6 juta per bulan, lalu dibagi berempat. Itu kalau ramai, banyak pesanan. Kita kan produksi berdasarkan pesanan," ujar Saropah. Ia pun pernah merasa sedikit putus asa jika pesanan sepi. "Tapi ya kita terus saja [berusaha]," tegasnya.

Jarwo, yang pernah memiliki kakak sebagai pelayan di salah satu wisma di Dolly, juga beralih profesi sebagai pengusaha tempe. Dibantu oleh istrinya, Jarwo memproduksi tempe yang diberi nama Tempe Bang Jarwo.

Dengan mengendarai sepeda uniknya, ia menitipkan tempe-tempenya ke beberapa pedagang untuk dijual. "Kalau penghasilan bersih bisa dapat Rp 3 juta per bulan," ungkapnya.

Warga Dolly Terus Berjuang Cari Rupiah HalalIDN TVDwi kini menjadi pengusaha kripik Samijali, oleh-oleh khas Dolly.
Perjuangan warga Putat Jaya memang masih panjang. Namun, mereka kini tengah berusaha meyakini bahwa meski jauh berkurang, tapi penghasilan yang didapat dengan cara halal akan lebih bermakna dan berkah.

Baca juga: Pelanggaran HAM di Balik Laris Manis JAV

Topik:

Berita Terkini Lainnya