Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Komisi III DPR RI gelar RDPU bersama LPSK dan Peradi membahas RUU KUHAP
Komisi III DPR RI gelar RDPU bersama LPSK dan Peradi membahas RUU KUHAP (IDN Times/Amir Faisol)

Intinya sih...

  • Pengadilan bisa menetapkan rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat

  • Ketentuan ini sejalan dengan KUHP baru dan prinsip pertanggung jawaban pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru

  • Disabilitas tak mungkin punya niat jahat, sehingga penyandang disabilitas mental tidak dapat dijatuhi pidana tetapi direhabilitasi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Komisi III DPR RI dan pemerintah menyepakati ketentuan baru dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terkait pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat. Dalam ketentuan terbaru, mereka tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi direhabilitasi.

Adapun, ketentuan tersebut dibacakan perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU KUHAP, David, dalam rapat panitia kerja Komisi III dan pemerintah Gedung DPR RI, Rabu (12/11/2025).

“Poin ini merupakan usulan dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas. Mereka mengusulkan adanya pengaturan tambahan, untuk menjamin pemberian keterangan secara bebas tanpa hambatan,” ujar David di ruang rapat.

1. Pengadilan bisa menetapkan rehabilitasi

Komisi III bantah pembahasan RUU KUHAP digelar ugal-ugalan (IDN Times/Amir Faisol)

Dalam draf RUU KUHAP, usulan itu dituangkan dalam Pasal 137A. Ayat (1) berbunyi: “Terhadap pelaku tindak pidana yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan.”

Kemudian, ayat (2) mengatur, tindakan tersebut ditetapkan dengan penetapan hakim dalam sidang terbuka untuk umum. Ayat (3) menegaskan, penetapan tindakan itu bukan merupakan putusan pemidanaan, sedangkan ayat (4) menyebutkan tata cara pelaksanaan tindakan tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah.

“Ini mengakomodir agar penyandang disabilitas mental mendapat rehabilitasi, bukan pemidanaan. Termasuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam KUHP,” kata David.

2. Ketentuan ini sejalan dengan KUHP baru

Komisi III rapat dengar pendapat (RDP) bersama pakar hukum terkait penyusunan RUU KUHAP. (IDN Times/Amir Faisol)

Dalam rapat itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan, pemerintah sependapat dengan usulan tersebut. Ketentuan itu sejalan dengan prinsip pertanggung jawaban pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.

“Mohon maaf, Pak Ketua. Jadi dalam KUHP itu Pasal 38 dan 39 tentang pertanggung jawaban pidana memang menyebutkan bahwa bagi penyandang disabilitas mental, mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab,” ujar Edward.

“Sehingga memang putusannya bukan pemidanaan, tetapi bisa merupakan suatu tindakan yang di dalamnya adalah rehabilitasi. Koalisi disabilitas juga sudah menemui kami, dan kami setuju dengan usulan dari LBH Apik ini,” lanjutnya.

3. Disabilitas tak mungkin punya niat jahat

Komisi III bantah pembahasan RUU KUHAP digelar ugal-ugalan (IDN Times/Amir Faisol)

Gayung bersambut, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, setuju dengan ketentuan itu, karena penyandang disabilitas mental tidak mungkin memiliki niat jahat (mens rea) dalam tindak pidana.

“Kalau disabilitas mental ya iya, tidak ada mens rea. Benar, Prof Eddy (Wamenkum)?” tanya Habiburokhman.

“Iya,” jawab Edward singkat.

“Kalau begitu oke, ketok ya,” kata Habiburokhman, sambil mengetuk palu sidang menyetujui pasal tersebut.

Editorial Team