Kementerian HAM Usulkan 10 Poin Krusial dalam Revisi RUU KUHAP

- Kementerian HAM memberikan 10 poin masukan terhadap RUU KUHAP
- Penangkapan, pra peradilan, alasan penahanan, pemisahan tempat tahanan, kompensasi, otoritas hakim, bantuan hukum, larangan bukti penyiksaan, hingga izin penyadapan terbatas
Jakarta, IDN Times - Kementerian HAM (Kemen HAM) memberikan 10 poin masukan terhadap revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR pada Senin (22/9/2025). Kementerian HAM yang diwakili Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, mengatakan, ada 10 isu yang mereka identifikasi sebagai isu yang krusial.
"Sedikitnya, ada 10 isu yang kami identifikasi sebagai isu yang krusial terkait hak asasi manusia dalam RUU KUHAP," kata dia.
Dalam paparannya, Mugiyanto mengatakan, RUU KUHAP dinilai masih lemah. Dia pun merekomendasikan aturan jelas soal penangkapan, pra peradilan, alasan dan evaluasi penahanan, pemisahan tempat tahanan, kompensasi, otoritas hakim, bantuan hukum, larangan bukti penyiksaan, hingga izin penyadapan terbatas.
1. Penangkapan dan pra peradilan

Dia mengatakan, masih ada persoalan dari sisi aturan penangkapan yang dianggap masih belum jelas atau terlalu umum.
“Kami identifikasi persoalan di Pasal 17 KUHAP hanya mensyaratkan cukup alasan tanpa standar jelas sehingga terlalu umum. Rekomendasi kami adalah untuk memperjelas bukti permulaan sahih, wajib pencatatan rinci, dan bawa ke hakim maksimum 48 jam,” kata dia.
Hal ini, kata dia, terkait habeas corpus sesuai Pasal 9 Ayat 1 dan 2 serta general comments atas ICCPR nomor 38.
Kemudian, soal penahanan prapersidangan, pada Pasal 21 RUU KUHAP, hal itu terlalu umum dengan pernyataan 'dikhawatirkan melarikan diri.' Kemen HAM pun merekomendasikan least restrictive measures (tindakan atau langkah yang paling tidak membatasi).
“Rekomendasi kami adalah supaya diterapkan prinsip least restrictive measures dengan alternatif. Ada jaminan, wajib lapor, larangan bepergian, dan lain-lain sesuai dengan ICCPR Pasal 9 Ayat 3,” ujar dia.
2. Tentang alasan dan evaluasi penahanan

Pihaknya juga menyoroti soal alasan penahanan dalam Pasal 22 yang diatur secara abstrak atau generik. Menurut Kementerian HAM, rumusannya dalam KUHAP nanti harus spesifik, terukur, dan dapat diverifikasi sesuai Pasal 2 dan Pasal 11 Konvensi Anti Penyiksaan.
"Penangkapan tanpa dasar jelas membuka ruang penyiksaan,” kata dia.
Mugiyanto mengatakan, Pasal 29 RUU KUHAP hanya memuat soal evaluasi yang tak dijelaskan dengan detail sehingga pihaknya merekomendasikan adanya evaluasi penahanan per periodik. Hal ini sebagaimana Pasal 9 Ayat 3 ICCPR dan general comments ICCPR nomor 36.
“Rekomendasi kami adalah adanya evaluasi periodik. Misalnya, ditetapkan tiap dua bulan. Substansial dengan kehadiran penasehat hukum,” kata dia.
3. Pemisahan tempat penahanan dan pemulihan penahanan yang sewenang-wenang

Kementerian HAM juga menyoroti Pasal 31 RUU KUHAP yang tidak mengatur pemisahan tahanan praperadilan. Dengan begitu, kata dia, perlu ada pemisahan tempat penahanan bagi tersangka yang sedang dalam proses praperadilan.
“Rekomendasi kami adalah larangan ditahan di kantor penyidik. Wajib pemisahan tahanan praperadilan dan narapidana sesuai dengan ICCPR Pasal 10, serta Mandela Rules, serta Konvensi Anti Penyiksaan Pasal 11,” ujar dia.
Pihaknya juga menyoroti penahanan sewenang-wenang dan pemberian kompensasi yang belum diatur dalam KUHAP. Kementerian HAM meminta soal pemberian pemulihan secara penuh yang sesuai Pasal 9 Ayat 5 ICCPR dan Konvensi Anti Penyiksaan, yakni hak atas reparasi atau pemulihan.
4. Soal otoritas penahanan dan aturan mengenai bantuan hukum

Mugiyanto juga memberikan usulan RUU KUHAP yang termuat dalam pasal 20 RUU KUHAP memberikan peran dominan terhadap penyidik dan penuntut.
Rekomendasi dari Kementerian HAM, hanya hakim independen yang boleh memperpanjang masa penahanan. Hal ini sesuai dengan Pasal 9 Ayat 3 ICCPR dan kovenan antipenyiksaan.
Mugiyanto turut menyoroti rancangan aturan mengenai bantuan hukum yang dianggap umum sehingga merekomendasikan adanya akses sejak awal penangkapan, hak atas komunikasi privat dan bantuan dari penasehat hukum yang efektif. Hal itu sesuai ICCPR Pasal 14 Ayat 3 dan Konvensi Anti Penyiksaan.
5. Melarang bukti hasil penyiksaan dan penyadapan

Selanjutnya, Pasal 184 RUU KUHAP yang disebut belum tegas melarang bukti hasil penyiksaan.
“Rekomendasi kami adalah penting untuk menegaskan adanya exclusionary rule, larangan mutlak bukti dari proses penyiksaan. Ini secara tegas diatur dalam ICCPR Pasal 14 Ayat 3 serta Konvensi Anti Penyiksaan Pasal 15,” ujar dia.
Terakhir tentang penyadapan yang belum memiliki landasan yudisial yang kuat.
“Rekomendasi kami adalah kewajiban adanya izin dari hakim hanya untuk tidak bidang serius, jangka waktu terbatas, adanya aspek akuntabilitas dan pemberitahuan pasca penyadapan,” ucap dia.