Jenderal TNI (Purn) Soeharto dilantik menjadi Presiden RI periode 1988-1993 dalam Rapat Paripurna ke-11 Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) di gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Jumat (11/3/1988). ANTARA FOTO/N04/pras
Mengutip ANTARA, terbentuknya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) bermula dari kebijakan Presiden Sukarno yang ingin menyatukan angkatan perang dan kepolisian dalam satu wadah. Keputusan ini tertuang dalam Tap MPRS Nomor II dan III Tahun 1960. Sejalan dengan regulasi tersebut, Keputusan Presiden (Keppres) No. 21/1960 menghapus jabatan Menteri Muda Kepolisian dan menggantikannya dengan Menteri Kepolisian Negara, yang kemudian dimasukkan dalam bidang keamanan nasional bersama angkatan perang lainnya.
Pada 19 Juni 1961, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengesahkan Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13/1961, yang menetapkan Polri sebagai bagian dari ABRI dengan kedudukan sejajar dengan TNI Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Penyatuan kekuatan ini bertujuan menyeimbangkan dinamika politik sipil yang berkembang saat itu.
Namun, menguatnya peran militer menimbulkan kekhawatiran bagi Sukarno. Untuk mengimbanginya, ia mereorganisasi undang-undang darurat perang dan menetapkan dirinya sebagai Kepala Penguasa Perang Tertinggi (PEPERTI). Di saat yang sama, ia semakin mendekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara itu, pimpinan angkatan bersenjata, terutama Jenderal A.H. Nasution, melihat pengaruh PKI yang semakin besar sebagai ancaman bagi negara, dikutip dari jurnal Asrudin Azwar berjudul Dwifungsi TNI dari Masa ke Masa.
Puncaknya, setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI) dan kejatuhan Sukarno, militer menjadi kekuatan dominan dalam politik Indonesia. Sejak 1966, angkatan bersenjata menjalankan peran sosial-politik melalui konsep Dwifungsi, yang memungkinkan mereka bertugas di luar kedinasan ABRI, termasuk di sektor legislatif dan eksekutif.
Di era Orde Baru, dwifungsi ABRI semakin mengakar. Militer tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan negara tetapi juga mengambil peran dalam pemerintahan. Pengaruhnya kian dominan pasca-peristiwa G30S, dengan dalih menstabilkan situasi dan mengisi kekosongan akibat pembersihan unsur-unsur PKI di berbagai sektor. Hal ini menjadikan militer sebagai pilar utama dalam pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.