Jakarta, IDN Times - Kalah telak! Dua kata itu bisa menjadi ekspresi kesedihan bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Di saat publik menolak agar UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nomor 30 tahun 2002 tak direvisi, justru yang terjadi malah sebaliknya. Pemerintah dan DPR seolah berkonspirasi agar revisi terhadap UU tersebut segera dikebut pembahasannya dan disahkan.
Ketakutan itu pun terjadi pada Selasa siang (17/9) di ruang paripurna. DPR mengesahkan perubahan kedua di dalam UU KPK.
“Apakah pembicaraan tingkat dua atas Revisi RUU KPK dapat disetujui dan disahkan jadi UU,” tanya Fahri.
“Setuju,” jawab semua anggota Rapat Paripurna.
“Tok!,"
Namun, anehnya kendati perubahan kedua terhadap UU itu diklaim disetujui oleh semua anggota parlemen, ketika sidang paripurna justru banyak kursi kosong. Apabila dihitung per kepala yang hadir, jumlah anggota DPR nya hanya 88 orang. Padahal, pimpinan sidang paripurna yang juga Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengklaim rapat paripurna telah kuorum ada 289 dari 560 anggota DPR yang sudah menandatangani daftar hadir dalam persidangan tersebut.
Padahal, pada Senin (16/9), Ketua KPK, Agus Rahardjo telah mengirimkan surat ke DPR yang meminta agar pengesahan revisi UU komisi antirasuah agar ditunda. Pimpinan komisi antirasuah juga sudah mencoba bertemu dengan Presiden Joko "Jokowi" Widodo, namun tidak kunjung terealisasi.
Lalu, apa langkah komisi antirasuah selanjutnya?