MK Batalkan Pasal Kekebalan Hukum Pejabat di Perppu COVID-19

Pasal 27 ayat 1-3 dinilai inkonstitusional

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan materiil terkait Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

"Mengadili: Dalam Pengujian Formil: Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pengujian Materiil: Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," demikian amar putusan MK, dikutip dari situs mkri.id, Jumat (29/10/2021).

Baca Juga: Tok! RUU Mahkamah Konstitusi Sah Menjadi Undang-Undang

1. MK revisi Pasal 27 ayat 1-3

MK Batalkan Pasal Kekebalan Hukum Pejabat di Perppu COVID-19Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (Dok. Istimewa)

Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 27 ayat 1, 2, dan 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berkaitan dengan kekebalan hukum semua pejabat.

"Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga berpotensi memberikan hak imunitas bagi pihak-pihak yang telah disebutkan secara spesifik dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan impunitas dalam penegakan hukum," tulis MK.

MK tidak mengubah satu pun frasa di Pasal 27 ayat 2. Sebab, pada ayat tersebut sudah ada perubahan di dalam ayat (1) yang otomatis berimplikasi pada ayat (2).

MK pun menilai, apabila melihat konstruksi Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang secara spesifik mengatur perihal bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan penanggulangan krisis akibat pandemik COVID-19, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dan 'bukan merupakan kerugian negara', maka hal utama yang menjadi patokan adalah terkait hak imunitas yang dikhususkan bagi pejabat pengambil kebijakan.

Pejabat yang dimaksud adalah dalam hal penanggulangan krisis ekonomi akibat pandemik COVID-19 yang tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana apabila dalam hal melaksanakan tugas tersebut didasarkan pada iktikad baik, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

MK menilai munculnya kata 'biaya' dan frasa 'bukan merupakan kerugian negara' dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang tidak dibarengi dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, menyebabkan Pasal a quo menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum.

MK pun menilai penempatan frasa 'bukan merupakan kerugian negara' dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dapat dipastikan bertentangan dengan prinsip due process of law untuk mendapatkan perlindungan yang sama (equal protection). Pembedaan demikian tentunya telah mengingkari hak semua orang, oleh karena suatu undang-undang yang meniadakan hak bagi beberapa orang untuk dikecualikan tetapi memberikan hak demikian kepada orang lain tanpa pengecualian, maka keadaan demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap equal protection.

Oleh karena itu, demi kepastian hukum norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa 'bukan merupakan kerugian negara' tidak dimaknai 'bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan'.

Dengan demikian, MK mengubah Pasal 27 ayat 1 menjadi:

Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Untuk Pasal 27 ayat 3, dengan merujuk ketentuan Pasal 49 UU PTUN, maka sesungguhnya dalam keadaan pandemik COVID-19 seperti saat ini merupakan bagian dari keadaan yang dikecualikan untuk tidak dapat dijadikan sebagai objek gugatan terhadap keputusan Badan Tata Usaha Negara kepada PTUN.

MK menilai UU 2/2020 tidak hanya berkaitan dengan pandemik COVID-19, tetapi juga berkaitan dengan berbagai macam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, MK menilai harus ada fungsi kontrol.

"Dengan demikian, apabila fungsi kontrol tersebut tidak diberikan maka hal demikian berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power) dan ketidakpastian hukum. Sebab, sesungguhnya yang mempunyai kewenangan untuk menilai keputusan dan/atau tindakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum adalah Hakim Pengadilan," tulis MK.

Pasal 27 ayat 3 direvisi MK menjadi:

Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Fraksi Golkar apresiasi keputusan MK

MK Batalkan Pasal Kekebalan Hukum Pejabat di Perppu COVID-19Instagram/@dulurcakbakhun

Anggota Komisi XI DPR Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun angkat bicara mengenai keputusan MK yang membatalkan ketentuan soal kekebalan hukum pejabat dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19.

"Saya memberikan apresiasi kepada Mahkamah Konstitusi yang selalu mengawal konsistensi kita dalam menjalankan amanat konstitusi UUD 1945. Putusan MK tersebut ada beberapa perubahan yang sangat subtansial mengenai perlindungan hukum," ujar Misbakhun, dalam keterangannya, Jumat (29/10/2021).

Baca Juga: Soal Jabatan 3 Periode, Fadjroel: Jokowi Tak Akan Khianati Konstitusi

3. Misbakhun ingatkan pejabat berwenang tidak takut bekerja usai keputusan MK itu

MK Batalkan Pasal Kekebalan Hukum Pejabat di Perppu COVID-19Instagram/dulurcakbakhun

Misbakhun menilai, putusan MK itu akan berdampak signifikan. Legislator Golkar ini menambahkan, APBN dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) merupakan instrumen penting untuk menggerakkan dan mendorong perekonomian yang mengalami tekanan sangat berat akibat pandemi COVID-19.

Sebagai anggota Komisi IX DPR yang bermitra dengan Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS, Misbakhun menegaskan, akan terus berupaya mengawasi realisasi APBN dan PEN agar tidak menyimpang. Dia pun secara khusus mengingatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani agar benar-benar memegang kaidah iktikad baik dalam menjalankan kebijakan.

"Jangan sampai ada satu pasal pun yang tidak diikuti sehingga berpotensi terjadi pelanggaran," katanya.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak ini berharap, para pengambil keputusan soal APBN tidak menjadi takut dan ragu melaksanakan kebijakan pasca-putusan MK tersebut.

"Kalau sampai ketakutan ini menjadi paranoid atau trauma tersendiri bagi para pengambil kebijakan, akibatnya bisa banyak program pro rakyat dalam bentuk bantuan sosial, progam penanganan dan penanggulangan COVID-19, vaksinasi, dan PEN bakal akan terganggu atau tidak berjalan," tuturnya.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya