Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kekerasan. (IDN Times/Mia Amalia)

Jakarta, IDN Times - Kepala Sub Divisi Kekerasan Berbasis Gender Online Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Ellen Kusuma, menjelaskan representasi tubuh dalam digital atau dibagikan dalam bentuk digital, akan menimbulkan jejak digital yang mudah diakses orang lain. 

Karena tak ada kendali dari diri kita lantaran sudah bisa diakses lebih mudah oleh orang lain, kata Ellen, maka tubuh seseorang jadi lebih rentan atas berbagai risiko dan kekerasan berbasis online.

“Sayangnya kekerasan di ranah online, tidak berhenti di ranah online saja, semakin berkelindan hidup kita dengan teknologi digital, terutama melalui internet dan media sosial, setiap risiko kekerasan online tersebut dapat meluber ke kehidupan jasmaniah kita,” kata dia dalam webinar Kajian Ramadan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah bertajuk “Perempuan dan Kesalehan Digital”, Jumat (15/4/2022).

1. Selama 2021 ada 677 laporan soal KGBO

Ilustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. (IDN Times/Aditya Pratama)

Ellen menyebutkan kekerasan gender berbasis online (KGBO) paling banyak terjadi selama 2021. SAFEnet mencatat ada 677 aduan KGBO selama 2021, 508 di antaranya KGBO dalam bentuk ancaman berbasis online seperti penyebaran konten.

Seluruh kasus berkaitan dengan ranah digital membuat banyak orang, terutama perempuan harus berhadapan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Lapisan persoalan UU ITE, menurut Ellen, adalah tafsir hukum dan penerapan serta dampak sosial.

2. Apa perlindungan yang dibutuhkan?

Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Rapat Paripurna DPR RI saat pengesahan RUU TPKS pada Selasa (12/4/2022). (dok. KemenPPPA)

Dengan adanya kondisi ini, Ellen mengatakan, perlindungan yang dibutuhkan, pertama adalah kepastian hukum yang tidak bias pada perempuan dan ketubuhannya, serta penanganan dan pemulihan jejak digital korban, UU TPKS dan implementasinya, dan juga RUU perlindungan data pribadi yang berpihak pada perlindungan hak kelompok marginal.

“Penganan hukum dan teknologi yang tanggap dengan karakteristik teknologi digital dan internet,” sambungnya.

Kemudian, lanjut Ellen, perlindungan lain yang dibutuhkan adalah teknologi digital yang mengedepankan kontrol pengguna untuk jaga privasi, dan solusi yang digerakkan seluruh pemangku kepentingan.

3. Implementasi UU TPKS harus berpihak pada korban

Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Rapat Paripurna DPR RI saat pengesahan RUU TPKS pada Selasa (12/4/2022). (dok. KemenPPPA)

Ellen juga berpandangan implementasi UU TPKS oleh aparat penegak hukum haruslah benar berpihak pada korban, agar persoalan ini dapat teratasi dengan maksimal.

“Sekarang karena kita sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kita membutuhkan implementasinya yang benar-benar berpihak pada korban,” ujar Ellen.

"Misalnya, terkait dengan kekerasan berbasis gender online (KBGO), Pasal 14 UU TPKS memuat tentang kekerasan seksual berbasis elektronik. Pasal tersebut memuat perihal penindakan terhadap ancaman penyebaran konten intim dan pelacakan terhadap penguntitan. Jadi, tindakan-tindakan itu bisa dikenakan dengan UU TPKS," tegasnya.

Editorial Team