Ada 34 Pasien COVID-19 Ditolak RS, 3 Meninggal sebelum Ditangani 

Ini adalah laporan yang diterima LaporCovid19

Jakarta, IDN Times - LaporCovid19 menerima laporan ada 34 pasien COVID-19 yang ditolak oleh rumah sakit sejak 24 Desember 2020 hingga 21 Januari 2021. Para pasien tersebut ditolak dengan alasan kondisi rumah sakit penuh.

Co-founder LaporCovid19, Irma Hidayana, mengatakan relawan LaporCovid19 bersamatim dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan Kemenkes membantu mencari rumah sakit yang tersedia bagi para pasien tersebut. Dari 34 pasien itu, ada tiga pasien yang meninggal.

"Yang meninggal di puskesmas Tangerang Selatan, meninggal di taksi daring di Depok, dan satu lagi, (berasal dari) satu keluarga terdiri 8 orang yang dinyatakan positif COVID-19 dan dua yang mengalami situasi gawat darurat," tutur Irma menceritakan kisah tersebut kepada IDN Times pada Selasa (26/1/2021) melalui telepon.

Dia mengatakan pihaknya sempat membantu mencarikan dua rumah sakit bagi dua pasien yang gawat tersebut. "Salah satu dokter relawan kami berhasil mendapatkan satu rumah sakit untuk mengirim dua orang ini. Tetapi, situasi ICU nya juga sudah penuh, sehingga begitu dipindahkan ke sana, pasien sudah tidak bisa diselamatkan. Hanya dirawat selama dua hari," sambungnya.

Ia juga menambahkan pasien yang sempat menyewa ventilator senilai Rp30 juta per bulan di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Pusat, turut dilaporkan meninggal dunia. Menurut Irma, kondisi ini menandakan fasilitas kesehatan dan rumah sakit sedang kolaps. 

"Jadi, sekarang yang harus dibenahi adalah mengapa rumah sakit bisa sampai penuh dan solusinya seperti apa," tutur dia lagi. 

Irma mengatakan rumah sakit rujukan COVID-19 yang penuh berlokasi di area Jadebotabek. Lalu, apa saran dari LaporCovid19 bagi pemerintah untuk mengatasi penuhnya fasilitas kesehatan tersebut?

1. Menkes minta rumah sakit di bawah Kemenkes harus tingkatkan jumlah tempat tidur

Ada 34 Pasien COVID-19 Ditolak RS, 3 Meninggal sebelum Ditangani Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan akan menambah jumlah tempat tidur di rumah sakit yang berada di bawah struktural Kemenkes. Idealnya, rumah sakit memiliki tempat tidur sebanyak 30 persen dari 120 ribu jumlah kasus aktif yang ada. Maka rumah sakit harus menambah sekitar 36 ribu tempat tidur. 

Oleh sebab itu, pria yang sempat menjadi Wakil Menteri BUMN tersebut mengatakan sudah menandatangani aturan bahwa rumah sakit di bawah Kemenkes wajib menambah tempat tidur.

"Sebagai contoh, rumah sakit di bawah Kemenkes ada sekitar 14 ribu tempat tidur, tetapi yang baru dipakai untuk penyakit COVID-19 hanya 2.700. Maka, saya minta rumah sakit vertikal di bawah Kemenkes harus temporer meningkatkan kapasitasnya dari 20 persen untuk COVID-19 menjadi 30 persen hingga 40 persen. Dengan begitu, bisa bertambah 1.400 tempat tidur tanpa banyak fasilitas baru dan tambahan tenaga kesehatan," ungkap Budi ketika melakukan rapat di DPR Senayan pada 12 Januari 2021 lalu. 

Selain itu, Kemenkes meminta agar pasien yang dirawat di rumah sakit hanya yang memiliki gejala berat. Untuk pasien dengan gejala ringan, maka akan diminta melakukan isolasi mandiri. Bila tidak mampu, maka akan dibuatkan sarana isolasi mandiri terpadu. 

Sementara, untuk mengatasi terbatasnya tenaga kesehatan, maka Menkes Budi akan merelaksasi aturan Surat Tanda Registrasi (STR). Sebelumnya, untuk bisa bekerja perawat baru harus mengantongi STR. Untuk menyiasati kurangnya dokter spesialis seperti spesialis paru, anestasi, dan penyakit dalam, maka akan dilakukan pelatihan pada dokter umum untuk meningkatkan kemampuannya sehingga dapat melakukan perannya dengan baik. 

Baca Juga: Kemenkes Buka Suara Soal Dokter Meninggal usai Divaksinasi COVID-19

2. LaporCovid19 tolak permintaan Satgas COVID-19 Depok untuk buka identitas pasien yang meninggal di taksi daring

Ada 34 Pasien COVID-19 Ditolak RS, 3 Meninggal sebelum Ditangani Ilustrasi pemakaman pasien positif COVID-19. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Sedangkan, dalam forum diskusi virtual pada Senin, 25 Januari 2021 lalu, LaporCovid19 menyayangkan sikap dari Satgas COVID-19 di Depok yang meminta agar mereka membuka identitas pasien yang meninggal pada Desember 2020 lalu di taksi daring ketika mencari rumah sakit. Sebab, identitas tersebut tidak terlalu diperlukan lagi lantaran keluarga sudah selesai melakukan isolasi mandiri. 

"Kami sudah berkomitmen untuk melindungi identitas warga yang selama ini melapor ke LaporCovid19, apakah itu melaporkan pelanggaran terkait protokol COVID-19 atau warga yang meminta bantuan untuk mendapat rumah sakit dan ICU, dan sebagainya," ujar Irma. 

Ia kemudian menjelaskan awal mula memperoleh laporan tersebut pada 3 Januari 2021 lalu. Salah seorang anggota keluarga bercerita pada 12 Desember 2020 belum dilakukan tes tetapi ayah dari keluarga tersebut sudah mengalami keluhan sesak nafas hingga demam. Ia kemudian dibawa ke sebuah rumah sakit swasta untuk menjalani scan CT Thorax. 

"Saat berada di UGD, sempat ditawarkan apakah bersedia memberikan DP (down payment) Rp1 juta bila ingin memperoleh kamar. Tapi, keluarga kemudian memutuskan membawa pulang pasien karena kondisinya masih bagus," katanya. 

Namun, sayangnya satu pekan kemudian kondisi pasien memburuk dan keluarga mengontak satgas di tingkat RT di lingkungannya. Keluarga sudah sempat mengontak puskesmas dan meminta ambulans. Setelah ditunggu selama beberapa jam, mobil ambulans tidak datang. 

"Kemudian, keluarga memutuskan membawa dengan taksi daring dan berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Dalam perjalanan mencari rumah sakit itu, pasien meninggal dunia dan tidak tertolong," ungkap Irma. 

3. Positivity rate COVID-19 di RI sudah mencapai rekor 33 persen, tertinggi sejak Maret 2020

Ada 34 Pasien COVID-19 Ditolak RS, 3 Meninggal sebelum Ditangani Perjalanan Pandemik COVID-19 di Indonesia sejak Januari-Oktober 2020 (IDN Times/Sukma Shakti)

Sementara, perwakilan dari CISDI (Centre for Indonesia's Strategic Development Initiative), Yurdhina Melissa mengatakan angka positivity rate COVID-19 di Indonesia yang terus memecahkan rekor menandakan pandemik semakin tidak terkendali. Berdasarkan data pada 25 Januari 2021 lalu, positivity rate COVID-19 mencapai angka 33 persen. Itu merupakan angka tertinggi sejak kasus pertama COVID-19 diumumkan Maret 2020 lalu. 

Yurdhina juga menyayangkan pemerintah tidak memiliki sistem untuk memantau secara real time kapasitas rumah sakit rujukan COVID-19. 

"Masyarakat disuruh mengatur sendiri sistem rujukan dan itu sudah costing kita banyak sekali nyawa," kata Yurdhina.

Ia menyadari Kemenkes memang memiliki aplikasi Sistem Informasi Rawat Inap (Siranap). Sedangkan, Pemprov DKI Jakarta juga mempunyai executive information system (EIS) Dinas Kesehatan untuk memantau kapasitas rumah sakit. Namun dua aplikasi itu tidak memberikan informasi secara real time.

Informasi yang disampaikan hanya mencakup rumah sakit milik pemerintah dan tidak mencakup rumah sakit swasta. Oleh sebab itu, ia mendorong agar pemerintah mengisi gap dalam urusan data tersebut. Pemerintah pun, kata Yurdhina, bisa ikut melibatkan masyarakat sipil untuk membantu. 

Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan COVID-19, menggelar kampanye 3M: Gunakan Masker, Menghindari Kerumunan, atau jaga jarak fisik dan rajin Mencuci tangan dengan air sabun yang mengalir. Jika protokol kesehatan ini dilakukan dengan disiplin, diharapkan dapat memutus mata rantai penularan virus. Menjalankan gaya hidup 3M, akan melindungi diri sendiri dan orang di sekitar kita. Ikuti informasi penting dan terkini soal COVID-19 di situs covid19.go.id dan IDN Times.

Baca Juga: Susah Cari Rumah Sakit, Pasien COVID-19 Meninggal di Taksi Online

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya