Ahli: Ekstradisi dengan Singapura Tak Ampuh untuk Boyong Koruptor BLBI

Perjanjian dengan Singapura hanya retroaktif 18 tahun

Jakarta, IDN Times - Guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menjelaskan perjanjian ekstradisi yang diteken Pemerintah RI dengan Singapura pada 25 Januari 2022 lalu, tidak punya taji untuk memboyong pulang tersangka kasus pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hal itu lantaran kesepakatan tersebut hanya bisa berlaku surut atau retroaktif hingga 18 tahun. Artinya, pelaku tindak kejahatan yang buron dan bisa dibawa pulang yang terjadi pada periode 2004 hingga 2022. 

Hikmahanto menegaskan perjanjian ekstradisi dengan Singapura lebih efektif seandainya diratifikasi pada 2007 lalu di Bali. Sebab, pemerintah bisa memboyong semua buron yang melakukan tindak kejahatan mulai dari tahun 1992 hingga 2007. Ini berarti, tersangka pengempang dana BLBI yang buron di Negeri Singa pun masih bisa diboyong balik ke Tanah Air.

"Ketika 2007 lalu , kenapa dibuat retroaktif 15 tahun karena fokusnya buat BLBI. Supaya mereka yang melakukan tindak kejahatan kerah putih di BLBI itu bisa terjangkau. Apalagi banyak dari mereka kemudian beralih kewarganegaraan menjadi WN Singapura," ungkap Hikmahanto ketika dihubungi IDN TImes pada Sabtu, 29 Januari 2022 lalu.

"Sekarang, seandainya perjanjian ekstradisi itu diratifikasi 2022 lalu dikurangi masa retroaktif 18 tahun, apakah pemerintah dapat menjangkau tersangka-tersangka itu?" lanjutnya. 

Dia mengaku kecewa karena perjanjian ekstradisi itu digandengkan dengan kesepakatan pertahanan (DCA) dan tata kelola navigasi udara (FIR). Oleh sebab itu, Hikmahanto menyebut narasi yang disampaikan oleh pemerintah usai pertemuan dengan PM Lee Hsien Loong di Bintan, Riau adalah euforia semata. 

"Ini kok perjanjian yang sama malah diulang lagi? Ini masalah kedaulatan lho, karena DCA itu kita kasih area berlatih militer untuk Singapura," katanya. 

Apakah perjanjian ekstradisi ini bakal diratifikasi oleh DPR?

1. Anggota Komisi III Arsul Sani minta semua pihak jangan euforia dulu

Ahli: Ekstradisi dengan Singapura Tak Ampuh untuk Boyong Koruptor BLBIIDN Times/Margith Juita Damanik

Sementara, anggota Komisi III dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, meminta semua pihak agar tidak terlalu gembira dulu ketika mendengar pemerintah akhirnya punya kesepakatan ekstradisi dengan Singapura. Sebab, usai diteken, kesepakatan itu tak bisa langsung dieksekusi atau berlaku. Masih dibutuhkan proses ratifikasi di DPR.

Bila menilik ke belakang, ratifikasi perjanjian ekstradisi urung dilakukan oleh DPR pada 2007 lalu karena digandeng dengan kesepakatan pertahanan. Isi kesepakatan pertahanan tersebut dianggap lebih banyak merugikan Indonesia.

"Bila perjanjian ekstradisi ini benar-benar di-bundling dengan DCA, tentu akan menjadi pertanyaan. Kami akan meninjau lebih lanjut dan bertanya kepada ke pemerintah apa sih poin positif retroaktif 18 tahun itu? Sebab, tanpa itu (tertulis di ekstradisi) kan sudah ada di KUHP soal kedaluwarsa kasus," tutur Arsul kepada media pada 26 Januari 2022 lalu. 

Dia sepakat bila pemerintah membidik pengemplang dana BLBI yang buron ke Singapura, maka perjanjian ekstradisi ini tidak cukup kuat. Sebab, peristiwanya sudah terjadi lebih dari 18 tahun lalu. 

"Jadi, perkara perjanjiannya berlaku surut sampai 18 tahun lalu, tidak bisa juga dikatakan sebuah positive outcome," kata dia. 

Arsul mengaku belum mendapatkan naskah resmi dari perjanjian yang diteken oleh pemerintah dan Singapura. Arsul memperkirakan naskah resmi baru diperoleh ketika surat presiden sudah masuk. 

Baca Juga: Indonesia Akhirnya Izinkan Singapura Latihan Militer di Wilayah RI

2. Pelaku tindak kejahatan Indonesia bisa dibawa pulang dari Singapura tanpa ekstradisi

Ahli: Ekstradisi dengan Singapura Tak Ampuh untuk Boyong Koruptor BLBIInstagram/@hikmahantojuwana

Hikmahanto mengatakan pemerintah tetap bisa memboyong sejumlah pelaku tindak kejahatan dari Negeri Singa tanpa adanya perjanjian ekstradisi. Termasuk kasus korupsi. 

Dia tak menampik dengan adanya perjanjian ekstradisi, maka Singapura wajib menyerahkan pelaku tindak kejahatan yang kabur lalu dikembalikan ke Indonesia.

"Bila tanpa ada perjanjian ekstradisi, maka menjadi hak Singapura untuk menyerahkan tersangka yang kabur atau tidak," ujarnya. 

Di sisi lain, Hikmahanto mengungkapkan meski sudah terikat dalam perjanjian ekstradisi, tetapi pelaku yang kabur, tindak kejahatannya juga harus diakui secara hukum di Singapura. Hal tersebut dikenal dengan istilah "dual criminality".

"Apakah korupsi yang dikenal di Indonesia, misalnya berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Bila kejahatan itu tidak diakui di Singapura, maka pihak yang diminta untuk didatangkan ke Indonesia bisa menolak dan pergi ke pengadilan Singapura serta mempertanyakan kenapa harus dikirim ke Indonesia" kata dia. 

3. Singapura sudah lama tak mau lagi dikenal sebagai tempat bersembunyi bagi buronan Indonesia

Ahli: Ekstradisi dengan Singapura Tak Ampuh untuk Boyong Koruptor BLBIIlustrasi Universal Studio, Singapura (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Hikmahanto mengatakan sudah sejak lama Singapura tak ingin lagi disebut-sebut sebagai tempat persembunyian buronan dari Indonesia. Itu sebabnya, tanpa ada perjanjian ekstradisi pun, bila diminta oleh pemerintah, buruonan tersebut akan dikembalikan. 

Dia juga menyebut aset-aset yang ikut dibawa ke Singapura tetap bisa dipulangkan ke Indonesia dengan menggunakan mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) ASEAN. Hikmahanto menyebut perjanjian ekstradisi yang memiliki efek gentar adalah yang diteken pada 2007 lalu. Itu sebabnya, sempat banyak pelaku kejahatan kerah putih memilih kabur ke China ketimbang Singapura.

"Tetapi, kan akhirnya perjanjian tahun 2007 itu gak kunjung diratifikasi karena digandeng oleh Singapura dengan perjanjian pertahanan. Jadi, sudah tidak ada lagi efek gentarnya," tutur Hikmahanto.

Baca Juga: Akhirnya Indonesia Punya Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura 

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya