Bantah Bermuatan Politis, KPK Klaim Punya Bukti Dalam Setiap OTT

PDIP menuding informasi OTT dipasok oleh rival politik

Jakarta, IDN Times - Operasi senyap yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menuai kritik. Kali ini kritik datang dari partai pemenang pemilu 2014, PDI Perjuangan. Mereka menganggap OTT terhadap dua kepala daerah yakni Bupati Tulungagung, Syahri Mulyo dan Walikota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar bermuatan politis.

Menurut Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, operasi senyap itu digelar berdasarkan informasi dari pihak lawan politik Syahri di Tulungagung. Yang tujuannya menurut dia, apalagi kalau gak untuk menjatuhkan Bupati petahana tersebut, sehingga nama dan kredibilitasnya buruk di mata rakyat. Dengan begini, maka Syahri gak akan memenangkan Pilkada. 

Bahkan, Hasto pun mengatakan kalau rakyat di Tulungagung pun bisa memilah mana yang benar-benar upaya pemberantasan korupsi, mana yang bermuatan politis. 

"Mereka (rakyat) sendiri yang mengatakan ini bagian dari rivalitas Pilkada. Jadi, rakyat ini kan sangat cerdas," ujar Hasto hari Selasa (12/6) kemarin di Stasiun Senen. 

Lalu, bagaimana KPK menanggapi OTT bermuatan politis ini? Apa betul sesuai aturan, penyidik dibolehkan menangkap seseorang yang diduga menerima suap tapi gak tertangkap basah memegang uang itu?

1. KPK yakin memiliki bukti sebagai dasar dalam upaya penindakan

Bantah Bermuatan Politis, KPK Klaim Punya Bukti Dalam Setiap OTTIDN Times/Sukma Shakti

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengatakan lembaga anti rasuah selalu didasari bukti ketika melakukan upaya penindakan. Jadi, motif politis yang disebut Hasto, sama sekali gak benar.

"Dalam hal target berlatar belakang politik tertentu dan menimbulkan framing KPK menjadi politis itu hanya dinamika atau reaksi normal saja," ujar Saut melalui pesan pendek kepada IDN Times pada Rabu (13/6).

"KPK selalu memilik bukti bahwa peristiwa pidananya ada dan sempurna atau disebut 'vooltoid'," katanya lagi.

Lembaga anti rasuah sesungguhnya juga sudah siap munculnya tudingan semacam ini. Sebab, mereka memilih untuk tetap memproses kasus korupsi kendati itu dilakukan oleh penyelenggara negara yang ikut Pilkada 2018. KPK menjadi satu-satunya lembaga yang mengambil sikap seperti itu. Sementara, kejaksaan dan kepolisian memilih menunda untuk memproses calon kepala daerah yang terjerat kasus korupsi hingga Pilkada usai. Kecuali untuk peristiwa OTT.

Namun, kini muncul istilah "OTT gaya baru" yang disebut oleh Ketua DPP PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno. Disebut gaya baru karena penyidik KPK gak menangkap tangan kepala daerah tengah menerima uang suap. Mereka ditangkap berdasarkan informasi dari kurir yang ditangkap tangan oleh penyidik KPK.

2. Kalau gak puas bisa saja ajukan gugatan pra peradilan 

Bantah Bermuatan Politis, KPK Klaim Punya Bukti Dalam Setiap OTTIDN Times/Sukma Shakti

KPK kemudian memberikan alternatif kalau memang gak puas terhadap proses penangkapan yang dilakukan pada Rabu (6/6). Mereka bisa ajukan pra peradilan ke pengadilan.

"Pasangan suami istri aja ada check and balancenya, apalagi KPK. Kami juga dicheck and balance dengan aturan hukum dan KUHAP yang sudah mengaturnya. Itu bagian dinamika normal yang tadi saya sebutkan," kata Saut.

Sementara, kuasa hukum Walikota Blitar, Bambang Arjuno mengatakan tengah mempertimbangkan opsi tersebut. Namun, belum ada keputusan final mengenai hal tersebut.

"Kami akan pertimbangkan bersama tim (kuasa hukum) yang lain termasuk dengan klien kami," ujar Bambang pada 9 Juni lalu.

3. PDI Perjuangan akan memberikan bantuan hukum bagi Syahri dan Samanhudi

Bantah Bermuatan Politis, KPK Klaim Punya Bukti Dalam Setiap OTTIDN Times/Teatrika Handiko Putri

PDI Perjuangan memutuskan memberikan bantuan hukum dan advokasi bagi dua kepala daerah yang ditangkap oleh penyidik KPK tersebut. Sebab, lagi-lagi menurut mereka penangkapan keduanya didasari alasan politis. Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto bahkan menyebut sempat mendapat peringatan dari lawan politiknya, akan terjadi sesuatu yang besar di Tulungagung.

"Dua hari sebelum hari H terjadi OTT, ada tim kampanye lawan yang mengatakan akan terjadi peristiwa yang luar biasa. Kami tahu siapa orang tersebut yang akan mengubah peta politik di Tulungagung. Jangan gunakan hukum kalau rivalitas di Pilkada sebagai senjata," ujar Hasto.

Apalagi menurut dia, peluang Syahri untuk menang di Pilkada Tulungagung sangat besar. Dari sisi elektabilitas, bupati petahana yang diusung lagi oleh PDI Perjuangan itu mencapai 63 persen. Sedangkan, Samanhudi, Walikota Blitar, memiliki elektabilitas 92 persen.

"Artinya, basis legitimasinya sangat kuat," kata dia lagi.

Maka, PDI Perjuangan memutuskan untuk membela kedua kadernya itu. Walaupun keduanya resmi menyandang status tersangka kasus korupsi dan telah ditahan KPK.

"Kami tetap memberikan dukungan dengan melakukan advokasi di Blitar dan Tulungagung karena ada politisasi di situ. Kalau di daerah lain, suara kami langsung pecah seketika. Tetapi, kami bisa pastikan ini berdasarkan suara rakyat bahwa ini terkait rivalitas Pilkada," tutur Hasto.

Menurut penyidik KPK, baik Syahri dan Samanhudi diduga kuat menerima uang suap dari kontraktor yang sama yakni bernama Sulistyo Prabowo. Syahri diduga menerima uang suap senilai Rp 1 miliar, sedangkan Samanhudi diduga menerima uang sebesar Rp 1,5 miliar. Penyidik menemukan barang bukti uang senilai Rp 2,5 miliar yang disimpan di dalam kardus saat dilakukan operasi senyap.

Topik:

Berita Terkini Lainnya