Catatan 1 Tahun Pandemik RI: Kasus Kematian Tinggi, Tes Masih Rendah

1 tahun berlalu, 1.341.314 orang sudah terpapar COVID-19

Jakarta, IDN Times - Epidemiolog dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman memberikan catatan refleksi setahun penanganan pandemik di Indonesia. Menurut dia, memasuki satu tahun pandemik COVID-19, penanganannya masih buruk.

Hal itu tercermin dari jumlah tes dan pelacakan yang rendah. Sementara, angka kematian akibat COVID-19 masih tetap tinggi. Berdasarkan data dari Satgas Penanganan COVID-19 per 1 Maret 2021, terdapat 6.680 kasus harian, sehingga total orang yang terpapar mencapai 1.341.314. Sementara, yang meninggal mencapai 36.325 dan individu yang sembuh 1.151.915. 

Pada Senin kemarin jumlah orang yang dites hanya 18.940. Angka itu jauh dari standar yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) yakni 38.600 tes per hari. Positivity rate-nya pun tinggi yaitu 18,6 persen. 

Kini setelah mulai program vaksinasi, jumlah tes dan pelacakan malah turun drastis. Sebab, pemerintah justru fokus mengejar kekebalan kelompok dengan memberikan vaksinasi ke sebanyak-banyaknya warga. 

"Program 3T (tes, tracing dan treatment) tidak boleh dilepaskan meski sudah ada vaksinasi karena berbahaya. Sebab, berpotensi meningkatkan angka kematian," ungkap Dicky kepada IDN Times pada Senin malam, 1 Maret 2021. 

Hal lain yang juga disorot oleh Dicky yaitu pemerintah masih sibuk ke pengobatan (kuratif) ketimbang pencegahan. Salah satunya dengan 3T tersebut.

Ia juga memberi catatan bagi para pejabat tinggi yang memiliki kewenangan di Indonesia. Apa itu?

1. Pejabat publik di Indonesia dalam membuat kebijakan harus didasari data dan sains

Catatan 1 Tahun Pandemik RI: Kasus Kematian Tinggi, Tes Masih RendahDeretan pernyataan nyeleneh para pejabat tinggi soal pandemik COVID-19 (IDN Times/Sukma Shakti)

Ada dua hal yang disorot oleh Dicky terkait para pejabat publik dalam menangani pandemik COVID-19. Pertama, agar mereka bisa dijadikan teladan oleh publik. Kedua, pejabat publik dalam mengambil kebijakan harus didasari sains. 

"Kan kita alami dan lihat statement-statement mereka banyak yang tidak didasari sains. Tentu akan kontraproduktif dengan upaya penanganan pandemik," ujar Dicky. 

Beberapa pernyataan dari pejabat publik yang kontroversial dan tak didasari sains antara lain virus Sars-CoV-2 bisa mati. Hal itu pernah disampaikan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan.

Ada pula pernyataan dari Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengenai kalung anticorona. Klaim itu kemudian dibantah ahli di bidang farmakologi yang mewanti-wanti sembarang produk tak bisa diklaim antivirus. 

Baca Juga: Fakta soal Vaksin Nusantara, Diinisiasi Terawan dan Ditolak Para Ahli

2. Dalam penanganan pandemik tak ada istilah oposisi dan pro pemerintah

Catatan 1 Tahun Pandemik RI: Kasus Kematian Tinggi, Tes Masih RendahEpidemiolog dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia (Dokumentasi pribadi)

Dicky juga menyayangkan dalam penanganan pandemik di Indonesia justru masih terjadi polarisasi. Perpecahan yang terjadi saat Pilpres 2019 lalu masih terasa hingga kini. 

"Padahal, peserta pilpresnya sudah aman damai, tapi di bawahnya masih ramai. Ini kontra produktif. Ketika ada pendapat yang ilmiah tetapi berlawanan dengan arah kebijakan pemerintah lalu dianggap oposisi, ini tak boleh terjadi," tutur Dicky. 

Ia mengatakan, Indonesia harus belajar menjadi bangsa yang kritis. Bila hal itu terjadi, maka strategi penanganan pandemik di Tanah Air hanya dilakukan sesuai keinginan dan asumsi belaka. 

"Bila itu yang terjadi maka bisa berbahaya dan merugikan kita semua," katanya lagi. 

3. Dalam menangani pandemik, negara anggota ASEAN seolah jalan sendiri-sendiri

Catatan 1 Tahun Pandemik RI: Kasus Kematian Tinggi, Tes Masih RendahIlustrasi ASEAN dan 10 negara anggotanya (www.asean-competition.org)

Catatan lain yang disampaikan oleh Dicky yaitu negara-negara anggota ASEAN justru seolah berjalan sendiri-sendiri dalam penanganan pandemik. Padahal, bila dilakukan kolaborasi, COVID-19 bisa diatasi lebih cepat. 

"Meski di Indonesia memiliki masalah di tingkat daerah dan nasional, tapi kita tetap harus berpartisipasi di kawasan regional, karena pandemik tak mengenal batas negara," kata Dicky. 

"Jadi, kita harus punya teman untuk berkolaborasi. Itu pula yang dilakukan di kawasan Uni Eropa," ujarnya lagi. 

Salah satu kerja sama yang bisa dilakukan di kawasan ASEAN yaitu dengan mengadakan travel bubble. Namun hal tersebut, kata Dicky, dibutuhkan kesamaan strategi 3T. 

Sayangnya, sejauh ini kebijakan travel bubble di kawasan ASEAN baru berlaku antara Indonesia dan Singapura. Kedua negara memberlakukan persyaratan ketat untuk bisa saling berkunjung dan tujuan kunjungan dibatasi dinas serta bisnis. 

Baca Juga: Farmakolog UGM: Hati-hati dengan Klaim Antivirus di Kalung Kementan

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya