Edhy Prabowo Tetap Bayar Rp9,68 Miliar Meski Vonisnya Disunat MA

Vonis Edhy disunat karena dianggap telah bekerja dengan baik

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Agung (MA) tetap menyatakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo bersalah, karena telah menerima suap terkait izin ekspor benih lobster. Meski begitu, MA mendiskon vonis Edhy yang semula 9 tahun bui menjadi 5 tahun bui. Selain itu, MA juga meralat putusan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik, yang semula 3 tahun menjadi 2 tahun usai keluar dari bui. 

Di sisi lain, MA juga tetap mewajibkan mantan politikus Partai Gerindra itu untuk membayar uang pengganti Rp9.687.447.219 dan US$77.000 (setara Rp1,1 miliar) dengan mempertimbangkan uang yang telah dikembalikan.

"Amar selebihnya tetap berlaku seperti uang pengganti," ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, ketika memberikan keterangan pers yang dikutip dari live streaming Instagram MA, Jumat (11/3/2022). 

Andi juga menjelaskan alasan mengapa MA mendiskon vonis bui untuk Edhy. Majelis hakim kasasi di MA menilai, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak mempertimbangkan bahwa Edhy telah bekerja dengan baik ketika ia menjabat sebagai Menteri KKP. Majelis hakim kasasi menilai, Edhy telah memberi harapan besar khususnya kepada nelayan. 

"Terdakwa mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016, dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Permen-KP/2020 dengan tujuan yaitu ada semangat untuk memanfaatkan benih lobster bagi kesejahteraan masyarakat," kata dia. 

Edhy, kata Andi, ingin memberdayakan nelayan dan membudidayakan lobster lantaran potensinya yang sangat besar di Indonesia.

"Lebih lanjut, dalam Peraturan Nomor 12 Permen-KP/2020 eksportir diisyaratkan untuk memperoleh benih-benih lobster dari nelayan kecil, sehingga jelas perbuatan terdakwa itu untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil," tutur dia lagi. 

Dengan adanya kebijakan itu, maka majelis hakim kasasi memandang perbuatan Edhy itu bisa menjadi faktor yang meringankan hukuman. "Sehingga, majelis hakim kasasi menjatuhkan putusan dalam perkara ini yaitu menolak permohonan kasasi terdakwa dengan memperbaikinya," ujar dia. 

Tetapi, benarkah Edhy murni mengeluarkan Permen yang baru soal izin ekspor benur, semata-mata untuk membuat nelayan kecil lebih sejahtera?

1. Pengusaha telah melobi Edhy Prabowo sebelum Permen izin ekspor benur terbit 14 Mei 2020

Edhy Prabowo Tetap Bayar Rp9,68 Miliar Meski Vonisnya Disunat MAEdhy Prabowo memegang lobster yang dihasilkan dari tambak di Teluk Jukung - Lombok Timur, NTB (Instagram.com/edhy.prabowo)

Menengok kembali ke awal persidangan di Pengadilan Tingkat Pertama Tipikor Jakarta Pusat pada 11 Februari 2021, terungkap bahwa Edhy telah dilobi oleh sejumlah pengusaha lobster agar pintu ekspor benur kembali dibuka. Salah satu yang getol melobi adalah Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito. 

Di dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh jaksa, terungkap Suharjito sempat menemui Edhy di rumah dinasnya. Ia menyampaikan keinginan untuk budidaya dan ekspor benih lobster. 

"Edhy Prabowo memperkenalkan Suharjito dengan Safri selaku Staf Khusus Menteri KKP dan mengatakan bahwa terkait pengurusan permohonan izin budidaya sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan izin ekspor BBL, agar Suharjito berkoordinasi dengan Safri," demikian isi surat dakwaan tersebut. 

Singkat cerita, Safri kemudian mengatakan ada sejumlah uang komitmen yang harus dipenuhi oleh PT DPPP bila ingin izin ekspor benih lobster diberikan oleh KKP. Suharjito pun sepakat untuk memberikan sejumlah uang. 

"PT DPPP harus memberikan uang komitmen kepada Edhy Prabowo melalui Safri senilai Rp5 miliar yang dapat diberikan secara bertahap," kata jaksa ketika membacakan surat dakwaan. 

Permen soal membolehkan ekspor benur ke luar Indonesia dikeluarkan Edhy pada 14 Mei 2020. Namun, izin itu rupanya justru membuka pintu untuk penerimaan duit suap. 

PT DPPP akhirnya memberikan suap kepada Edhy secara bertahap. Pertama, uang diberikan di kantor Kementerian KP pada 16 Juni 2020. "Terdakwa kemudian menyerahkan uang kepada Safri sejumlah US$77 ribu (setara Rp1,1 miliar) sambil mengatakan 'ini titipan buat Menteri'," ungkap jaksa.

Penyerahan suap kali kedua terjadi di ruang kerja Safri di kantor Kementerian KP pada 8 Oktober 2020. Suharjito memberikan uang sebesar US$26 ribu (setara Rp372 juta) kepada Safri.

Suharjito juga memberikan uang suap sebesar Rp706 juta kepada Edhy. Jaksa menjelaskan, uang Rp706 juta itu diterima Edhy melalui perusahaan jasa pengiriman kargo yang telah ditunjuk untuk ekspor benih lobster yakni, PT Aero Citra Kargo (PT ACK).

Edhy meminjam nama orang dekatnya untuk menjadi pemilik saham PT ACK. Padahal, uang itu justru dinikmati oleh Edhy dan bukan orang dekat yang tertulis sebagai pemilik saham. 

Suharjito sebagai pihak yang memberikan suap kepada Edhy pun ikut diseret ke pengadilan. Majelis hakim hanya menjatuhkan vonis 2 tahun bui. 

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Apresiasi Mega yang Suarakan soal Ekspor Baby Lobster

2. ICW sebut bila Edhy Prabowo bekerja dengan baik, ia tidak akan terima suap

Edhy Prabowo Tetap Bayar Rp9,68 Miliar Meski Vonisnya Disunat MAANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Sementara, diskon vonis bagi Edhy Prabowo menuai protes dari publik. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai faktor yang dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim di tingkat kasasi tak masuk akal. Alih-alih mendiskon vonis Edhy, majelis hakim kasasi seharusnya memperberat hukuman bagi mantan Menteri KKP itu. 

"Bila ia sudah bekerja dengan baik dan telah memberikan harapan kepada masyarakat tentu Edhy tidak akan diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, kepada media, Kamis 10 Maret 2022. 

Ia juga menilai tindakan korupsi yang dilakukan Edhy di tengah memburuknya situasi kesehatan dan perekonomian akibat pandemik adalah alasan yang kuat untuk memperberat vonis Edhy.

"Bagaimana mungkin hakim mengatakan terdakwa telah memberi harapan kepada masyarakat, sedangkan pada waktu yang sama Edhy melakukan praktik korupsi di tengah kesengsaraan masyarakat akibat pandemik COVID-19," ungkapnya.

Di sisi lain, majelis hakim dianggap telah mengabaikan ketentuan dalam Pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kurnia menjelaskan, dalam pasal itu dikatakan pemberatan hukuman mesti diberikan pada pejabat yang memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan padanya untuk melakukan suatu tindak pidana.

"Regulasi itu secara spesifik menyebutkan penambahan hukuman sepertiga, bukan justru dikurangi," tutur dia. 

3. Prabowo merasa dikhianati saat tahu Edhy Prabowo kena OTT KPK

Edhy Prabowo Tetap Bayar Rp9,68 Miliar Meski Vonisnya Disunat MAANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Masalah tertangkap tangannya Edhy Prabowo pada 2020 lalu oleh penyidik KPK turut membuat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto geram. Bahkan, Prabowo merasa dikhianati oleh Edhy. 

Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo yang juga adik Prabowo Subianto. "Prabowo sangat marah, sangat kecewa. Merasa dikhianati," ungkap Hashim ketika memberikan keterangan pers di Jakarta Utara pada 4 Desember 2020 lalu. 

Hashim lalu mengungkapkan kemarahan Prabowo dengan menggunakan bahasa Inggris. "Terus terang saja dia bilang ke saya dengan Bahasa Inggris. Saya kan dengan kakak saya sudah 66 tahun pakai Bahasa Inggris," katanya.

"Dia (Prabowo) sangat kecewa dengan anak yang dia angkat dari selokan 25 tahun lalu," tuturnya lagi. 

"I pick him up from the gutter. And this what he does to me. (Saya ambil dia dari selokan dan inilah yang dia lakukan pada saya)," kata Hashim menirukan Prabowo.

Di kesempatan itu, pengacara keluarga Hashim, Hotman Paris Hutapea, membantah keterlibatan kliennya terkait kasus Edhy Prabowo. Menurutnya, tidak ada kaitannya keluarga Prabowo pada kasus ini.

Baca Juga: MA Sunat Vonis Edhy Prabowo dari 9 Jadi 5 Tahun, Ini Reaksi KPK

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya