ICJR Dorong DPR Tidak Lanjutkan Bahas RUU Larangan Minuman Alkohol

Bila disahkan, orang yang konsumsi minol bisa dibui 2 tahun

Jakarta, IDN Times - Organisasi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendorong agar DPR tak perlu melanjutkan pembahasan RUU Minuman Beralkohol. Menurut ICJR, pendekatan pelarangan konsumsi minuman alkohol malah memberikan dampak negatif bagi peradilan di Indonesia. 

Draf RUU Minol, dalam pandangan ICJR, menggunakan pendekatan prohibitionist atau larangan buta. Akibatnya, menyebabkan lebih banyak orang masuk bui. 

Bila merujuk ke dalam pasal 7 di RUU itu tertulis "setiap orang dilarang mengonsumsi Minuman Beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, Minuman Beralkohol tradisional, dan Minuman Beralkohol campuran atau racikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4." 

Bila melanggar pasal 7, maka sanksinya tertulis di pasal 20 yakni setiap orang yang melanggar bisa dibui selama 3 bulan hingga 2 tahun. Atau, mereka yang melanggar bisa dikenakan denda Rp10 juta hingga Rp50 juta. 

Selain negara bisa melarang konsumsi minuman beralkohol, produksi minol juga dilarang. Bila melanggar, maka mereka bisa dikenakan sanksi bui 2 tahun hingga 10 tahun. Atau mereka juga dapat dikenakan denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar. 

Di dalam RUU ini, kata ICJR, memang memuat pengecualian yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Namun, pengecualian itu tidak jelas sehingga bisa mengakibatkan sewenang-wenang dalam penerapan aturannya. 

"Semangat prohibitionist atau larangan buta sesungguhnya hanya akan memberikan masalah besar seperti yang telah Indonesia hadapi pada kebijakan narkotika. Penjara akan penuh," ungkap Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus A.T. Napitupulu melalui keterangan tertulis pada Rabu, 11 November 2020. 

ICJR juga mencatat pendekatan larangan buta yang digunakan dalam RUU Minuman Beralkohol sudah usang. Mengapa? Sudah sampai di tahap mana RUU tersebut bergulir di DPR?

1. Belajar dari situasi di AS, larangan konsumsi minol sebabkan minuman itu beredar di pasar gelap

ICJR Dorong DPR Tidak Lanjutkan Bahas RUU Larangan Minuman AlkoholIlustrasi minuman beralkohol (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam catatan ICJR, AS pada periode 1920 - 1933 pernah menggunakan pendekatan prohibitionist atau larangan buta. Akibat pelarangan itu, memicu terjadinya perang antarkelompok atau gang marak. Selain itu, minuman beralkohol akhirnya dimonopoli oleh pedagang bandara gelap (clandestine)

"Hal ini yang terjadi pada kebijakan narkotika saat ini. Yang mengendalikan peredarannya adalah pasar gelap di mana tidak sedikit turut melibatkan aparat penegak hukum yang korup," kata Erasmus. 

Sementara, di Indonesia, larangan kepemilikan narkoba menyebabkan lebih dari 40 ribu pengguna narkotika dibui. Alhasil, penjara menjadi penuh.  Di sisi lain, negara sudah melihat sendiri bukti bahwa pendekatan keras terhadap narkotika tidak membuat jumlah konsumsi terhadap komoditas itu menurun. 

Baca Juga: PPP, PKS, Gerindra Usul RUU Larangan Minuman Beralkohol 

2. RUU Minol berpotensi tumpang tindih dengan aturan lain seperti RKUHP dan Peraturan Menteri Perdagangan

ICJR Dorong DPR Tidak Lanjutkan Bahas RUU Larangan Minuman AlkoholWine Penfold (IDN Times/TWE)

ICJR juga menilai RUU Minuman Beralkohol akan tumpang tindih dengan aturan hukum lainnya yang telah memuat ketentuan serupa, seperti di RKUHP (Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana) dan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 25 tahun 2019 mengenai pengendalian dan pengawasan terhadap peredaran dan penjualan minuman beralkohol. 

"Dalam RKUHP, ketentuan pasal ini pun masih dimuat. Misalnya di dalam pasal 492 dan pasal 300 KUHP," kata Erasmus. 

Di dalam pasal 300 KUHP tertulis "siapa pun dilarang dengan sengaja membuat seorang anak yang usianya di bawah 16 tahun minum minuman keras dan mabuk. Bila perbuatan itu menyebabkan luka berat pada tubuh, maka pihak yang terbukti bersalah akan dijatuhi sanksi bui paling lama tujuh tahun."

Ia juga menambahkan alih-alih membuat RUU larangan baru dengan metode pendekatan yang usang, lebih baik RUU Minol diharmoniskan dengan pembahasan RKUHP. "Jadi, tidak perlu dengan RUU sendiri/khusus," tuturnya lagi. 

3. DPR didorong untuk bersikap kritis terhadap pengusulan RUU Minuman Beralkohol

ICJR Dorong DPR Tidak Lanjutkan Bahas RUU Larangan Minuman AlkoholIlustrasi ruang sidang di DPR (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

ICJR juga mendorong agar DPR lebih kritis terhadap pengusulan RUU ini. Permohonan untuk membahas RUU Larangan Minol sudah diajukan sejak 24 Februari 2020 lalu. Namun, Badan Legislasi baru menerima permohonan tersebut pada 17 September 2020. Akhirnya, rapat pembahasan awal dijadwalkan pada Selasa, 10 November 2020 lalu. 

Pengusul RUU Larangan Minol ini terdiri atas 21 anggota DPR yakni 18 anggota fraksi PPP, dua anggota fraksi PKS, dan satu anggota fraksi Partai Gerindra. Saat ini, proses yang tengah bergulir di DPR yakni masih penjelasan dari pengusul dan harmonisasi di Baleg. 

"Pemerintah dan DPR harus terlebih dahulu membuat riset mendalam mengenai cost danbenefit analysis atas kriminalisasi seluruh tindakan yang terkait dengan produksi, distribusi, kepemilikan, dan penguasaan minuman beralkohol," ujar Erasmus. 

ICJR, kata dia, tidak melihat bahwa naskah akademik RUU Larangan Minol ini memuat analisa tersebut. Padahal, publik selaku pembayar pajak berpotensi dibebankan untuk seluruh tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan pemasyarakatan yang dilakukan terhadap para calon tersangka.

"Pendekatan pelarangan buta terhadap alkohol hanya akan berujung seperti narkotika yang terbukti tidak pernah bekerja dan malah berdampak negatif, baik untuk sistem peradilan pidana maupun untuk kesehatan serta keamanan konsumen," tutur dia lagi. 

Baca Juga: Uni Emirat Arab Kini Bolehkan Warga Minum Alkohol dan Kumpul Kebo

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya