Jokowi: Eks Napi Koruptor Berhak Nyaleg di Pemilu 2019

Jokowi menyerahkan putusan akhir kepada KPU

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo menilai setiap orang berhak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Termasuk mereka yang sempat dipenjara karena kasus korupsi.

Pendapat itu disampaikan Jokowi usai menghadiri kunjungan ke Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka pada Selasa (29/5). Tetapi, ia mengaku gak bisa mencampuri terlalu jauh lantaran hal tersebut masuk ke ranah Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Apakah ini berarti Jokowi mendukung napi eks koruptor maju kembali menjadi anggota legislatif di tahun 2019? Padahal, ide itu ditentang keras oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka menilai publik berhak diberikan calon pemimpin yang memiliki rekam jejak yang bersih dan berintegritas.

1. Maju dalam pemilu legislatif bagi Jokowi adalah hak setiap individu

Jokowi: Eks Napi Koruptor Berhak Nyaleg di Pemilu 2019IDN Times/Santi Dewi

Presiden Jokowi menilai adalah hak setiap individu kalau mereka ingin maju dalam pemilu legislatif, termasuk mantan residivis kasus korupsi. 

"Ya, itu hak ya. Itu kan konstitusi dengan memberikan hak. Tapi silakan lah KPU yang menelaah. Kalau (bagi) saya itu hak. Hak seseorang untuk berpolitik," ujar Jokowi pada Selasa siang kemarin.

2. Jokowi usul agar mantan residivis diberi label "eks koruptor"

Jokowi: Eks Napi Koruptor Berhak Nyaleg di Pemilu 2019ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Walaupun mengakui itu ranah KPU, namun Jokowi memberikan saran bagi institusi itu. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut mengatakan mantan napi kasus korupsi tetap dibolehkan ikut Pileg 2019, namun diberi label 'mantan koruptor' agar publik tetap mengetahui rekam jejaknya di masa lampau. 

"Kalau (bagi) saya itu hak berpolitik. KPU bisa saja mungkin membuat aturan, misalnya mereka tetap dibolehkan ikut tapi diberi label 'mantan koruptor'," kata Jokowi. 

Pertanyaannya, apakah memang ada mantan napi koruptor yang secara terbuka mengaku ke publik kalau ia pernah dipenjara karena kasus korupsi? Sejauh ini baru ada Nurdin Halid yang mengikuti Pilkada di Sulawesi Selatan yang mengaku secara terbuka pernah dipenjara sebelumnya. Tetapi, itu pun dia membantah kalau ia seorang koruptor. 

"Faktanya, saya pernah mendapat hukuman dari negara dan itu bukan fakta yang gak bisa dihapus. Akan tetapi saya bukan koruptor. Saya tidak pernah korupsi," ujar Nurdin pada (9/1) seperti dikutip dari media lokal Sulsel Satu. 

Ia pun menegaskan kalau sampai saat ini masih ada yang mengait-ngaitkan dengan kasus korupsi, maka itu sebuah fitnah. Padahal, di tingkat kasasi, majelis hakim Mahkamah Agung menyatakan mantan Ketua PSSI itu bersalah telah melakukan korupsi dalam distribusi minyak goreng BULOG pada tahun 2007 lalu. 

Gara-gara kasus itu, negara telah dirugikan sebesar Rp 169 miliar. Majelis hakim menghukum Nurdin dengan pidana penjara dua tahun dan denda Rp 30 juta. 

Tetapi, kepada media, Nurdin tetap bersikeras salah satu pertimbangan hakim justru menyebut kalau dia gak terbukti bersalah. 

"Tetapi, barang kali malaikat menuntun hakimnya dalam memilih putusan. Dikatakan di sana 'menimbang terdakwa tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi,'" kata dia lagi. 

3. MK pernah membatalkan pasal UU yang larang eks napi koruptor

Jokowi: Eks Napi Koruptor Berhak Nyaleg di Pemilu 2019

Upaya untuk melarang eks napi koruptor ikut dalam pesta demokrasi sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh DPR sejak tahun 2008 lalu. Namun, dua kali pasal di dalam UU mengenai pemilihan kepala daerah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan dikabulkan. 

Salah satu yang dikabulkan terjadi pada tahun 2015. Saat itu, MK mengabulkan gugatan calon Walikota Semarang Soemarmo Hadi Saputro. Ia terganjal UU nomor 8 tahun 2015 pasal 7 huruf g mengenai pemilihan kepala daerah. 

Soemarmo pernah dipenjara 2,5 tahun di Lapas Cipinang karena terbukti melakukan suap ketika dilakukan penyusunan RAPBD Kota Semarang tahun 2012 lalu. Ketika ia ingin ikut Pilkada 2015 lalu, ia terganjal larangan calon kepala daerah yang gak boleh dipenjara sebelumnya dan sudah berkekuatan hukum tetap. 

Menurut hakim di MK, DPR selaku pembuat UU gak berhak mencabut hak pilih seseorang. 

"Undang-Undang hanya memberi batasan-batasan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan sesuai dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan. Hal itu tertuang di KUHP angka 3 pasal 35 ayat 1," demikian isi putusan hakim MK seperti dikutip dari situs resmi MK tahun 2015 lalu. 

Sementara, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo walaupun sempat menentang aturan yang hendak dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar eks napi koruptor dilarang ikut Pileg 2019, ia mengaku miris dengan situasi pesta demokrasi di Indonesia. Dalam catatannya, pernah ada calon kepala daerah yang sudah dijadikan tersangka dalam kasus korupsi oleh KPK dan ditahan, justru memang Pilkada. 

"Ini lah yang turut membuat kami risau karena ada calon kepala daerah yang sudah ditahan tapi malah menang mutlak, bahkan ada yang dilantik di LP. Oleh sebab itu kami bersama KPK berkeliling ke semua provinsi untuk memberikan pencerahan kepada semua pasangan calon, termasuk sosialisasi LHKPN untuk faktor kejujuran, supaya gak KKN, dan lain sebagainya," ujar Tjahjo dalam wawancara di Metro TV pada Senin malam kemarin. 

Menurut Tjahjo, upaya pemberantasan korupsi sudah menjadi komitmen bersama. 

Topik:

Berita Terkini Lainnya