Kasus COVID-19 Melonjak, Pemerintah Diminta Karantina Wilayah dan PSBB

Lapor COVID-19 desak Presiden berlakukan karantina wilayah

Jakarta, IDN Times - Kasus COVID-19 di Indonesia kembali melonjak pasca-Lebaran. Hal itu ditandai dengan jumlah kasus harian nasional pada Kamis, 17 Juni 2021 telah menembus angka 12.624. Itu merupakan rekor baru yang dicatat sejak 30 Januari 2021. Bahkan, hari ini naik lagi 12.990 kasus.

Melihat hal itu, anggota Komisi IX, Charles Honoris menegaskan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro sudah tak lagi efektif. Apalagi jumlah tes dan lacak yang dilakukan di beberapa daerah masih minim. 

"Buat saya kondisi yang terjadi saat ini bukan hanya mengkhawatirkan tapi sudah mengerikan. Perlu tindakan cepat dari pemerintah pusat untuk segera membatasi kegiatan sosial masyarakat secara besar (PSBB). Tidak bisa lagi (kebijakan pembatasan) yang sifatnya parsial," ungkap Charles melalui keterangan tertulis, Jumat (18/6/2021). 

Pernyataan itu ia sampaikan dengan didasari sejumlah data tes dan lacak yang dilakukan di DKI Jakarta. Ia menilai selama ini sudah terjadi kesenjangan antara jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 dengan jumlah individu yang dilaporkan. 

Charles pun mengutip data survei yang dilakukan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) yang menemukan jumlah kasus COVID-19 di Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, 12 kali lebih tinggi dibandingkan yang selama ini dilaporkan Pemprov DKI Jakarta ke publik.

Dalam survei yang dilakukan pada 23 November 2020 hingga 19 Februari 2021, menunjukkan masih banyak warga yang sesungguhnya telah terpapar COVID-19 tetapi tidak terdata. Informasi itu diperoleh menggunakan metode serologi. 

Menurut Charles, PSBB bisa dijadikan langkah untuk memecah gelombang tsunami. Sehingga, gelombang yang sampai di daratan tidak begitu besar. 

"Tanpa pemecah gelombang itu, saya takut para tenaga kesehatan dan masyarakat di daratan malah akan ikut tersapu (gelombang tsunami COVID-19)," kata dia. 

Tapi, apakah pemerintah punya dana untuk kembali menerapkan PSBB ketat?

1. Keterisian tempat tidur di hampir seluruh provinsi di Pulau Jawa nyaris penuh

Kasus COVID-19 Melonjak, Pemerintah Diminta Karantina Wilayah dan PSBBIlustrasi petugas medis yang menangani COVID-19 (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

Charles mengatakan indikasi lainnya kondisi Indonesia akan menyerupai India, yaitu angka keterisian tempat tidur (Bed Occupancy Rate) fasilitas kesehatan di hampir semua Provinsi Jawa sudah lebih dari 60 persen. Padahal, batas yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), BOR harus terjaga di angka 60 persen. 

"Bahkan, di DKI Jakarta sendiri, BOR nyaris menyentuh angka 80 persen. Bayangkan, bagaimana bila faskes di pulau tempat lebih dari separuh populasi nasional menghuni ini kolaps?" tanya Charles. 

Tanda-tanda fasilitas kesehatan mulai kolaps sudah mulai terlihat. Antrean pasien, kata politikus PDI Perjuangan itu, sudah mulai mengular untuk bisa masuk ke rumah sakit. 

"Ada juga (pasien) yang ditolak karena rumah sakit sudah penuh. Bahkan, ada yang meninggal dundia dalam perjalanan karena tak kunjung mendapatkan rumah sakit rujukan," kata Charles. 

Baca Juga: COVID-19 DKI Parah, DPRD: Kalau Tarik Rem Darurat Takut Tak Punya Uang

2. Lapor COVID-19 mendesak Presiden Jokowi agar berlakukan karantina wilayah

Kasus COVID-19 Melonjak, Pemerintah Diminta Karantina Wilayah dan PSBBANTARA FOTO/Wahyu Putro

Sementara, warga ramai-ramai meneken petisi yang diinisiasi Lapor COVID-19 dan berisi desakan kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo, agar segera diberlakukan karantina wilayah. Surat petisi itu sudah diteken sekitar 123 individu. Di dalamnya termasuk epidemiolog, akademisi, jurnalis, hingga tenaga kesehatan. 

"Surat ini kami tulis mewakili suara dari beberapa kelompok masyarakat sipil yang menaruh perhatian sangat serius pada persoalan kesehatan publik," demikian isi petisi yang diunggah di akun Instagram Lapor COVID-19 mulai hari ini. 

Di dalam surat itu, warga mengaku kecewa terhadap respons awal pemerintah dalam menangani pandemik COVID-19 pada awal 2020. Sebab, banyak anggota kabinet Jokowi yang terkesan menyepelekan. Padahal, dampak pandemik sangat bergantung pada respons di masa awal ketika laju penularan masih dapat dilacak dan dibendung. 

Kini, ketika virus corona telah bermutasi, pemerintah masih lamban bergerak. Salah satu varian yang mengkhawatirkan yakni Delta yang kali pertama muncul di India telah meluas di Tanah Air. Varian Delta inilah yang menjadi biang keladi meledaknya kasus COVID-19. 

Kini, pada saat masyarakat sudah mulai lelah menghadapi pandemik, sektor ekonomi juga terseok-seok akibat permasalahan kesehatan yang belum selesai. "Ujung dari masalah ini adalah pengambilan oleh pihak pemerintah, khususnya pemerintah pusat di dalam penanganan pandemik yang cenderung sporadis dan belum optimal," kata Lapor COVID-19.

Oleh sebab itu, untuk membendung lonjakan kasus, warga mengusulkan kepada Jokowi agar diberlakukan karantina wilayah. "Selain itu, kami berharap, Bapak Jokowi selaku kepala negara, dapat mempertegas pembatasan pergerakan fisik dengan sanksi yang tegas serta memberikan dukungan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial," tutur mereka. 

Selain itu, Lapor COVID-19 juga berharap agar proses vaksinasi gratis dipercepat, khususnya semua orang di atas usia 18 tahun dan memprioritaskan kepada warga usia lanjut. Mereka juga mengharapkan delapan aksi lainnya, termasuk menjamin perlindungan bagi tenaga kesehatan serta insentif bagi mereka. 

"Saatnya mengambil tindakan yang tepat karena setiap nyawa adalah harga yang tidak terbayarkan," kata dia. 

3. Wakil Ketua DPRD DKI setuju opsi PSBB dan bukan karantina wilayah

Kasus COVID-19 Melonjak, Pemerintah Diminta Karantina Wilayah dan PSBBMonumen Nasional (IDN Times/Besse Fadhilah)

Sementara, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani malah menilai agar Pemprov DKI Jakarta, tak perlu sampai harus menarik tuas rem darurat seperti awal 2020. Alih-alih memberlakukan karantina wilayah, Zita setuju dengan opsi PSBB. 

"Saya takut kalau kita terlalu kencang tutup-tutup, nanti Pemprov (DKI Jakarta) tidak ada uang, tidak bisa untuk pembiayaan kesehatan," ujar Zita di DPRD DKI pada Rabu, 16 Juni 2021. 

Zita khawatir bila tuas rem yang ditarik terlalu kencang maka banyak usaha dan bisnis yang tutup. Hal itu, kata dia, bisa berpengaruh ada penghasilan pajak DKI yang bisa saja anjlok.

"Kalau pajak kita drop, tidak bisa pemprov melakukan pembiayaan untuk kesehatan," kata dia. 

Baca Juga: Komisi IX: Pemerintah Cepat Tarik Rem Darurat Agar RI Tak Mirip India

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya