Kemenkes-BPOM Diduga Lakukan Malaadministrasi di Kasus Gagal Ginjal

Kasus gagal ginjal akut sudah dilaporkan sejak Januari 2022

Jakarta, IDN Times - Ombudsman RI menilai dua lembaga yakni Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diduga melakukan malaadministrasi dalam massifnya penyakit gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Penyakit itu sudah dilaporkan terjadi di Tanah Air sejak Januari 2022 lalu. Meski angka pasien ketika itu masih kecil yakni dua pasien anak. 

"Maka, sebagai kesimpulan awal. Kami menduga ada dugaan potensi malaadministrasi di kedua institusi ini, Kemenkes dan BPOM," ungkap anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng ketika memberikan keterangan pers secara virtual pada Selasa, (25/10/2022). 

Salah satu dugaan malaadministrasi yang terjadi di Kemenkes yakni tidak dimilikinya data pokok sebaran penyakit atau epidemiologi. Hal ini mengakibatkan pada kelalaian atau pencegahan kasus-kasus GGAPA.

"Hingga Agustus 2022 lalu, Kemenkes masih belum mengerti tentang masalah yang ada. Mereka baru sadar ada peristiwa darurat ketika kemudian Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyuplai data yang ada. Atas dasar itu lah, Kemenkes melakukan penelusuran ke belakang sejak kapan kasus ini terjadi," tutur dia.

Berdasarkan data yang dilaporkan Kemenkes ke publik, rupanya sudah ada laporan kasus GGAPA sejak Januari 2022 lalu. Saat itu, baru berjumlah dua pasien anak. 

Sedangkan, per Senin, 24 Oktober 2022 lalu sudah ada 245 pasien anak yang mengidap GGAPA. Sebanyak 141 pasien anak di antaranya akhirnya meninggal. Mayoritas merupakan pasien di bawah usia 5 tahun. 

"Tetapi, angka ini patut kami pertanyakan, apakah pada Januari benar baru terjadi dua kasus. Februari nol kasus dan sebagainya. Karena angka ini bukan diperoleh di bulan tersebut, melainkan pada Agustus atau September," ujarnya.

Apakah bila nantinya terbukti bahwa Kemenkes dan BPOM melakukan malaadministrasi, bisa kedua institusi itu dikenai sanksi?

1. Ombudsman harus beri tindakan koreksi dulu, tak bisa langsung jatuhkan sanksi

Kemenkes-BPOM Diduga Lakukan Malaadministrasi di Kasus Gagal GinjalAnggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng ketika memberikan keterangan pers terkait kasus gagal ginjal akut. (Tangkapan layar Zoom)

Lebih lanjut, Robert menyebut tak bisa langsung menjatuhkan sanksi terhadap Kemenkes dan BPOM. Harus diingatkan lebih dulu agar dilakukan tindakan koreksi. 

"Ketika melakukan kesalahan, harus ada pihak yang disalahkan dan bertanggung jawab. Ini yang kami minta ke pemerintah, bahwa akuntabilitas harus dikedepankan. Tidak selalu berujung kepada pemberhentian dan sanksi yang sifatnya administratif," ujarnya menjawab pertanyaan IDN Times.

Alih-alih memberikan sanksi, seharusnya pemerintah langsung melakukan koreksi terhadap kebijakan mereka. "Kami minta agar pemerintah serius dalam menanggapi ini, sebagai bentuk tindakan korektif mereka," tuturnya. 

Ombudsman meminta agar sosialisasi kepada publik terkait kandungan di dalam obat-obat sirop harus dilakukan. Mereka pun meminta agar debat apakah peristiwa ini perlu dinyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau tidak segera disetop. Menurut Ombudsman, dari banyaknya jatuh korban, peristiwa GGAPA sudah bisa dikatakan KLB. 

"Pasti, kalau dilihat ini sudah bisa dikatakan Kejadian Luar Biasa (KLB). Tinggal manajemennya mau seperti apa," kata dia. 

Baca Juga: Politikus PKS: Kok Bisa BPOM Beri Izin Edar Obat Sirop yang Tercemar?

2. Ombudsman temukan Kemenkes baru bertindak Agustus, sedang kasus sudah ada dari Januari

Kemenkes-BPOM Diduga Lakukan Malaadministrasi di Kasus Gagal GinjalTren gagal ginjal akut dari Januari hingga Oktobed 2022. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dalam pemaparannya, Ombudsman juga menyampaikan bahwa Kemenkes hingga Agustus lalu tidak memiliki data terkait GGAPA. Mereka baru sadar peristiwa kasus gagal ginjal akut yang diderita anak-anak adalah kejadian darurat saat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan data yang ada. 

"Atas dasar itu lah baru kemudian dilakukan tracking ke belakang, sejak kapan kasus ini mulai terjadi. Dan angka yang ada belum tentu jumlah yang akurat," kata dia. 

Padahal, dari data disebut, kasus gagal ginjal akut pada anak sudah mulai dilaporkan sejak Januari ada dua pasien. Mereka baru bergerak ketika jumlah kasus sudah membludak menjadi 36 pasien. 

Potensi malaadministrasi kedua yang dilakukan oleh Kemenkes yakni mereka tak bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Hal itu lantaran Kemenkes tak punya data soal penyebab penyakit GGAPA pada anak. 

Potensi malaadministrasi ketiga yakni Kemenkes tidak memiliki standar pencegahan kasus gagal ginjal akut. "Sehingga, ini tidak memenuhi standar pelayanan, termasuk standar pelayanan pemeriksaan di laboratorium," ujar Robert. 

Ia menambahkan, hingga saat ini tim investigasi Kemenkes belum mampu memberikan kesimpulan secara valid penyebab GGAPA pada anak. Meski saat ini diduga kuat karena adanya cemaran pada bahan baku obat sirop. 

3. BPOM lalai dalam pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi

Kemenkes-BPOM Diduga Lakukan Malaadministrasi di Kasus Gagal GinjalPotensi maladministrasi yang dilakukan oleh BPOM dalam kasus gagal ginjal akut. (Tangkapan layar Zoom Ombudsman)

Sementara, potensi malaadministrasi yang dilakukan oleh BPOM yaitu mereka tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi. Perusahaan bisa melakukan uji mandiri terhadap produk yang bakal dipasarkan. 

"Seolah-olah perusahaan diberikan kewenangan oleh negara untuk menguji tanpa kontrol yang kuat dari BPOM. Proses yang kami temukan adalah perusahaan melakukan uji mandiri, lalu melaporkan ke BPOM," kata Robert. 

Dalam hal ini, katanya, Ombudsman terkesan pasif dan menunggu laporan. Ombdusman menginginkan kontrol harus dilakukan secara aktif. Dalam tahapan tertentu, BPOM melakukan sampling secara acak atas produk yang dihasilkan oleh perusahaan. 

"Jadi, jangan pernah sepenuhnya kewenangan untuk menguji diberikan kepada pasar atau perusahaan farmasi," tutur dia. 

Apalagi, kata Robert, sudah menjadi rahasia umum bahwa antar perusahaan farmasi saling berkompetisi. Lalu, mereka menggunakan BPOM sebagai tameng, seolah-olah produknya sudah lolos uji. 

Baca Juga: BPOM Perintahkan 5 Merek Obat Sirop Ini Ditarik dan Dimusnahkan

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya