Koalisi Pendukung Pemerintah Makin Gemuk, Amandemen UUD Kian Mudah

Kini di DPR ada 471 kursi koalisi parpol usai PAN gabung

Jakarta, IDN Times - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Jansen Sitindaon, mencatat koalisi partai pendukung pemerintah saat ini sudah sangat gemuk. Sikap Partai Amanat Nasional (PAN) yang kembali merapat ke kubu pemerintah, menyebabkan jumlah pendukung di parlemen mencapai 471 kursi atau 82 persen. 

Menurut Jansen, gemuknya koalisi parpol pendukung pemerintah perlu diwaspadai. Sebab, hal tersebut semakin memudahkan agenda pihak tertentu yang ingin melakukan amandemen UUD 1945. 

"Total kursi di MPR 711 kursi, 575 kursi DPR ditambah 136 kursi DPD. Untuk mengubah pasal-pasal di UUD, maka harus digelar sidang MPR dan dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR atau sebanyak 474 legislator atau senator," tulis Jansen di akun Twitternya, @jansen_jsp, yang dikutip pada Jumat (27/8/2021). 

"Jadi, cukup butuh tambahan 3 kursi DPD lagi. Setelah itu, mau mengubah isi konstitusi yang mana pun pasti lolos. Termasuk perpanjangan masa jabatan (presiden) dan (presiden boleh menjabat) 3 periode," sambung dia. 

Apakah ini berarti amandemen UUD 1945 segera diwujudkan? Apa dampaknya bila masa kepemimpinan presiden ditambah?

1. MPR hingga kini belum membuat keputusan resmi akan amandemen UUD 1945

Koalisi Pendukung Pemerintah Makin Gemuk, Amandemen UUD Kian MudahWakil Ketua Umum PPP Arsul Sani (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Arsul Sani, mengatakan ada atau tidak amandemen UUD 1945 bukan karena ditentukan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Tetapi harus ada yang mengusulkan.

"Jadi, hingga saat ini belum ada keputusan bahwa MPR akan melakukan amandemen. Fungsi pimpinan MPR bukan memutuskan akan terjadi amandemen atau tidak. Menurut Pasal 37 UUD 1945, ada atau tidak amandemen, tergantung ada atau tidak yang mengusulkan," ujar Arsul ketika dihubungi hari ini. 

Ia mengatakan yang disampaikan Bambang dalam Sidang Tahunan pada 16 Agustus 2021 hanya sekadar menggelorakan wacana tersebut. "Tapi, bukan menyampaikan keputusan bahwa MPR akan melakukan amandemen," tutur dia. 

Arsul mengatakan sikap Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hingga saat ini belum perlu dilakukan amandemen. "Tetapi PPP melihat UUD 1945 ini kan the living constitution, maka apabila aspek ketatanegaraan kita memerlukan amandemen dalam rangka ke depan ini untuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat, lebih baik ya gak usah ditabukan," katanya.

Di sisi lain, dalam pidatonya pada 18 Agustus 2021, Bambang menyampaikan UUD 1945 bukan kitab suci, sehingga sah-sah saja bila ingin dilakukan amandemen. Sejauh ini, sudah ada empat kali amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945. 

Baca Juga: PAN Akhirnya Gabung Lagi ke Pemerintah, Bakal Dapat Kursi Menteri?

2. Semakin lama pemimpin dibiarkan berkuasa, maka akan cenderung korup

Koalisi Pendukung Pemerintah Makin Gemuk, Amandemen UUD Kian MudahJansen Sitindaon (Dok. IDN Times)

Sementara, menurut Jansen, sejarah ketatanegaraan di dunia termasuk di Indonesia sudah membuktikan semakin lama seorang pemimpin berkuasa maka akan semakin sewenang-wenang dan korup. Itu pula yang diperjuangkan ketika reformasi bergulir pada 1998. 

"Masa jabatan presiden dua periode adalah hasil koreksi kita atas masa lalu. Di mana para perumusnya masih banyak yang hidup. Bila menelusuri sejarah pembahasan dan perubahan Pasal 7 UUD ketika itu, maka tidak ada satu pun fraksi atau partai yang menolak. Semua sepakat, termasuk fraksi TNI/Polri," katanya. 

Menurut Jansen, tidak ada pula urgensinya melakukan amandemen UUD 1945 sekarang ini. Sebab, fungsi konstitusi dibentuk untuk tujuan jangka panjang. 

"Bila ini yang terjadi maka kita bukan hanya mematikan semangat reformasi, tetapi kembali ke zaman kegelapan demokrasi," tutur dia. 

Jansen pun tegas menolak amandemen UUD 1945, apalagi amandemen melebar ke perubahan masa jabatan presiden. Ia mengaku tidak ingin tercatat dalam lembar sejarah menjadi bagian dari zaman kegelapan demokrasi di Indonesia. 

3. Jokowi tidak pernah secara tegas menolak perpanjangan jabatan hingga 2027

Koalisi Pendukung Pemerintah Makin Gemuk, Amandemen UUD Kian MudahANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Dalam catatan pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio, setidaknya ada wacana yang kini berkembang yaitu menambah masa jabatan presiden hingga 2027, presiden dibolehkan menjabat hingga tiga periode, dan pemilu ditiadakan lalu presiden dipilih langsung MPR. Hendri juga menyadari Jokowi pernah tegas menolak jabatan presiden menjadi tiga periode. 

"Tapi, Pak Jokowi belum pernah mengungkapkan bahwa tidak (masa jabatan) dirinya diperpanjang hingga 2027. Kecuali Beliau juga menyatakan penolakan yang sama (untuk memperpanjang masa jabatan) dengan tiga periode tadi," kata Hendri ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Kamis, 26 Agustus 2021. 

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu hanya menjawab terkait perpanjangan masa jabatan adalah kewenangan MPR. "Jadi, Beliau tidak dengan tegas menjawab iya atau tidak ketika ditanya Wakil MPR Syarifudin Hasan," tutur Hendri. 

Ia menilai wacana masa jabatan presiden tiga periode terus berkembang karena pemerintah mempelajari ketika ada isu yang kontroversial mulai dari pengesahan UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, resistensinya tidak terlalu besar. Ia pun berharap pemerintah tidak menggunakan resistensi yang minim dari publik terhadap aturan kontroversial yang lalu, untuk mewujudkan amandemen UUD 1945. 

"Kan rakyat diam bukan berarti karena mereka setuju. Ini kan tinggal nunggu lecutan saja supaya negara ini gak kembali mundur ke Orde Baru atau Orde Lama," ujar Hendri. 

Baca Juga: [BREAKING] Ketua MPR Bamsoet: MPR Bakal Lakukan Amandemen Terbatas UUD 1945

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya