Komnas Perempuan Sentil Media Soal Pemberitaan Artis Prostitusi Online

Media dinilai sering tidak berpihak pada korban

Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan menyentil cara media memberitakan prostitusi online, dalam kasus aktris VA dan selebgram AS. Melalui keterangan tertulisnya, Komnas Perempuan meminta agar media tidak mengeksploitasi perempuan yang dilacurkan, dalam hal ini aktris yang diduga terlibat prostitusi online. 

"Agar media menghentikan pemberitaan yang bernuansa misoginis dan cenderung menyalahkan perempuan," ujar Komisioner Komnas Perempuan Budi Wahyuni, Senin (7/1). 

Budi dan Komnas Perempuan secara keseluruhan menyayangkan ekspos yang terlalu berlebihan pada perempuan, korban, dan prostitusi online. Akibatnya, isi pemberitaan malah melebihi proses pengungkapan kasus yang sedang berjalan. 

"Pemberitaan sering kali mengeksploitasi korban, membuka akses informasi mengenai korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat berpikir bahwa korban pantas jadi korban kekerasan dan layak dihakimi," kata Budi. 

Lalu, apa kekhawatiran Komnas Perempuan apabila situasi ini berlanjut? 

1. Prostitusi online adalah bentuk perpindahan dari prostitusi offline

Komnas Perempuan Sentil Media Soal Pemberitaan Artis Prostitusi OnlineIDN Times/Sukma Shakti

Menurut Komnas Perempuan, prostitusi online dikhawatirkan bentuk perpindahan dari prostitusi offline. Prostitusi online menyangkut soal tindak kejahatan siber yang berbasis kekerasan terhadap perempuan, terutama kasus balas dendam bernuansa pornografi atau disebut revenge porn

"Ini berupa distribusi gambar atau percakapan tanpa seizin yang bersangkutan," ujar Budi melalui keterangan tertulis. 

Dalam catatan Komnas Perempuan, pengaduan langsung menyangkut revenge porn ini semakin kompleks. 

Baca Juga: Penyewa Prostitusi Online Artis dari Kalangan Pengusaha Hingga Pejabat

2. Komnas Perempuan menilai prostitusi termasuk kekerasan terhadap perempuan

Komnas Perempuan Sentil Media Soal Pemberitaan Artis Prostitusi OnlineIDN Times/Sukma Shakti

Dalam pandangan Komnas Perempuan, prostitusi termasuk dalam kekerasan terhadap kaum perempuan. Kendati begitu, Komnas Perempuan tidak setuju ada tindak kriminalisasi yang menyasar pada perempuan yang dilacurkan. 

"Permasalahannya tidak sesederhana pandangan masyarakat bahwa prostitusi adalah kehendak bebas perempuan. Sama seperti perempuan menjadi pekerja seks, sehingga mereka rentan dipidana," kata Budi. 

Alih-alih menghakimi, Komnas Perempuan mendorong agar publik turut kritis dan mencari akar persoalan dari kasus prostitusi online. 

"Hendaknya dilihat prostitusi online sebagai jeratan kekerasan seksual, di mana banyak perempuan yang ditipu dan  diperjualbelikan. Jadi, tidak sesederhana itu," tutur Budi. 

3. Komnas Perempuan ajak publik tidak menghakimi perempuan korban eksploitasi industri hiburan

Komnas Perempuan Sentil Media Soal Pemberitaan Artis Prostitusi OnlineIDN Times/Sukma Shakti

Komnas Perempuan juga mendorong publik agar tidak menghakimi begitu saja perempuan yang menggantungkan pekerjaan di industri hiburan. Sebab, bisa jadi mereka adalah korban eksploitasi. 

Komnas Perempuan juga meminta kepada penegak hukum agar berhenti mengekspos ke publik soal penyelidikan mereka. 

"Akibatnya, pemberitaan di muka publik kini lebih besar dan melampaui proses pengungkapan kasus yang sedang berjalan," kata Budi. 

4. Komnas Perempuan soroti pemberitaan media yang sering tidak berpihak pada korban

Komnas Perempuan Sentil Media Soal Pemberitaan Artis Prostitusi OnlineDok.IDN Times/Istimewa

Hal lain yang disoroti oleh Komnas Perempuan yakni media dinilai tidak berpihak kepada korban, khususnya perempuan yang mengalami kekerasan seksual. 

"Pemberitaan malah sering kali mengeksploitasi korban. Memuat informasi korban kepada publik hingga pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat berpikir, korban pantas untuk dihakimi," kata Budi. 

Hal lain yang juga menjadi sorotan yakni jarang media yang turut memberitakan identitas dari pelaku tindak kejahatan seksual atau pengguna jasa prostitusi. Lebih banyak fokus kepada perempuan yang jadi korban. 

5. Polisi tidak mau ungkap identitas pemakai jasa prostitusi karena khawatir itu aib

Komnas Perempuan Sentil Media Soal Pemberitaan Artis Prostitusi OnlineIDN Times/Fitria Madia

Sikap Polri yang tidak profesional dalam mengungkap kasus prostitusi online juga dikritik oleh Komnas Perempuan dan publik. Salah satu yang dipertanyakan yakni mengapa identitas yang diungkap justru hanya pihak perempuan atau korbannya saja, sedangkan pria yang menjadi pemakai jasa kencan atau prostitusinya tidak. Padahal, pria itu jelas-jelas menggunakan jasa prostitusi online. 

Pernyataan Polri yang menyebut tarif jasa aktris VA mencapai Rp80 juta semakin menyudutkan korban. Setelah sempat didesak, akhirnya Polri mulai sedikit demi sedikit membuka identitas pengguna prostitusi online itu. 

Kasubdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Harissandi menyebut, teman kencan VA adalah seorang pengusaha bernama Rian. Usianya sekitar 40-50 tahun. Ia diketahui memesan jasa prostitusi online saat sedang berada di Surabaya. 

Menurut informasi dari polisi, Rian adalah seorang pengusaha tambang di Lumajang. Kendati begitu, Rian memegang KTP Jakarta. 

"KTP-nya Jakarta, Jakarta Pusat sepertinya," kata Harissandi.

Lantaran memiliki tempat kerja di Lumajang, sehingga mengharuskan dia bolak-balik Jakarta-Surabaya. Lalu, mengapa polisi tidak bersedia mengungkap foto Rian ke publik? Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Frans Barung Mangera berdalih, personel Polri tidak boleh mengungkap aib orang. 

"Polisi ini bukan untuk membuka aib seseorang, karena ada undang-undang yang mengatur kita untuk menutup itu," kata Frans, Selasa (8/1). 

Ia menjelaskan, di dalam tahap penyidikan, personel Polri tidak saja harus menegakan hukum, tetapi juga mematuhi aturan yang ada, salah satunya dengan menutup akses informasi. 

Baca Juga: 100 Model dan 45 Artis Terlibat Prostitusi Online, Ada yang Penyanyi

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya