Mahfud Persilakan Publik yang Tak Puas UU Kesehatan untuk Gugat ke MK

Ketum IDI menilai UU Kesehatan cacat hukum

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mempersilakan publik untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bila tidak puas dengan penetapan Omnibus Law UU Kesehatan. Undang-undang kontroversial itu disahkan pada 11 Juli 2023 di tengah aksi unjuk rasa dari sejumlah organisasi tenaga kesehatan. Pengesahan RUU Kesehatan itu dilakukan meski publik belum dapat mengakses draf terbarunya. 

"Karena ini (UU Kesehatan) kan sudah selesai. Tapi, ada yang merasa sangat penting untuk diubah, itu nanti ada di Mahkamah Konstitusi (MK). Silakan nanti masuk saja ke situ dan alasannya akan dijelaskan," ungkap Mahfud seperti dikutip dari kantor berita ANTARA pada Jumat (14/7/2023). 

Ia menambahkan dalam proses pengesahan undang-undang, pasti ada kelompok yang setuju dan tidak. Menurutnya, bila undang-undang itu tetap disahkan di dalam rapat paripurna DPR maka aturan tersebut dianggap sah. Bagi yang keberatan, kata Mahfud, tetap disediakan jalur hukum melalui MK. 

"Tapi, ini berlaku tidak hanya untuk undang-undang kesehatan. Undang-undang apapun, kalau dibahas pasti ada yang menyatakan setuju dan ada yang tidak. Biasanya setelah disahkan (ada yang mengajukan keberatan ke MK)," tutur dia. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan dalam bernegara harus tunduk pada mekanisme konstitusional. Artinya, setelah undang-undang disahkan maka harus dilaksanakan. 

"Tetapi, kalau masih merasa tidak puas dan ingin agar UU Kesehatan itu tidak diberlakukan ya di konstitusi silakan uji di MK," ujarnya. 

1. Organisasi nakes nilai ajukan gugatan ke MK lebih baik dibandingkan mogok kerja

Mahfud Persilakan Publik yang Tak Puas UU Kesehatan untuk Gugat ke MKKetua Umum Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah (Tangkap Layar Webinar Forum Anak Indonesia)

Sementara, organisasi Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah mengatakan lebih memilih jalan judicial review (JR) dibandingkan mogok kerja nasional. Menurut Harif, langkah tersebut lebih realistis. 

"Nah itu belum (aksi mogok nasional). Apalagi karena sudah disahkan. Paling realistis kami lakukan judicial review dulu lebih awal," ujar Harif pada 11 Juli 2023 lalu. 

Di sisi lain, Harif mengatakan aksi mogok nasional itu tak bisa dilakukan hanya di internal PPNI lantaran harus dilakukan bersama keempat organisasi profesi kesehatan lainnya.

Keempat organisasi profesi yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

"Sampai hari ini, kami tetap melakukan koordinasi dengan 4 profesi lainnya. Memang, kalau dari PPNI itu hasil kerja rapat nasional dapat dilakukan mogok nasional itu dengan syarat kolektif," katanya lagi. 

Baca Juga: PKS: Mandatory Spending Dipangkas, Masyarakat Sulit Akses Faskes

2. Pemerintah hapuskan kewajiban minimal alokasi belanja kesehatan (mandatory spending)

Mahfud Persilakan Publik yang Tak Puas UU Kesehatan untuk Gugat ke MKilustrasi tenaga nakes memeriksa pasien (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)

Salah satu poin yang santer dikritik oleh publik dari draf RUU Kesehatan, yakni pemerintah dan DPR menghapus pasal yang mengatur besaran minimal alokasi belanja (mandatory spending) untuk urusan kesehatan dalam anggaran negara dan anggaran daerah.

Di dalam UU Kesehatan yang lama, pemerintah wajib menganggarkan minimal sebesar 5 persen untuk anggaran kesehatan. Angka itu di luar dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji. 

Sedangkan, besaran anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, dialokasikan minimal 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Bila anggaran minimal itu dihapuskan, maka berdampak pada rakyat kecil yang kesulitan mengakses fasilitas kesehatan yang baik. 

Hal itu juga yang disampaikan oleh Anggota Komisi IX DPR, Aliyah Mustika Ilham, dalam rapat kerja pada 19 Juni 2023 lalu. Aliyah menegaskan, pihaknya terus memperjuangkan agar anggaran kesehatan bisa ditetapkan lebih dari 5 persen dari APBN. Hal itu tertuang di dalam undang-undang yang lama. 

"Fraksi Partai Demokrat dalam rapat panja telah mengusulkan dan memperjuangkan anggaran kesehatan atau mandatory spending di luar gaji dan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Namun, tidak disetujui dan pemerintah justru lebih memilih mandatory spending kesehatan dihapuskan," ujar Aliyah. 

Menurut Demokrat, sikap pemerintah itu mencerminkan komitmen politik yang minim untuk memberikan akses kesehatan merata kepada rakyat. Mandatory spending, kata Aliyah, tetap dibutuhkan untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 

3. Menkes sebut ketentuan mandatory spending belum tentu pengaruhi derajat kesehatan seseorang

Mahfud Persilakan Publik yang Tak Puas UU Kesehatan untuk Gugat ke MKMenteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat keterangan pers usai Ratas Evaluasi PPKM di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, pada Senin (3/1/2022). (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Sementara, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin justru menilai Indonesia jangan meniru negara lain yang sudah membuang uang atau anggaran terlalu banyak di bidang kesehatan, namun hasilnya tidak bagus. Pernyataan itu ia sampaikan menanggapi dihapusnya anggaran wajib (mandatory spending) dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan.

Menurut Budi, ketentuan besarnya mandatory spending tidak menentukan kualitas dari keluaran (outcome) atau hasil yang dicapai. "Itu yang kami ingin mendidik masyarakat, butuh bantuan dari teman-teman bahwa jangan kita meniru kesalahan yang sudah dilakukan banyak negara lain yang buang uang terlampau banyak," ujar Budi pada 11 Juli 2023 di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta Pusat. 

Budi menyampaikan, tidak ada data dari satupun negara yang membuktikan besarnya pengeluaran di bidang kesehatan akan berpengaruh pada derajat kesehatan seseorang. Ia lalu menyebut besaran pengeluaran di beberapa negara di bidang kesehatan. Kemudian, Budi sandingkan dengan rata-rata usia harapan hidup warganya.

Di Amerika Serikat (AS), pengeluaran kesehatannya mencapai 12 ribu dollar AS per kapita per tahun dengan rerata usia harapan hidup mencapai 80 tahun. Namun di Kuba dan negara lainnya, pengeluaran di bidang kesehatan lebih kecil dengan usia harapan hidup yang sama. Negara itu hanya mengeluarkan belanja negara di bidang kesehatan sebesar 1.900 dollar AS per kapita per tahun, dengan usia harapan hidup mencapai 80 tahun.

Baca Juga: Organisasi Profesi Kesehatan Mendemo RUU Kesehatan Omnibus Law

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya