Mahfud Risau Polarisasi Cebong-Kadrun Kembali Terjadi di Pemilu 2024

Polarisasi tajam bisa terjadi lagi bila hanya ada 2 capres

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengaku risau polarisasi cebong dan kadrun kembali terjadi usai pemilu 2024 digelar. Kekhawatiran itu dinilai Mahfud beralasan lantaran observasinya di ruang publik, termasuk media sosial. 

"Sesudah pemilu itu bisa gak kita melakukan konsolidasi untuk melakukan dua hal? Satu, polarisasi. Maaf, meskipun kita sudah tidak rame-rame mengelompokan kelompok cebong-kadrun, itu kan masih banyak di tengah masyarakat. Mungkin namanya ndak disebut, tetapi serangannya kan masih ada," ungkap Mahfud ketika menyampaikan keterangan di Gedung Lemhanas, Jakarta Pusat dan dikutip dari YouTube pada Kamis (2/2/2023). 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyebut residu dari pemilu tersebut perlu segera diatasi karena dapat memicu permasalahan lainnya. Salah satunya separatisme yang semakin berani. 

Anak permasalahan lainnya yaitu ideologi trans nasional. "Misalnya, ideologi (membentuk) khilafah. Sebenarnya, banyak orang yang tidak tahu makna khilafah itu apa, bagaimana kedudukannnya dan lain sebagainya. Mereka hanya meneriakkan khilafah begitu saja," kata dia. 

Bahkan, semangat untuk membentuk khilafah, tutur Mahfud, pernah diucapkan oleh seorang jenderal di TNI. Padahal, pemerintah saat ini juga tengah membangun keadilan sama seperti tujuan dibangun khilafah. 

"Tujuan dari dibangunnya khilafah kan keadilan, nah pembentukan Indonesia juga begitu. Ini kan soal pelaksanaan, bukan soal sistem bernegara dan di Pancasila sudah ada itu," ujarnya lagi. 

Ia kemudian mempertanyakan seandainya Indonesia berubah menjadi negara berbasis agama, apakah menjadi lebih baik. Salah satunya, tingkat korupsinya turun drastis. 

"Lihat saja negara seperti Arab Saudi, itu tingkat korupsinya besar sekali. Tapi, itu kan misalnya," kata dia. 

Lalu, apa komentar Mahfud ketika Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia jeblok 4 poin? Semula IPK Indonesia pada 2021 ada di skor 38. Namun, kini melorot menjadi 34. 

1. Polarisasi bisa diminimalisasi seandainya capres pada Pemilu 2024 berjumlah lebih dari dua orang

Mahfud Risau Polarisasi Cebong-Kadrun Kembali Terjadi di Pemilu 2024Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara, dulu di Pemilu 2014, para pendukung Joko "Jokowi" Widodo kerap disebut 'cebong'. Sedangkan, fans dari Prabowo dijuluki 'kampret.' Polarisasi itu terus berlanjut hingga pemilu 2019. 

Menurut analis politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komaruddin, polarisasi tajam bisa diminimalisasi seandainya jumlah capres yang nanti maju berjumlah lebih dari dua pasang. Ia membayangkan bila capres berjumlah tiga atau empat. 

Poros ketiga dan keempat ini akan mencegah masyarakat terbelah jadi dua kubu yang saling berhadap-hadapan.

"Polarisasi bisa diminimalisir karena ada pemecah ombak, pemecah gelombang karena pertarungannya tidak dua kubu, tidak dua seteru," ungkap Ujang ketika dihubungi oleh IDN Times pada Kamis (2/2/2023) melalui telepon. 

Namun, kata Ujang, polarisasi akan tetap terjadi sepanjang sepanjang tim sukses capres ataupun partai pengusungnya terus melakukan strategi 'pembusukan' terhadap lawan politik. "Dalam konteks membusu-busuki lawan ini, kan bisa dengan menghantam lawan politik, menafikkan, pembunuhan karakter, lalu mengkasus-kasukan, memfitnah, menebar hoaks dan sebagainya. Nah, itu lah sebenarnya yang akan memunculkan polarisasi masyarakat," tutur dia. 

Baca Juga: Pengamat: AHY Kurang Kuat, Anies-Puan Lebih Pas Satukan Cebong-Kampret

2. Menko Mahfud duga IPK Indonesia jeblok karena banyak digelar OTT

Mahfud Risau Polarisasi Cebong-Kadrun Kembali Terjadi di Pemilu 2024Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia anjlok 4 poin di tahun 2022. (Dokumentasi TII)

Sementara, Menko Mahfud mengakui bahwa anjloknya IPK Indonesia adalah yang paling parah sejak reformasi 1998 lalu. Namun, ia menegaskan bahwa itu adalah persepsi. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut persepsi publik buruk lantaran kasus korupsi semakin merajalela. 

"Tapi, memang kami sudah duga (akan turun), kan OTT banyak sekali. Korupsi di mana-mana terjadi. Kan akibatnya kemarahan publik naik makanya menyebabkan persepsi juga jelek," kata Mahfud. 

Padahal, bila merujuk kepada data TII, IPK Indonesia tertinggi terjadi pada 2019 yakni dengan skor 40. Sepanjang 2018 hingga 2019, komisi rasuah berhasil mencetak rekor Operasi Tangkap Tangan (OTT) terbanyak sepanjang sejarah yakni 30 operasi senyap. Artinya, semakin banyak penindakan menandakan upaya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi berjalan. 

Mahfud pun menyebut saat ini pemerintah tengah mengatur sejumlah langkah agar IPK Indonesia kembali naik. 

3. IPK Indonesia jeblok karena pengusaha dan penguasa berkelindan di pusat kekuasaan

Mahfud Risau Polarisasi Cebong-Kadrun Kembali Terjadi di Pemilu 2024Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri. (Tangkapan layar YouTube Transparency International Indonesia)

Sementara, ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri mengatakan salah satu penyebab anjloknya IPK Indonesia sebanyak 4 poin, lantaran konflik kepentingan yang sudah tidak terbendung di Tanah Air. Antara penguasa dengan pengusaha berkelindan di lingkar kekuasaan serta Istana. 

"Jadi, tidak jelas lagi mana penguasa dan pengusaha. Tidak ada batas di institusi demokrasi," ungkap Faisal seperti dikutip dari YouTube TII. 

Hal itu kemudian berpengaruh ke kebijakan untuk memudahkan investasi dari investor asing. Sayangnya, kata Faisal, investor yang masuk ke Indonesia adalah jenis investor berkualitas rendah. 

"Dampaknya para investor akan memilih proyek-proyek yang menghasilkan keuntungan secara cepat, tidak perlu membangun infrastruktur, pokoknya keruk secepat mungkin, lalu dibawa pulang. Itu lah smelter nikel (di Indonesia)," kata dia. 

Ia pun memproyeksi cadangan nikel Indonesia bakal habis dalam 10 tahun ke depan karena dikeruk oleh investor asing, mayoritas berasal dari China. "Kan sebanyak 22 dari 23 smelter yang ada, dibiayai China," ujarnya. 

Lantaran, investor ini ingin secepatnya mengeruk keuntungan maka diberikan perlindungan aturan dalam waktu relatif cepat. Ia memberikan contoh, saat hendak membangun smelter seandainya perlu melakukan pembebasan lahan, maka mereka tak akan ikut prosedur. 

"Yang dilakukan lahan warga diambil dulu, terjadi konflik lahan, lalu ditangani oleh tentara dan polisi. Ujung-ujungnya terjadi kekerasan," tutur dia lagi. 

Baca Juga: Singgung Polarisasi, Jokowi: Pemilu 2024 Bukan Eranya Gontok-gontokan!

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya