Pemerintah Arahkan Jakarta Jadi Kota Aglomerasi, Ditangani Wapres

Mendagri bantah penetapan aglomerasi punya motif politik

Jakarta, IDN Times - Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengakui status Jakarta sudah tidak lagi menjadi ibu kota sejak Februari 2024. Sebab, menurut ketentuan Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (IKN) nomor 3 tahun 2022, harus ada ketentuan baru untuk mengatur Jakarta.

Jakarta pun kini disebut sebagai Daerah Khusus. Namun, belum dijelaskan di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) apa hal khusus dari Jakarta usai tak lagi menyandang status ibu kota. 

Namun, di dalam rapat bersama Badan Legislatif (Baleg) DPR, Tito meluruskan konsep aglomerasi yang kini menjadi sorotan luas publik. Banyak yang menyebut aglomerasi bermakna penyatuan wilayah beberapa daerah penyangga di sekitar Jakarta. Menurut, mantan Kapolri itu, tidak ada penyatuan wilayah apapun. 

"Kami ingin menjelaskan aglomerasi, agar tidak diplintir ke mana-mana. Kami lihat plintirannya sudah banyak," ujar Tito sambil tertawa di ruang Baleg DPR, Jakarta Pusat. 

Usulan penyebutan aglomerasi sudah dimulai sejak April 2022 lalu. Artinya, kata Tito, merujuk kepada waktu itu belum ada pembentukan koalisi parpol untuk Pemilu 2024. Bahkan, paslon yang hendak maju saja, kata Tito, mereka belum tahu. 

"Jadi, pada April 2022, kami sudah membuat tim untuk membahas dan membuat draf tentang RUU Daerah Khusus Jakarta. Di antaranya melibatkan ahli-ahli, termasuk ahli tata kota dari ITB, UI hingga UGM. Termasuk kami juga melibatkan ahli hukum tata negara, Pak Jimly Asshidiqqie," tutur dia. 

"Saat itu, belum ada koalisi untuk maju di Pemilu 2024. Apalagi paslonnya siapa, gak tahu, gitu. Dalam diskusi (di antara para ahli) itu muncul lah pentingnya penataan pembangunan mulai dari perencanaan hingga evaluasi," katanya,⁶ seolah menepis bahwa DKJ disiapkan untuk dipimpin putra Presiden Joko "Jokowi" Widodo. 

1. Tito sebut Jakarta tidak pas disebut Metropolitan atau Megapolitan

Pemerintah Arahkan Jakarta Jadi Kota Aglomerasi, Ditangani WapresMenteri Dalam Negeri, Tito Karnavian di rapat Baleg DPR. (Tangkapan layar YouTube Baleg DPR)

Lebih lanjut, mantan Kepala Densus 88 Antiteror itu mengatakan di dalam grup diskusi (FGD) April 2022 lalu muncul sejumlah istilah untuk menyebut Jakarta usai tak lagi menyandang status ibu kota. Mulai dari metropolitan Jadebotabek Jur, megapolitan hingga aglomerasi. 

"Kalau (penyebutan) metropolitan, megapolitan, seolah-olah (daerah penyangga) akan dijadikan satu pemerintahan. Ini banyak ditentang. Karena nanti akan mengubah banyak undang-undang. Mulai dari UU Jawa Barat, UU Banten, UU tentang Kota Bekasi, hingga Depok. Sehingga, saat itu disepakati, daerah itu disebut kawasan aglomerasi," kata Tito. 

Aglomerasi bermakna tidak memiliki keterikatan administrasi pemerintahan. Namun, kawasan Jadebotabek itu perlu diharmonisasi program-programnya. 

"Terutama, yang menjadi problem bersama. Prinsip utama dari kawasan ini adalah harmonisasi, mulai dari perencanaan dan melakukan evaluasi secara reguler. Supaya on the right track, agar sinkron," ujarnya. 

Baca Juga: DPR: RUU Pilkada Otomatis Gugur Usai Putusan MK

2. Wapres akan melakukan harmonisasi program Aglomerasi Jadebotabek

Pemerintah Arahkan Jakarta Jadi Kota Aglomerasi, Ditangani WapresMenteri Dalam Negeri, Tito Karnavian (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Tito juga menjelaskan bahwa perlu ada pihak yang melakukan sinkronisasi program di kawasan aglomerasi. Ia menilai harmonisasi dan sinkronisasi tidak bisa hanya ditangani oleh seorang menteri atau satu Menteri Koordinator saja. 

"Ini (harus ditangani) lintas Menko. Sehingga, di negara ini hanya dua saja (yang mampu), bicara dan mengkoordinasikan lintas Menko yaitu presiden dan wakil presiden," tutur Tito. 

Di dalam grup diskusi itu, presiden memiliki tanggung jawab skala nasional. Pekerjaannya sudah sangat luas. 

"Maka, perlu secara spesifik ditangani oleh wapres. Ini mirip seperti yang sudah kami lakukan di Papua. Dibentuknya Badan Percepatan Pembangunan Papua yang tugasnya harmonisasi pemerintahan daerah," ujarnya. 

Prinsip pemerintahan daerah, kata Tito, eksekusinya dilakukan oleh daerah masing-masing. Badan Percepatan Pembangunan Papua itu, tutur dia lagi, sudah berjalan selama dua tahun dan dipimpin oleh wapres. 

"Karena Papua pun memerlukan itu. Banyak sekali program di tingkat pusat, kementerian-kementerian tentang Papua. Entah itu masalah jalan, kemudian perhubungan, kesehatan hingga pendidikan. Tapi, ada disharmonisasi dan belum optimal harmonisasinya," tutur dia. 

Tantangannya, kata Tito, semakin berat, bila program itu mau disambungkan antar provinsi di Papua. Disharmonisasi itu semakin terasa ketika diberlakukan program di 42 kabupaten atau kota. 

"Itu lah fungsinya dibentuk badan. Tetapi, badan tersebut sifatnya bukan eksekutif atau eksekutor. Ini sebetulnya meng-copy apa yang dikerjakan oleh wapres di Badan Percepatan Pembangunan Papua. (Kewenangannya) hanya harmonisasi dan sinkronisasi. Maka, kemudian di pemerintah saat itu, muncul ide, kawasan aglomerasi itu jangan hanya di atas kertas, nama saja. Tapi harus dikerjakan," katanya menjelaskan. 

Maka, ia melanjutkan, dibutuhkan seorang sosok pemimpin yang melakukan harmonisasi. Pilihan sosok pemimpin itu jatuh ke wakil presiden. 

"Wapres ini bukan memiliki kewenangan eksekutor dan menjadi pemimpin yang lepas atau berdiri sendiri. Dia akan bertanggung jawab kepada presiden, apapun juga. Bahkan, presiden juga bisa mengambil alih," ujarnya lagi. 

Bila konsep ini betul-betul diterapkan di RUU DKJ, maka dapat diprediksi kewenangan tersebut akan dipegang oleh Gibran Rakabuming Raka. Tetapi, dengan catatan, bila paslon nomor urut dua lah yang dilantik pada 20 Oktober 2024. 

3. Ibu kota Indonesia baru resmi pindah usai presiden terbitkan keppres

Pemerintah Arahkan Jakarta Jadi Kota Aglomerasi, Ditangani WapresDok. YouTube Sekretariat Presiden RI

Tito juga membenarkan pernyataan Ketua Baleg Supratman Andi Agtas bahwa saat ini belum ditentukan kapan ibu kota Indonesia pindah. Di UU IKN pun tidak secara eksplisit disebutkan waktunya. 

"Sebab, kami masih menunggu pembangunan. Kemudian untuk dibuat fleksibel maka diberikan kewenangan itu kepada presiden dengan Keppres. Karena presiden yang paham kapan siapnya sarana dan pra sarana itu," ujar Tito. 

Ia menambahkan begitu keppres diterbitkan oleh presiden, maka saat itu lah secara de facto dan de jure ibu kota telah pindah dari Jakarta ke IKN Nusantara

https://www.youtube.com/embed/eZG5TLOU5xE

Baca Juga: Baleg soal RUU DKJ: Pemindahan Ibu Kota Tunggu Keputusan Presiden

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya