PHRI Bantah Cari Cuan dari Karantina Mandiri di Hotel Selama Pandemik

Biaya karantina berkisar dari Rp6,7 juta hingga Rp7,2 juta

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran menepis narasi dan opini publik bahwa pengelola hotel mencari cuan atau keuntungan dari karantina mandiri selama pandemik COVID-19. Menurutnya tarif hotel untuk menginap biasa tak bisa disamakan dengan biaya karantina mandiri.

Sebab, ada beberapa komponen di dalam biaya itu yang tidak dikenakan ketika menginap biasa. Selain itu, harga yang ditetapkan sudah paket selama 10 hari masa karantina mandiri. 

"Misalnya di hotel bintang lima tertulis biaya kamar Rp6,3 juta. Itu kan dibagi 10 hari, menjadi Rp630 ribu," ungkap Maulana ketika dihubungi IDN Times melalui telepon pada Selasa (21/12/2021). 

Di sisi lain, komponen lain seperti makanan di hotel harus diberikan tiga kali sehari kepada tamu, lalu biaya laundry, tes swab PCR sebanyak dua kali, tenaga kesehatan, transportasi dari bandara ke hotel, hingga biaya penjaga keamanan. "Pada dasarnya kan ini karantina bukan tamu yang menjalani staycation. Kewajiban tamu yakni membayar biaya satu orang di dalam kamar," kata dia. 

Saat ini karantina mandiri di hotel menjadi polemik lantaran harganya yang dinilai kelewat mahal. Alhasil, sejumlah WNI yang kembali dari luar negeri memilih untuk ditempatkan di fasilitas karantina terpusat di RSDC Wisma Pademangan. WNI tak perlu mengeluarkan biaya bila karantina di sana.

Sementara, di sisi lain, pemerintah malah memberikan dispensasi bagi pejabat eselon I dan di atasnya agar bisa menjalankan karantina di rumah. 

Mengapa bisa ada perbedaan kebijakan seperti ini? Siapa yang mengawasi para pejabat itu menjalani karantina di rumah?

1. Pengelola hotel tak bisa naikkan tarif karena biaya karantina tetap flat meski musim liburan

PHRI Bantah Cari Cuan dari Karantina Mandiri di Hotel Selama PandemikIlustrasi Hotel tempat karantina (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Maulana menjelaskan tidak semua hotel di area Jadebotabek menjadi hotel repatriasi atau karantina mandiri. Meski hotel tersebut menjadi fasilitas untuk karantina mandiri tak berarti semua kamar disediakan bagi WNI atau warga asing karantina. 

"Setiap hotel akan menyumbang beberapa kamarnya (untuk dijadikan fasilitas karantina). Sementara, hotel karantina harus menyediakan lantai-lantai khusus terdiri dari beberapa kamar untuk dihuni bagi karantina mandiri. Warga yang jalani karantina kan tidak bisa bercampur dengan tamu lain," ujar Maulana. 

Ia menambahkan dalam situasi di mana PPKM di area Jadebotabek sudah level 1, maka menyediakan kamar untuk fasilitas karantina mandiri tak terlalu menarik dari segi keuntungan bagi pengelola hotel. Maulana mengatakan tarif bagi kamar yang digunakan untuk karantina akan tetap flat meski permintaan sedang tinggi. 

"Hotel pada umumnya kan dinamis. Begitu, nanti okupansi tinggi, maka akan kembali ke publish rate. Sementara, hotel karantina (tarifnya) tidak bisa berubah karena sifatnya paket," kata dia. 

Namun, tidak dipungkiri, kata Maulana ada sejumlah hotel besar yang ingin masuk ke dalam daftar hotel karantina. Sebab, mereka memiliki segmen pasar khusus dan pelanggan setia. Para tamunya bila menginap, langsung memilih di hotel-hotel besar tertentu. 

Ia mengatakan keuntungan cukup besar dirasakan ketika PPKM darurat masih diberlakukan. Sebab, program karantina membantu agar tingkat okupansi hotel tetap terisi meski warga dibatasi mobilitasnya. 

Selain itu, sekarang hanya ada 130 hotel di area Jadebotabek yang terdaftar sebagai tempat melakukan karantina mandiri. Ratusan hotel itu menyediakan 15.700 kamar untuk dipakai. Sedangkan, total kamar di hotel di Jakarta yang terdata PHRI mencapai 55.800. 

Berikut adalah detail perkiraan harga karantina mandiri selama 10 hari di hotel berdasarkan data PHRI:

  • Hotel bintang 2: Rp6.750.000 hingga Rp7.240.000
  • Hotel bintang 3: Rp7.740.000 hingga Rp9.175.000
  • Hotel bintang 4: Rp9.225.000 hingga Rp11.425.000
  • Hotel bintang 5: Rp12.425.000 hingga Rp16.000.000
  • Hotel di atas bintang 5: Rp17.000.000 hingga Rp21.000.000.

Sementara, ini adalah perkiraan biaya menginap di hotel bila masa karantina mandiri ditambah menjadi 14 hari:

  • Hotel bintang 2: Rp9.050.000 hingga Rp9.900.000
  • Hotel bintang 3: Rp10.400.000 hingga Rp11.525.000
  • Hotel bintang 4: Rp12.525.000 hingga Rp14.965.000
  • Hotel bintang 5: Rp16.965.000 hingga Rp21.500.000
  • Hotel di atas bintang 5: Rp23.500.000 hingga Rp26.500.000.

Baca Juga: Catat! Ini Kisaran Biaya Harga Hotel untuk Karantina Mandiri  

2. Warga bisa memesan kamar hotel untuk karantina melalui situs D-Hots

PHRI Bantah Cari Cuan dari Karantina Mandiri di Hotel Selama PandemikDaftar pilihan hotel untuk bisa karantina usai tiba dari luar negeri (Tangkapan layar daftar hotel karantina)

Sementara, Maulana mengatakan demi transparansi maka PHRI telah menyusun situs khusus bernama D-Hots. Di sana menampilkan data berupa harga dan paket yang mereka dapatkan dari 130 hotel yang dijadikan tempat karantina mandiri. Dengan begitu, warga bisa memperkirakan berapa anggaran yang harus disiapkan untuk karantina mandiri. 

"Situs itu menghubungkan si konsumen langsung ke hotel. Jadi, situs itu bukan seperti OTA (Online Travel Agent). Hotel kemudian akan mengeluarkan barcode. Ketika mereka landing di bandara, tinggal tunjukkan barcode itu dan di sana petugas hotel sudah menunggu," ungkap Maulana memaparkan. 

Dengan cara demikian, katanya lagi, sulit untuk melibatkan mafia atau calo hotel. "Jadi, gak ada orang dari marketing hotel bisa ambil kesempatan untuk menjual (kamar) hotel di bandara," katanya lagi. 

Ia menambahkan bila masih ditemukan ada oknum hotel yang melakukan itu, maka aparat di sana yang harus menuntaskan. 

3. Dispensasi karantina bagi pejabat tinggi dinilai pilih kasih dan diskriminatif

PHRI Bantah Cari Cuan dari Karantina Mandiri di Hotel Selama PandemikIlustrasi Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) (Dok. Angkasa Pura II)

Sementara, di sisi lain, Satgas Penanganan COVID-19 malah memberikan dispensasi bagi pejabat tinggi eselon I dan di atasnya agar dapat menjalani karantina di rumah. Bahkan, durasi karantina pun juga diberikan dispensasi bisa dipangkas. Hal itu tertuang di dalam Surat Edaran (SE) nomor 25 tahun 2021. 

Tetapi, dari sudut pandang mantan komisioner Ombudsman, Alvin Lie, tidak sepatutnya pejabat eselon I dan di atasnya memperoleh dispensasi itu. Sebab, virus Sars-CoV-2 tidak melihat jabatan seseorang ketika menginfeksi. Selain itu, tidak ada pihak yang mengawasi secara melekat apakah pejabat tersebut benar-benar menjalani secara disiplin karantina di rumah. 

"Ini kan (pemberian dispensasi) serba tidak transparan. Permasalahannya yang mendapatkan dispensasi bukan hanya si pejabat negara tetapi juga keluarganya," ungkap Alvin ketika dihubungi oleh IDN Times pada Senin, 20 Desember 2021. 

"Masalah lainnya, kalau sudah di rumah siapa yang mengawasi pejabat itu disiplin menjalani karantina mandiri dan tidak berinteraksi dengan orang lain," tanyanya lagi. 

Baca Juga: Kepala BNPB: Karantina Mandiri di Hotel Khusus bagi WNA Bukan WNI

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya