Usman Hamid: Badge Awards Polri Picu Warga Takut Beropini di Medsos

Pemerintah belum terbukti lindungi kebebasan berpendapat

Jakarta, IDN Times - Rencana Bareskrim Polri memberikan hadiah lencana atau badge kepada warga yang aktif melaporkan dugaan tindak pidana di media sosial, menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu kritik yang disampaikan yaitu pemberian badge tersebut menyebabkan warga semakin takut beropini di media sosial. Sebab, mereka khawatir dilaporkan oleh warga lainnya ke polisi virtual. 

"Apalagi revisi UU ITE belum masuk ke dalam prioritas anggota dewan. Warga yang mengungkapkan pendapatnya di media sosial akan terus berada di bawah ancaman pidana, selama pasal-pasal karet di UU ITE belum direvisi," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangan tertulis, Rabu (17/3/2021). 

Usman menilai, kebebasan berpendapat di Indonesia semakin memburuk. Salah satu contoh nyata yang baru-baru ini terjadi yaitu warga asal Slawi diciduk oleh personel Kepolisian Surakarta karena dianggap menghina Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di media sosial. Padahal, Gibran tidak mengajukan laporan penghinaan kepada kepolisian. 

"Ini saja sudah benar-benar menunjukkan betapa kian menyempitnya ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Bagaimana jika Badge Awards itu benar-benar dilakukan?" tanya Usman lagi. 

Apa desakan dari Amnesty International Indonesia (AII) terkait kebijakan pemberian Badge Awards itu?

1. Amnesty International Indonesia desak pemerintah bebaskan warga yang dibui karena UU ITE

Usman Hamid: Badge Awards Polri Picu Warga Takut Beropini di Medsos(Ilustrasi narapidana) IDN Times/Sukma Shakti

Ada dua tuntutan yang disampaikan oleh Amnesty International Indonesia melalui keterangan tertulisnya. Satu, kata Usman, seharusnya pemerintah mengutamakan agar warga yang telah dibui dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa segera dibebaskan. 

"Pemerintah dan DPR juga seharusnya mengimbau instrumen negara seperti polisi agar tidak melakukan upaya kontradiktif," ujar Usman. 

Menurut Usman, warga sipil seharusnya tidak perlu takut pada ancaman hukuman pidana atau dipaksa minta maaf hanya karena mengungkapkan pendapatnya secara damai. Sehingga, ia mendesak pemerintah agar peristiwa penangkapan warga Slawi berinisial AM tidak kembali terulang. 

"Kedua, pemerintahan Presiden Jokowi harus mampu membuktikan pernyataan mereka akan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat terutama dalam menyampaikan pendapat, kritik atau ekspresi lainnya secara sah," tutur dia. 

Dalam pandangan Usman, sejauh ini pemerintah masih belum mampu memenuhi janji tersebut. Sebab, korban yang diciduk oleh polisi dengan menggunakan pasal UU ITE masih terus terjadi. 

"Rencana pemberian Badge Awards itu memicu ketegangan dan konflik sosial," ujarnya lagi. 

Baca Juga: Polisi Virtual Ciduk Warga Usai Kritik Gibran, ICJR: Picu Ketakutan

2. Polresta Surakarta tangkap warga Slawi untuk dimintai klarifikasi

Usman Hamid: Badge Awards Polri Picu Warga Takut Beropini di MedsosWarga Slawi berinisial AM minta maaf ke publik karena dinilai polisi virtual hina Walkot Gibran Rakabumi (www.instagram.com/@polrestasurakarta)

Sementara, Kapolres Surakarta Kombes (Pol) Ade Safitri mengatakan, komentar warga asal Slawi, Tegal, berinisial AM itu mengandung unsur hoaks. Di akun Instagram @garudarevolution, AM berkomentar Gibran tidak paham mengenai sepak bola. Sebab, selama ini jabatan sebagai wali kota pun diberikan pihak lain. 

"Tahu apa dia tentang sepak bola, tahunya dikasih jabatan saja," demikian tulis AM di akun pribadinya @arkham_87 pada 13 Maret 2021 pukul 18.00 WIB. 

Dari sudut pandang Ade, AM telah membuat hoaks karena Gibran duduk sebagai Wali Kota Solo bukan karena diberikan oleh ayahnya, Presiden Jokowi. Namun, lantaran memenangkan Pilkada Solo pada Desember 2020 lalu.

Ade berdalih menciduk AM karena ingin melakukan klarifikasi. Padahal, sebelumnya, kepada media, Ade jelas mengatakan personelnya menangkap AM karena ia tak bersedia menghapus komentar di unggahan akun @garudarevolution. 

"Padahal, sudah kami peringatkan melalui direct message (DM)," ujar Ade pada 15 Maret 2021 lalu. 

Ia juga sempat menjelaskan sebelum diciduk, pihaknya mengklaim telah mengonfirmasi muatan narasi itu kepada ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli ITE. Ia pun memastikan tidak akan memproses AM secara hukum. 

"Yang bersangkutan telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi," tutur Ade. 

3. Sebanyak 700 orang dibui karena dianggap melanggar UU ITE

Usman Hamid: Badge Awards Polri Picu Warga Takut Beropini di MedsosIDN Times/Sukma Sakti

Berdasarkan laporan yang disusun oleh koalisi masyarakat sipil, UU ITE mendesak untuk direvisi. Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, mengusulkan agar pemerintah segera merevisi Pasal 27-29 yang dianggap multi tafsir dan karet. Artinya, bisa menjerat siapapun. 

Koalisi sipil juga menunjukkan sejak periode 2016 hingga Februari 2020, kasus-kasus dengan Pasal 27-29 UU ITE menunjukkan penghukuman 96,8 persen (744 perkara). Sedangkan, laporan yang berakhir dengan pemenjaraan mencapai 88 persen (676 perkara). 

"Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multi tafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis," kata Koalisi Sipil. 

Sementara, bidang yang kerap disasar dengan pasal-pasal karet yaitu penyelamatan lingkungan, antikorupsi, kebebasan informasi, perlindungan konsumen, dan pro-demokrasi. 

Koalisi sipil juga menggaris bawahi agar tindak pidana penghinaan dan penyebaran berita bohong tidak tumpang tindih di dalam revisi UU ITE. Pasal-pasal terkait tindak pidana itu harus disesuaikan dengan RKUHP yang akan dibahas. 

Baca Juga: Ini Deretan Pasal yang Perlu Dihapus dari UU ITE Menurut Koalisi Sipil

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya