[WANSUS] Dubes Bagas: Swedia Belum Resmi Terapkan Herd Immunity

Tak ada lockdown, rakyat manut apa kata Pemerintah Swedia

Jakarta, IDN Times - Dalam menghadapi pandemik COVID-19, Swedia menjadi negara yang kerap disorot. Hal itu lantaran pemerintahnya memiliki cara yang berbeda dan terkesan out of the box di antara negara skandinavia, bahkan kawasan Uni Eropa. 

Swedia tidak menerapkan kebijakan lockdown. Mereka hanya diminta untuk tidak berkumpul lebih dari 50 orang. Tidak mengunjungi panti jompo dan bila dalam kondisi sakit, hindari dulu untuk beraktivitas ke luar rumah. 

Uniknya hal itu sifatnya sekedar imbauan. Namun, lantaran warga Swedia memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi ke pemerintahnya, mereka diklaim mengikuti itu. 

Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Swedia, Annusyirvan Ahmad dalam program "Ngobrol Seru" by IDN Times dengan tema "Strategi Swedia Jalani 'New Normal'" mengatakan salah satu penyebab mengapa warga di sana begitu patuh kepada pemerintahnya karena tingkat korupsi yang rendah dan tidak ada kontestasi politik dalam situasi pandemik seperti ini. 

"Sedangkan, pemerintah percaya ke masyarakat karena tingkat literasi (kemampuan membaca) 99 persen yang menyebabkan tingkat intelektualitasnya sangat tinggi," ungkap pria yang akrab disapa Ivan itu pada akhir Mei lalu. 

Sedangkan, Duta Besar Indonesia untuk Swedia, Bagas Hapsoro menjelaskan dalam mengambil kpeutusan, pemerintah mengacu kepada rekomendasi yang dibuat oleh badan kesehatan yang dipimpin oleh ilmuwan Anders Tegnell. 

"Itu menjadi acuan bagi semuanya. Jadi, apa yang dijalankan berdasarkan rekomendasi dari institusi itu," kata Bagas dalam program yang sama. 

Dubes yang sebentar lagi memasuki masa pensiun itu tak menampik bahwa faktor ekonomi turut menjadi pertimbangan mengapa tidak diterapkan lockdown. Maka, sudah bisa ditebak hasilnya angka kematian di Swedia lebih tinggi bila dibandingkan negara Skandinavia lainnya. Lebih dari 4.029 orang meninggal ketika wawancara ini dilakukan. Tetapi, Pemerintah Swedia bersikeras tetap tak akan memberlakukan lockdown

Apakah ini bermakna Swedia memang secara serius menerapkan herd immunity? Simak perbincangan IDN Times dengan Dubes Bagas dan Ivan berikut. 

Apakah ada perbedaan yang dirasakan oleh anak muda di Swedia ketika terjadi pandemik COVID-19? Apakah ada penyesuaian aktivitas yang dilakukan?

[WANSUS] Dubes Bagas: Swedia Belum Resmi Terapkan Herd Immunityunsplash.com/jbrinkhorst

Ivan: saya memang tidak merasakan ada perbedaan antara sebelum pandemik dan sesudah terjadi pandemik. Jadi, situasi seperti berjalan seperti biasa saja di Swedia. Yang terasa berbeda terjadi ketika di sesi perkuliahan, yang biasanya kita harus ke kampus hampir setiap hari dan belajar di perpustakaan, namun karena berbagai kebijakan kampus.

Mengapa kampus akhirnya memberlakukan kebijakan pembelajaran jadi online? Kan gak diberlakukan lockdown?

Ivan: mungkin salah satunya untuk mencegah rantai penyebaran COVID-19 ini. Sesuai pandangan saya, menurut Pemerintah Swedia sendiri yang bisa menjadi pemicu virus ini transmisi warga lansia. Kalau di kampus kan, isinya bukan hanya anak muda saja, tetapi ada juga lansianya. Ada juga yang mengambil program S3 dan ada profesor-profesor juga, oleh karena itu untuk lebih amannya, lebih baik diubah saja supaya jadi virtual untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan. Di kampus kan juga rata-rata sudah sangat internasional, artinya Pemerintah Swedia juga harus bertanggung jawab ke mahasiswa asing lainnya. 

Mulai kapan pembelajaran virtual mulai berlaku di seluruh kampus di Swedia?

Ivan: Pemerintah Swedia tidak melarang kampus untuk mengubah metode pembelajarannya jadi virtual, tetapi hanya memberikan imbauan dan pada akhirnya setiap kampus boleh memutuskan masing-masing bagaimana kebijakannya. Pada akhirnya sejak awal semester genap, sejak Maret, sudah berubah jadi virtual. Ujian juga berubah menjadi virtual dan kemudian prediksinya dimulai dari pertengahan semester, bulan Agustus sampai September atau Oktober metode virtual tetap dipertahankan. 

Tetapi ini semua masih dalam situasi observasi dan evaluasi. Kalau situasi sudah membaik itu pasti akan kembali berubah menjadi offline. Sejujurnya saya lebih suka (pembelajaran) offline, ketemu dengan teman-teman, masuk ke kampus dan gak hanya belajar secara virtual saja dari kasur atau dapur. 

Apakah di Swedia juga mengalami hal teknis seperti internet ngadat?

Ivan: hal teknis yang paling mengganggu kadang cuma masalah koneksi internet aja sih. Alhamdulilah, di Swedia ini kan koneksi internet sangat maju, cepat. Jadi, tidak ada masalah. Cuma di awal-awal perkuliahan virtual itu kendala teknisnya justru lebih banyak dialami oleh pelajar. Pengajar itu kan sudah bukan lagi millennial dan gen Z. Jadi, mereka gak familiar dengan menggunakan fasilitas perkuliahan online seperti Zoom. Mereka masih belum memaksimalkan fitur yang lain seperti grup chat dan lain-lain. 

Beliau-beliau ini kan banyak yang baru mengalami kali pertama kuliah online. Ketika mau mulai perkuliahan, 15 menit pertama itu habis digunakan untuk menanyakan hal-hal teknis mengenai aplikasi itu. Tapi, seiring waktu, alhamdulilah sekarang semuanya sudah bisa menyesuaikan. 

Apa pandangan anak muda di Swedia sendiri soal pandemik COVID-19 ini? Apakah mereka cenderung setuju tidak diberlakukan lockdown atau ingin agar pergerakannya dibatasi?

[WANSUS] Dubes Bagas: Swedia Belum Resmi Terapkan Herd Immunity(Strategi Swedia dalam mengadapi pandemik COVID-19) IDN Times/Sukma Shakti

Ivan: Saya pernah ngajak diskusi dengan teman-teman di kampus atau yang tinggal di koridor saya tinggal, dan kami satu suara bahwa kami lebih suka dengan approach yang diterapkan oleh Pemerintah Swedia ini, yang mana tidak menetapkan lockdown atau peraturan yang sangat ketat, tetapi hanya mengimbau saja. Karena kita sebagai individu yang intelek, mahasiswa, jadi kami sudah tahu dengan sendirinya apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan tanpa diminta oleh pemerintah seperti A, B, dan C. 

Jadi, kalau pemerintah pun sudah mengimbau, maka kami pun harus sadar, bahwa ini tidak ada lockdown, boleh keluar tetapi setidaknya hindari kerumunan. 

Masih ada yang bandel gak tuh dan apabila ketahuan, apakah ada sanksi?

Ivan: Yah, namanya peraturan, tentu ada oknum-oknum yang tidak mengikuti. Pemerintah Swedia memang tidak memberlakukan peraturan yang sangat ketat seperti denda, polisi berkeliaran atau GPS yang dipasang di masing-masing warga. Jadi, pemerintah itu mengimbau dan masyarakat mengikuti. 

Mengapa ini bisa terjadi, karena sudah ada rasa saling percaya di antara kedua pihak. Pemerintah percaya dengan masyarakatnya dan masyarakat percaya dengan pemerintah. Mengapa masyarakat lebih percaya dengan pemerintah karena setahu saya tidak ada korupsi di pemerintahan yang berdampak tingkat kepercayaan ke publik tinggi. Sedangkan, pemerintah percaya ke masyarakat karena tingkat literasi (kemampuan membaca) 99 persen yang menyebabkan tingkat intelektualitasnya sangat tinggi. 

Artinya, masyarakat percaya penuh ke pemerintah, apapun kebijakan yang dirancang demi kebaikan masyarakat dan bukan segelintir orang?

Ivan: Betul dan tidak ada kontestasi politik. 

Saya beralih ke Anda Pak Dubes Bagas, apakah ada strategi lain yang diterapkan oleh Swedia dalam menghadapi pandemik COVID-19 ini?

Bagas: Jadi, antara strategi dengan protokol saling terkait dan diterapkan di Swedia. Yang tadi Anda sebutkan seperti menghindari kerumunan, meminta masyarakat agar yang kena flu, batuk, pilek, itu tidak keluar rumah sama sekali. Dasarnya setiap orang itu bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan diri sendiri. Setiap masyarakat punya peranan masing-masing. 

Artinya bila ada yang melanggar seperti berkerumun lebih dari 50 orang, itu akan dikenakan sanksi. Yang diberikan sanksi itu, kafe, pemilik toko, bar. Di sini sudah ada sekitar 5 restoran yang kena. Sanksinya ditutup sementara waktu. Barang kali itu bagian dari aspek membuat jera ya. 

Mengapa, Pemerintah Swedia tidak mau memberlakukan lockdown?

[WANSUS] Dubes Bagas: Swedia Belum Resmi Terapkan Herd ImmunityIlustrasi lockdown (IDN Times/Arief Rahmat)

Bagas: Masyarakat Swedia itu memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, antara lain didukung faktor pendidikan yang baik dan literasi yang cukup. Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah memang tinggi. Perdana Menteri Stefan Lofven mengatakan "kami orang dewasa harus benar-benar menjadi orang dewasa, tidak menyebarkan kepanikan atau rumor." Semua kebijakan didasarkan pada bukti saintifik, hasil kajian yang dibuat oleh Badan Kesehatan Swedia yang dipimpin oleh Anders Tegnell. Itu menjadi acuan bagi semuanya. Jadi, apa yang dijalankan berdasarkan rekomendasi dari institusi itu. 

Di Swedia, baik yang kubu oposisi dan pemerintah bersatu padu karena ahlinya sudah ada dalam hal ini. 

Apakah salah satu tidak menerapkan kebijakan lockdown karena turut memperhatikan faktor ekonomi yang bisa ikut terancam?

Bagas: ada juga pertimbangan demikian. Dari segi ekonomi lockdown jelas akan berpengaruh besar. Selain itu, sudah ada pernyataan yang dibuat oleh Menteri Keuangan, Magdalena Andersson, bahwa sejak munculnya pandemik ini di awal Maret, PDB sudah menyusut empat persen. Ini luar biasa. Apalagi kalau benar-benar ditutup. Bisa lebih besar kan (dampaknya). 

Bila melihat statistik penyebaran COVID-19 di Swedia, penularan kasusnya kan juga tergolong tinggi. Warga Swedia tidak mengalami ketakutan?

Bagas: rasa khawatir itu ada, khususnya orang-orang yang rentan dengan pandemik ini, di mana pemerintah juga memberikan perhatian, seperti hipertensi, paru-paru, darah tinggi. Angka yang Anda sampaikan sesungguhnya lebih sedikit dibandingkan saat ini. Untuk hari ini, kasus infeksi sudah menembus 33.843 orang sudah terinfeksi. Sebanyak 4.029 itu adalah korban meninggal. Ini penambahan 31 orang sejak 24 jam yang lalu. 

Apakah ada WNI yang terpapar COVID-19 di Swedia?

Bagas: alhamdulilah tidak ada. Pernah ada yang kena gejala dan berangsur-angsur membaik. Kita doakan mudah-mudahan sembuh. Yang sembuh juga banyak. Yang korban lumayan besar mencapai 4.971. Harapan kami tentu kondisinya bisa semakin baik.

Dengan angka infeksi yang semakin meningkat di Swedia, tidak kah membuat ilmuwan Anders Tegnell itu menganulir kebijakannya dan merekomendasikan pemerintah agar melakukan lockdown sebagian?

[WANSUS] Dubes Bagas: Swedia Belum Resmi Terapkan Herd Immunity(Ilmuwan Swedia Anders Tegnell) www.thelocal.se

Bagas: ya, itu memang dikaji setiap saat, tiap hari laporan-laporan dari rumah sakit dan laboratorium. Lalu, mereka juga melihat kurvanya masih terus (naik) dan belum landai. Kekhawatiran itu dirasakan lebih kepada kaum yang rentan. Sesungguhnya, life expectancy di Swedia ini kan tergolong tinggi 87 atau 85. Dengan adanya pandemik ini jadi berkurang. Padahal, harapan hidup yang tinggi di Swedia sudah dikenal di kawasan negara-negara Skandinavia. 

Rata-rata kalau di Swedia itu kan pensiun di usia 67. Mereka lebih banyak ditemukan di panti jompo. Orang Indonesia yang sudah pensiun, tinggal di rumah di Swedia juga ada. Usianya 82 tahun. Yang patut dicatat juga, kaum lansia itu tidak akan merepotkan, terutama kepada anak-anaknya. 

Mengapa publik di Swedia begitu mempercayai pemerintahnya? Apakah karena kebijakan yang dibuat dirasakan langsung manfaatnya untuk masyarakat?

Bagas: Di sini yang namanya riset, inovasi dan pembangunan termasuk maju. Negara Nordic termasuk Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia memiliki tingkat kepercayaan ke pemerintah sangat tinggi. Warga percaya setiap kebijakan yang dibuat untuk kemaslahatan bersama. 

Badan Kesehatan Masyarakat Swedia yang tadi saya sebut itu sesungguhnya institusi yang memiliki kewenangan besar walaupun jumlah orang di dalamnya sedikit. dan rekomendasi mereka dipercaya. Lembaga yang dibentuk oleh pemerintah itu sudah berusia 400 tahun. Jadi, bila ada pandemik atau bencana, mereka lah yang memberikan rekomendasi. Swedia ini kan juga dikenal sebagai pusatnya inovasi, makanya Nobel kan diadakan di sini. 

Ivan: mungkin salah satu alasan mengapa badan itu dipercaya karena tidak ada intervensi politik dan berdiri sendiri serta terlepas dari Kementerian Kesehatan. Dirjennya dipilih oleh Menteri Kesehatan. Menkes sendiri tidak berhak memberikan instruksi kepada dirjen Badan Kesehatan Masyarakat Swedia. Tugas institusi itu hanya memberikan rekomendasi kepada pemerintah, jadi tergantung apakah pemerintahnya ingin menerima atau tidak. 

Salah satu contoh rekomendasinya, badan itu membuat rekomendasi yang melarang perkumpulan 500 orang. Lalu, setelah dievaluasi, rekomendasinya diubah menjadi larangan berkumpul di atas 50 orang. 

Ketika angka korban COVID-19 terus bertambah, warga Swedia tidak menyalahkan pemerintah sebagai penyebabnya?

Bagas: sesuai dengan protokol kesehatan, setiap orang harus bertanggung jawab kepada diri sendiri. Itu nomor satu. Kemudian, pemerintah meminta masyarakat yang mengalami gejala batuk, pilek, tidak boleh keluar rumah. Karantina mandiri selama 14 hari bila sakit atau bepergian dari luar negeri. 

Lalu, bila terpapar demam atau mengalami gejala COVID-19, tidak perlu ke rumah sakit. Itu tinggal menghubungi rumah sakit dan mereka yang akan memutuskan apakah memerlukan perawatan tambahan atau cukup bisa dirawat di rumah saja. Apakah nanti warga diminta untuk melakukan karantina mandiri atau dijemput ambulans adalah rumah sakit. 

Selain itu, diprediksi fasilitas di rumah sakit tidak akan cukup bila warga mengalami sakit bersamaan. Jadi, penyembuhan dengan self isolation atau karantina mandiri memang dianjurkan. 

Apakah ada di antara kolega Anda di Swedia yang terpapar COVID-19?

Ivan: ada, tapi bukan teman kampus. Dia teman hang out saja. Dia orang Swedia dan usianya 40 tahun. Saya pernah ajakin ketemuan, tapi dia menolak dengan alasan sedang gak enak badan, mungkin karena terpapar COVID-19. Jadi, dia meminta untuk stay in distance dulu aja sementara waktu. 

Bisa dilihat di sini, tingkat kesadaran warga Swedia itu tinggi. Kalau sudah ngerasa gak enak badan langsung stay di rumah aja, gak usah nekad dan memiliki kesadaran tidak ingin menularkan ke orang lain. 

Adakah petugas keamanan yang berpatroli dan memastikan warga melakukan jaga jarak?

[WANSUS] Dubes Bagas: Swedia Belum Resmi Terapkan Herd Immunity(Gejala yang dialami oleh orang yang terpapar virus corona) IDN Times/Sukma Shakti

Ivan: sejauh ini saya belum pernah melihat ada petugas keamanan. Jadi, benar-benar petugas keamanan mempercayai masyarakat dan masyarakatnya itu bertanggung jawab untuk membantu mencegah penyebaran rantai COVID-19 ini. 

WHO sempat mengatakan bila Swedia dijadikan rujukan dalam pendekatan menghadapi COVID-19. Anda sebagai pelajar Indonesia yang bermukim sementara di sana setuju dengan pendapat itu?

Ivan: bila melihat informasi dari media-media sekarang, saya setuju sekali. Bahkan, menurut pengetahuan saya, beberapa negara tetangga di Eropa perlahan-lahan mengikuti kebijakan Swedia dengan melonggarkan PSBB nya, seperti di Jerman. Karena saya melihat sendiri teman-teman saya yang ada di Jerman, mereka sudah dibolehkan untuk keluar (rumah) tetapi harus menggunakan masker. Teman saya yang berjalan keluar beberapa meter dari apartemennya saja merasa itu suatu hal yang eksklusif. Padahal, bagi kami di Swedia itu hal yang biasa saja. 

Saya juga berolahraga rutin dengan jogging atau bersepeda. Tetapi, yang saya tuju tidak ke tempat-tempat yang banyak orang. Saya ke pusat kota itu paling hanya satu minggu sekali untuk berbelanja kebutuhan makanan saja. Kalau yang sifatnya jalan-jalan saya hindari. 

Di Swedia, bioskop masih tutup. Pertandingan olah raga sudah mulai berjalan tapi tanpa penonton. Konser-konser juga setahu saya belum ada. 

Salah satu hikmah yang saya rasakan sejak pandemik itu adalah saya bisa mengikuti online courses yang ditawarkan oleh universitas-universitas seperti Harvard, Standford, Oxford. Online courses itu sifatnya terbuka dan bisa diakses secara gratis. Museum di Swedia juga menerapkan online tour bagi pengunjung. 

Apakah Pemerintah Swedia menggunakan strategi herd immunity atau kekebalan kelompok untuk mengatasi pandemik COVID-19?

Bagas: Pihak berwenang di Swedia belum secara resmi menyatakan untuk mencapai kekebalan kelompok menggunakan strategi herd immunity. Tetapi, ini sudah diyakini oleh para ilmuwan termasuk Anders Tegnell tadi akan tercapai apabila 60 persen populasi telah terinfeksi virus. Penambahan kekebalan itu juga termasuk yang dipikirkan sebagai opsi. Tapi, belum diumumkan atau barang kali juga tidak (digunakan cara itu). 

Kepala ahli epidemiologi di Swedia memprediksi Kota Stockholm bisa mencapai herd immunity pada bulan-bulan ke depan. Cuma kapan pastinya, dia tidak menjelaskan. Ditambah lagi dengan ahli matematika dari Universitas Stockholm telah menghitung dengan 40 persen kekebalan masyarakat telah efektif untuk menghentikan penyebaran virus dan akan tercapai dalam beberapa waktu ke depan. 

Artinya, ini masih wacana. Apakah ini sudah secara resmi disampaikan memang belum atau tidak disampaikan (menerapkan kebijakan herd immunity).

Publik tidak memprotes wacana penerapan herd immunity itu?

Bagas: kalau pun ada pertentangan, itu ada forum khusus antar lembaga. Selalu diselesaikan di belakang pintu yang sangat dihormati. Nanti satu orang akan keluar. Jurnalis dari Washington Post pernah menyebut negara barat seperti Swedia ini pendekatannya bisa ditiru dalam menghadapi pandemik. 

Karena mereka juga melihat vaksinnya belum ditemukan. Mereka juga tidak senang terhadap diskusi-diskusi yang mengarah ke politik di tingkat internasional. Pada dasarnya Swedia juga membantu dan tidak meninggalkan WHO. Kita harus memberikan bantuan terhadap penemuan-penemuan vaksin. 

Apakah ada kerja sama bilateral Indonesia-Swedia untuk menemukan vaksin COVID-19?

Bagas: Kementerian Luar Negeri, Kemenkes, BPOM menginginkan kerja sama di antara para ahli. Perusahaan kita ada yang melakukan riset, antara lain Biofarma, Kimia Farma, Kalbe Farma. Penting agar bisa memecahkan masalah terkait COVID-19. Dengan adanya vaksin untuk bisa jadi solusi. 

https://www.youtube.com/embed/dNZ0tvDDIbk

Baca Juga: Swedia Jajaki Kerjasama Pengelolaan Transportasi dan Sampah di Sumut

Topik:

Berita Terkini Lainnya