Ilham bersama rekan komunitas peduli sampah. (IDN Times/Endy Langobelen)
Meski begitu, sesekali kerap terbesit di pikiran Ilham untuk berhenti dari usaha ini, karena kendala tanggungan biaya operasional yang dikeluarkan tak sebanding dengan keuntungan yang didapat.
"Kami banyak keluarkan ongkos operasional dan juga biaya pengiriman. Kadang mereka yang terima di Surabaya itu heran dengan saya, karena saya sering rugi, tapi masih mau bergulat dengan sampah-sampah ini. Yah, saya pikir ini bukan tentang uang, tapi ini tentang masa depan lingkungan dan anak cucu," ujar dia.
Sebagai pekerja mandiri, Ilham tentu sangat berharap adanya perhatian dari pemerintah setempat, untuk bersinergi bersama memberantas persoalan sampah di Mimika yang kian menggunung.
"Yah, mungkin bisa kami dibantu lewat subsidi ongkos pengiriman begitu. Tapi itu masukan saja. Kalau didengar ya kita syukuri, tidak pun tetap kita syukuri," tuturnya.
Bagi Ilham persoalan sampah di Mimika dapat terselesaikan bila sinergitas antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat bisa saling mendukung untuk mencari solusi terbaik.
"Kita harus bersinergi sama-sama, harus mengolah sampah-sampah ini dengan rasa cinta karena mengingat anak cucu kita yang nanti merasakan dampaknya. Masa depan mereka akan terpuruk dengan lingkungan yang kian memburuk seperti ini. Apalagi plastik ini kan susah terurai, plastik itu puluhan tahun baru terurai itu," tuturnya.
"Kalau dari awal saya ego, saya pasti tidak akan meneruskan ini karena tidak menguntungkan. Tapi kan kita pemerhati lingkungan ini. Kita harus rela, kerjakan saja demi anak cucu ke depannya," pungkas Ilham, optimistis.