Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy berkunjung ke Stadion Kanjuruhan, Malang usai tragedi yang menelan lebih dari 130 korban jiwa. (dok. Kemenko PMK)

Jakarta, IDN Times - Tepat satu tahun pada 1 Oktober 2022 tragedi Kanjuruhan terjadi. Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan (JSKK) menilai negara mengobral janji palsu untuk menuntaskan peristiwa berdarah ini secara keseluruhan.

“Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 menjadi catatan kelam Hak Asasi Manusia (HAM) dan persepakbolaan di Indonesia. Tragedi ini menegaskan bahwa negara abai terhadap tanggung jawabnya untuk menyelesaikan kasus ini secara adil dan bermartabat, dan tetap melanggengkan impunitas,” tulis JSKK dalam keterangan persnya, dilansir Senin (2/10/2023).

JSKK mengungkapkan, peristiwa yang menewaskan 135 orang ini menggambarkan penggunaan kekuatan secara berlebihan atau excessive use of force, serta bentuk tindakan brutalitas aparat keamanan TNI dan Polri. Penggunaan gas air mata disebut serampangan.

“Peristiwa tersebut secara jelas menggambarkan belum terinternalisasikannya prinsip hak asasi manusia secara mendasar ke institusi Polri, sebagaimana amanat Reformasi Kepolisian maupun TNI,” kata JSKK.

1. Soroti vonis sidang tragedi Kanjuruhan

Suasana doa bersama untuk korban tragedi kerusuhan Stadion Kanjuruhan bersama pemain dan warga pada Senin (3/10/2022). (IDN Times/Gilang Pandutanaya)

Ada beberapa hal yang disorot JSKK, pertama soal vonis sidang tragedi Kanjuruhan pada lima terdakwa. Vonis yang mereka terima rata-rata kurang dari dua tahun. Penanganan kasus ini juga disebut hanya menyasar pelaku di lapangan, bukan di pihak komando.

“Bahwa kami menduga proses hukum tersebut dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail), serta melindungi pelaku kejahatan tragedi Kanjuruhan. Selain itu, upaya pertanggung jawaban pidana pelaku hanya berhenti di pelaku lapangan,” kata JPKK.

"Sedangkan kami menilai bahwa upaya penuntutan pertanggungjawaban individu harus dituntut dalam kapasitasnya sebagai penanggungjawab komando, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM," lanjut keterangan tersebut.

2. Penghentian penyelidikan dan penolakan laporan

Editorial Team