Uniknya Masjid Sultan Riau Penyengat, Berbalut Kuning Telur

Masjid penuh dengan sejarah

Jakarta, IDN Times - Sebuah masjid memancarkan warna kuning bak sinar matahari tersembunyi di Pulau Penyengat, pulau kecil yang berjarak sekitar 1,8 km di seberang Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Masjid bernama Sultan Riau Penyengat ini berdiri sejak 1803 di Pulau Penyengat. 

Dari Tanjung Pinang, masyarakat dapat menyusuri laut menggunakan perahu kecil pompong selama 15 menit untuk sampai di Pulau Penyengat.

“Jadi setiap salat ied, itu adalah waktu-waktu yang menurut saya sangat berkesan di masjid tersebut karena Masjid Raya Sultan Riau Penyengat itu cukup meriah dibandingkan masjid-masjid lain yang pernah saya kunjungi,” kata Anindya Ashari (20), salah satu warga Tanjung Pinang yang tumbuh besar di Pulau Penyengat.

Baca Juga: Melihat Masjid Raya Kedatukan Sunggal yang Sudah Hampir 400 Tahun

1. Asal usul Masjid Sultan Riau Penyengat

Uniknya Masjid Sultan Riau Penyengat, Berbalut Kuning TelurDok. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota TanjungPinang

Awalnya, masjid ini buka bersamaan dengan Pulau Penyengat sebagai mas kawin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah kepada Engku Puteri Raja Hamidah. Ia merupakan pahlawan yang memimpin pada masa Kerajaan Melayu, tahun 1832. 

Kala itu, Raja Abdurrahman yang menjabat sebagai Yang Dipertuan Muda ke-7 Kerajaan Riau-Lingga bergotong royong bersama masyarakat di Pulau Penyengat membangun Masjid Raya Sultan Riau. 

Konon katanya, masjid ini menggunakan campuran putih dan kuning telur. 

“Jadi semen sama batanya itu dicampur sama putih telur. Putih telur itu sumbangan dari para warga ketika pembangunan masjid tersebut,” kata Anindya.

“Warna mentereng kuning cat di masjid itu karena dicampur sama kuning telur,” lanjutnya.

Baca Juga: 10 Masjid Tertua di Indonesia sebagai Wisata Wajib saat Ramadan

2. Bangunan masjid yang mempererat hubungan persaudaraan

Uniknya Masjid Sultan Riau Penyengat, Berbalut Kuning TelurFoto: Anindya Ashari (Warga TanjungPinang)

Masjid ini memiliki desain arsitektur yang unik dengan nilai-nilai agama Islam. 

“Untuk mencapai ke masjid itu, kita harus naik beberapa anak tangga dulu,” katanya.

Terdapat 13 buah anak tangga yang menggambarkan 13 rukun salat, lima pintu melambangkan rukun Islam, enam jendela menggambarkan rukun Iman, 13 kubah berbentuk bawang merah, dan empat menara yang secara keseluruhan berjumlah 17.

Angka tersebut merupakan lambang jumlah rakaat salat sehari semalam dalam ajaran Islam. 

“Sebenarnya, space dalam masjid itu sedikit, tapi di seluruh bagian masjid itu kita bisa salat. Ada di serambi, ada di pondok gitu,” ucap Anindya.

Keramaian masjid ini terasa berbeda dibandingkan masjid-masjid lain karena lokasinya yang berada di tengah pulau. Oleh karena itu, seluruh umat yang tinggal di Pulau Penyengat pasti akan melaksanakan salat Idul Fitri di masjid raya tersebut. 

“Banyak juga gitu orang-orang di luar Pulau Penyengat yang sengaja datang untuk salat Jumat, atau salat hari raya di masjid tersebut. Karena memang menurut saya vibes-nya itu lebih beda dibanding masjid-masjid yang lain yang pernah saya kunjungi, dari interior-nya, dari suasana kita salat juga, dari hangatnya masyarakat yang ada di sana,” ujarnya.

Anindya bercerita, seluruh warga terbiasa bertegur sapa setiap salat ied di masjid tersebut karena sudah mengenal satu sama lain. Tidak hanya sesama warga, para penghuni Pulau Penyengat ini juga ramah dengan pendatang.

Baca Juga: Mengenal Masjid Omar Kampong Melaka, Masjid Tertua di Singapura

3. Mengenal sisi lain Masjid Raya Sultan Riau Penyengat

Uniknya Masjid Sultan Riau Penyengat, Berbalut Kuning TelurDok. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota TanjungPinang

Diketahui, masjid itu menyimpan dua buah almari bekas Lemari Perpustakan Khutub Khana Marhum Ahmadi. Selain itu, terdapat Al-Qur’an tulisan tangan Abdurrahman Stambul tahun 1867. Sampai saat ini, Masjid Sultan Riau Penyengat masih menjadi cagar budaya yang dijaga oleh pemerintah. 

“Di bagian belakang masjid-nya itu ada makam-makam anggota kerajaan gitu,” terangnya.

Seperti makam Engku Putri yang wafat pada 7 Juli 1844 dan makam Raja Ali Haji, sang sastrawan melayu kuno Gurindam 12 yang dikenal sebagai Bapak Bahasa Indonesia hingga makam Pahlawan Nasional, Raja Haji Fisbilillah.

Salah satu tradisi warga setempat adalah menginjakkan telapak kaki anak di pasir masjid tersebut yang dipercaya berasal dari Mekkah.

“Dulu tuh, anak-anak kecil yang ada di Pulau Penyengat itu supaya bisa lancar jalan dibawa ke masjid tersebut untuk menginjak pasir, kalau gak salah itu pasir dari Mekkah, tapi disimpan di masjid itu,” ucapnya.

Baca Juga: Cerita Ramadan: Tarawih di Masjid demi Uji Nyali Main Perosotan Alami

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya