Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta Ahmed Zaki Iskandar (IDN Times/Yosafat Diva Bayu)
Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta Ahmed Zaki Iskandar (IDN Times/Yosafat Diva Bayu)

Intinya sih...

  • Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, yang meminta kader selalu hadir di tengah masyarakat.

  • Sekretaris Golkar DKI, Basri Baco, menambahkan bahwa pembagian sembako tersebut merupakan bukti nyata kepedulian partai terhadap warga yang membutuhkan.

  • Di sisi lain, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto juga memunculkan kritik dari sejumlah elemen masyarakat.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – DPD Partai Golkar DKI Jakarta menyalurkan 6.100 paket sembako murah di sepuluh titik daerah pemilihan (dapil) se-Jakarta, Sabtu (15/11/2025). Kegiatan sosial ini digelar untuk memperingati HUT ke-61 Partai Golkar sekaligus sebagai bentuk syukur atas ditetapkannya Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

Ketua DPD Golkar DKI, Ahmed Zaki Iskandar, menyebut pembagian sembako ini menjadi momen penting bagi kader partai, mengingat sejarah Golkar tak lepas dari peran Soeharto.

"Terlepas dari kekurangan sebagai manusia, dari seluruh aspek, Soeharto memang layak diberikan gelar Pahlawan Nasional. Mari kita sama-sama bukan saja melihat kekurangannya, tapi bagaimana manfaat Pak Harto kepada Negara Republik Indonesia," ujar Zaki dalam keterangannya di Jakarta, dilansir ANTARA.

1. Intruksi Ketum Golkar untuk membantu masyarakat

Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. (IDN Times/Amir Faisol).

Zaki menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, yang meminta kader selalu hadir di tengah masyarakat. Menurutnya, Golkar harus aktif membantu perekonomian warga melalui berbagai kegiatan sosial dan keagamaan.

"Kader Golkar diminta untuk selalu membantu perekonomian melalui kegiatan-kegiatan sosial maupun juga kegiatan keagamaan," tutur Zaki.


2. Golkar tegaskan untuk terus bantu meringankan beban rakyat

Golkar DPD Tangsel rayakan HUT ke-61 partai (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Sekretaris Golkar DKI, Basri Baco, menambahkan bahwa pembagian sembako tersebut merupakan bukti nyata kepedulian partai terhadap warga yang membutuhkan. Ia menegaskan bahwa sejak awal Golkar menempatkan rakyat sebagai pusat perjuangan. 

"Partai Golkar adalah partai rakyat," tegas Basri.

Menurutnya, seluruh kebijakan dan langkah partai diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ia pun mendorong kader untuk terus aktif melakukan aksi nyata yang membantu meringankan beban warga.

"Prioritas Golkar adalah kesejahteraan rakyat, dan itu harus diwujudkan dalam tindakan," pungkas Wakil Ketua DPRD Jakarta itu.

3. Penolakan Soeharto dari berbagai pihak

Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Di sisi lain, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto juga memunculkan kritik dari sejumlah elemen masyarakat. Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning, menyebut Soeharto sebagai “pembunuh jutaan rakyat”.

Aliansi BEM se-Universitas Indonesia secara tegas menolak gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto. Mereka bahkan mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut seluruh bentuk gelar kehormatan. Menurut BEM se-UI, pemberian gelar tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan, kemanusiaan, serta nilai-nilai Reformasi 1998. Komnas HAM juga menyatakan keprihatinan dan keberatan atas keputusan tersebut. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menilai penetapan ini mencederai cita-cita Reformasi yang mengamanatkan pemerintahan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Selain itu, Public Virtue Research Institute (PVRI), lembaga kajian demokrasi, menyebut keputusan memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sebagai “skandal politik terbesar” dalam era Reformasi. Menurut mereka, kebijakan ini mengabaikan memori kolektif masyarakat terhadap penyimpangan kekuasaan selama puluhan tahun. Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan pemberian gelar tersebut sebagai langkah yang dipaksakan. YLBHI menilai keputusan itu bukan hanya pengkhianatan terhadap para korban dan prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga upaya mengaburkan sejarah bagi generasi muda.

Editorial Team