Jakarta, IDN Times - Kementerian Sosial tetap memasukan nama Presiden ke-2 RI, Soeharto ke daftar nama yang diusulkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional pada November mendatang. Padahal, rencana itu mendapat protes luas dan tetap diabaikan.
Setara Institute menilai upaya untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional berlangsung secara sistematis. Langkah itu diawali dengan mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998, tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Momen itu terjadi satu bulan sebelum Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden.
"Sejak awal pencabutan ini merupakan langkah yang salah, karena mengabaikan fakta historis bahwa selama 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Fakta itulah yang mendorong gerakan Reformasi 1998," ujar Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).
Pasal 4 TAP MPR 11/1998 tersebut berbunyi "upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta atau konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia."
Hendardi menyebut ada upaya elite politik dan penyelenggara negara untuk mencabut TAP MPR 11/1998, dan kini bahkan mengajukan Soeharto menjadi pahlawan nasional secara nyata. Mereka mengalami amnesia politik dan sejarah.
"Mereka juga mengkhianati amanat reformasi!" katanya.
