Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Amnesty Minta Soeharto Dicabut dari Daftar Calon Pahlawan Nasional

Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid saat diwawancarai wartawan di Makassar, Rabu (21/9/2022). IDN Times/Dahrul Amri
Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid saat diwawancarai wartawan di Makassar, Rabu (21/9/2022). IDN Times/Dahrul Amri
Intinya sih...
  • Reformasi berpotensi berakhir di tangan pemerintahan Prabowo
  • Strategi sistematis untuk "mencuci dosa" rezim Orde Baru
  • Sejarah kelam yang tak bisa dihapus
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Polemik pencalonan Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memicu gelombang kritik dari publik dan kelompok masyarakat sipil. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai langkah pemerintah itu sebagai pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang lahir dari kejatuhan Soeharto pada 1998.

"Upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah suatu bentuk pengkhianatan terbesar atas mandat rakyat sejak 1998. Jika usulan ini terus dilanjutkan, reformasi berpotensi berakhir di tangan pemerintahan Prabowo," ujar Usman dikutip, Kamis (23/10/2025).

Menurutnya, gagasan tersebut bukan sekadar wacana historis, tetapi mencerminkan upaya politik yang berbahaya dalam mengaburkan tanggung jawab negara atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa Orde Baru.

1. Merasa reformasi bisa berakhir di pemerintahan saat ini

IMG-20250721-WA0009.jpg
Feri Amsari dan Usman Hamid (IDN Times/Aryodamar)

Dalam pandangan Usman, usulan dari Kementerian Sosial yang memasukkan nama Soeharto ke dalam daftar calon Pahlawan Nasional berpotensi menghancurkan makna reformasi yang diperjuangkan masyarakat sejak 1998. Dia menilai tindakan itu seperti menulis ulang sejarah demi kepentingan politik penguasa saat ini.

"Soeharto jatuh akibat protes publik yang melahirkan reformasi. Oleh karena itu, menganugerahi Soeharto gelar pahlawan nasional bisa dipandang sebagai akhir dari reformasi itu sendiri," katanya.

Usman menegaskan, langkah tersebut seolah menghapus fakta bahwa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun ditandai dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sistemik.

2. Strategi sistematis untuk "mencuci dosa" rezim

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. (IDNTimes/Lia Hutasoit)

Amnesty International Indonesia menilai pencalonan Soeharto sebagai bagian dari strategi sistematis untuk “mencuci dosa” rezim Orde Baru yang sarat pelanggaran HAM. Selama berkuasa, Soeharto disebut mengekang kebebasan berekspresi, membungkam oposisi, dan menormalisasi kekerasan oleh aparat.

“Usulan Kementerian Sosial ini jelas terlihat sebagai upaya sistematis untuk mencuci dosa rezim otoriter Suharto yang marak akan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta pelanggaran hak asasi manusia,” kata Usman.

Dia mengingatkan, korban dan keluarganya hingga kini belum mendapat keadilan. Sementara, negara justru memberi tempat terhormat kepada sosok yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban.

3. Sejarah kelam yang tak bisa dihapus

Ilustrasi Presiden Soeharto. (IDN Times/Alvita Wibowo)
Ilustrasi Presiden Soeharto. (IDN Times/Alvita Wibowo)

Usman mengurai sederet pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa Soeharto. Di antaranya pembantaian massal 1965–1966, penembakan misterius (Petrus) 1982–1985, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa Talangsari 1989, serta kekerasan di Aceh, Timor Timur, dan Papua. Semua itu, katanya, menjadi bukti nyata Soeharto tidak layak disebut pahlawan.

"Negara telah mengakui peristiwa-peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat, baik melalui Ketetapan MPR pada awal reformasi maupun pernyataan resmi Presiden Joko Widodo pada Januari 2023. Namun, hingga kini, tidak satu pun aktor utama termasuk Soeharto yang dimintai pertanggungjawaban," ujarnya.

4. Minta fokus selesaikan kasus HAM berat saja

Ilustrasi HAM (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi HAM (IDN Times/Aditya Pratama)

Usman mendesak pemerintah menghentikan proses pengusulan tersebut dan fokus pada penyelesaian yudisial maupun non-yudisial terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Kami mengecam dan menolak pengusulan Soeharto sebagai pahlawan. Pemerintah harus mengeluarkan Soeharto dari daftar nama-nama yang diusulkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Soeharto tidak layak berada di daftar itu, apalagi diberi gelar pahlawan. Hentikan upaya pemutarbalikkan sejarah ini," kata Usman.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf pada 21 Oktober 2025 menyerahkan daftar 40 calon pahlawan nasional kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Di dalamnya tercantum nama Soeharto bersama tokoh lain seperti Gus Dur, Marsinah, M Jusuf, Ali Sadikin, dan KH Bisri Syansuri. Fadli menyebut penetapan final akan dilakukan Presiden Prabowo Subianto sebelum Hari Pahlawan, 10 November 2025 mendatang.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us

Latest in News

See More

Prabowo Utus Hashim dan Raja Juli Hadiri COP30 di Brasil

23 Okt 2025, 18:16 WIBNews