Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi KPK (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi KPK (IDN Times/Mardya Shakti)

Jakarta, IDN Times - Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, menanggapi soal Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang berada di titik terendah sejak era reformasi. Menurutnya, IPK yang menurun itu dampak dari cacatnya demokrasi.

Hal itu, kata dia, menunjukkan pemerintah gagal dalam membangun demokrasi yang sehat dan tata kelola negara yang bersih. 

Transparency International Indonesia mendata, IPK Indonesia turun 4 poin menjadi 34 pada 2022. Data itu menunjukkan peringkat IPK Indonesia merosot dari 96 menjadi di posisi 110. Peringkat Indonesia lebih rendah dibandingkan Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, dan Timor Leste. 

1. Ada masalah serius di tingkat makro penyelenggara negara

Sudirman Said (dok Istimewa)

Sudirman menilai, kemerosotan IPK menandakan ada masalah serius di tingkat makro penyelenggaraan negara. Menurut dia, IPK hanya salah satu cermin dari tata kelola pemerintahan.

“Saya melihatnya korupsi itu lebih dari sekadar soal penegakan hukum. Tapi korupsi itu soal perilaku, nilai-nilai, kultur kekuasaan dan soal kesehatan demokrasi dan ada huhungan erat dengan politik keseluruhan,” kata Sudirman dalam keterangannya, Kamis (9/2/2023).

Dia menegaskan, pemerintah gagal mengelola lingkungan pengendalian di tingkat makro. Dengan demikian, tata nilai, etika dan aturan-aturan yang berlaku dalam sebuah negara tak berjalan baik. 

“Ini yang sedang merosot, lingkungan pengendalian makro. Misalnya, praktik nepotisme di level paling tinggi memberikan contoh. Maka yang di level bawah akan mengikuti. Level paling tinggi bukan hanya pada nasional, tapi juga bisa pada level provinsi, kabupaten dan kementerian terjadi nepotisme,” ucap Sudirman.

2. Banyak benturan kepentingan

Mantan Menteri ESDM Sudirman Said (dok Istimewa)

Selain soal lingkungan pengendalian makro, kata Sudirman, tata kelola pemerintahan juga masih diwarnai benturan kepentingan. Dia menyatakan, hal itu yang merusak demokrasi dan melanggengkan korupsi.

Conflict of interest ditunjukkan di mana-mana. Benturan kepentingan antara yang membuat regulasi dan yang mendapat manfaat regulasi. Antara kekuasaan yang harusnya menjaga kepentingan publik, tapi juga ikut menjalankan usaha di dalam kekuasaan,” tutur mantan Menteri ESDM itu.

"Alat-alat kontrol dalam tata negara mengalami penumpukan. Misalnya, apakah parlemen kita masih eksis sebagai alat kontrol? Apakah badan audit negara masih efektif sebagai alat kontrol? Apakah lembaga penegak hukum masih memiliki kewibawaan?," lanjut dia.

3. Pemilu 2024 jadi harapan baru

Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Menurut Sudirman, praktik bernegara semakin terkooptasi kekuasaan eksekutif. Dia pun mengkritisi KPK yang dianggap sudah dipreteli dari pelemahan aspek legal hingga penempatan orang-orang bermasalah di level pimpinan. Sementara, sekelompok pekerja yang profesional dan menjaga idealisme digusur secara sistematis.

Dia menjelaskan, IPK yang merosot juga dipengaruhi perilaku yang meminggirkan etika publik para pejabat tinggi negara. Oleh sebabnya, dia berharap, kemerosotan IPK ini bisa diperbaiki secepatnya,  dimulai dari mencari lapis baru kepemimpinan melalui Pemilu 2024.

“Setiap perubahan besar selalu memberi harapan bagi lahirnya perbaikan. Inilah kesempatan besar bagi bangsa untuk memperbaiki lingkungan pengendalian makro. Dengan cara mendorong figur-figur yang punya komitmen pada clean government, tata kelola dan penegakan etika publik, untuk maju berkontestasi secara sehat,” kata Sudirman.

Editorial Team