Ilustrasi anggota legislatif dipilih lewat Pemilihan Legislatif (Pileg) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon menyebutkan, norma yang hanya mensyaratkan pendidikan paling rendah SMA bagi calon anggota DPR/DPRD, jelas tidak sepadan dengan kewenangan konstitusional lembaga legislatif yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Syarat pendidikan yang terlalu rendah tersebut dinilai tidak menjamin adanya kapasitas intelektual, kemampuan analitis, maupun kualitas legislasi yang memadai. Akibatnya, fungsi legislasi yang seharusnya melahirkan regulasi yang responsif, visioner, dan berpihak pada rakyat justru berpotensi menghasilkan produk hukum yang lemah, tumpang tindih, diskriminatif, dan abai terhadap kebutuhan masyarakat.
Di samping itu, para Pemohon menilai sebagai rakyat yang wajib tunduk pada setiap produk undang-undang, tidak memperoleh jaminan bahwa regulasi yang mengatur kehidupannya lahir dari proses legislasi yang dilakukan oleh wakil rakyat dengan standar kualitas yang tinggi. Sebaliknya, para Pemohon "dipaksa" menerima undang-undang yang bermutu rendah, yang langsung memengaruhi kehidupan mereka dalam aspek pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, hingga lingkungan hidup. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 240 ayat 1 huruf e UU Pemilu telah membuka ruang bagi hadirnya parlemen dengan standar intelektualitas yang minimalis, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian serius bagi rakyat dan mereduksi makna sejati demokrasi konstitusional di Indonesia.
“Bila syarat legislator hanya dengan ijazah SMA, profesi yang hanya menafsirkan undang-undang seperti hakim, jaksa, advokat, wajib bergelar sarjana, sedangkan masuk akalkah jika pembentuk undang-undang justru cukup dengan lulusan sekolah menengah. Jika dibiarkan martabat Pasal 20 ayat (1) direndahkan, bahkan direduksi oleh ambang yang minimalis,” ujar Nanda sebagai Pemohon I dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).