Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Syarat minimal pendidikan calon anggota DPR digugat ke MK

  • Pemohon mempertanyakan kapasitas intelektual dan kualitas legislasi yang dihasilkan

  • Bayang-bayang UU yang rapuh akibat kapasitas pendidikan legislator yang rendah

  • MK minta Pemohon perbaiki permohonan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Syarat pendidikan paling rendah SMA bagi calon anggota DPR/DPRD digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini dilayangkan Nanda Yuniza Eviani (Pemohon I) dan Muhammad Rafli Nur Rahman (Pemohon II) sebagai perseorangan.

Para Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk memperoleh kepastian hukum, perlindungan, serta jaminan kualitas legislasi yang baik dan berkeadilan akibat berlakunya Pasal 240 Ayat 1 huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Adapun bunyi pasal dan ayat yang dimaksud yakni, “(huruf) e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat;…".

Pada intinya dalam perkara Nomor 162/PUU-XXIII/2025 ini, Pemohon meminta agar syarat minimal pendidikan bagi calon DPR RI maupun DPRD diubah, dari yang semula setingkat SMA menjadi sarjana (S1).

1. Pertanyakan kapasitas intelektual, kemampuan analitis, dan kualitas legislasi yang dihasilkan

Ilustrasi anggota legislatif dipilih lewat Pemilihan Legislatif (Pileg) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon menyebutkan, norma yang hanya mensyaratkan pendidikan paling rendah SMA bagi calon anggota DPR/DPRD, jelas tidak sepadan dengan kewenangan konstitusional lembaga legislatif yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Syarat pendidikan yang terlalu rendah tersebut dinilai tidak menjamin adanya kapasitas intelektual, kemampuan analitis, maupun kualitas legislasi yang memadai. Akibatnya, fungsi legislasi yang seharusnya melahirkan regulasi yang responsif, visioner, dan berpihak pada rakyat justru berpotensi menghasilkan produk hukum yang lemah, tumpang tindih, diskriminatif, dan abai terhadap kebutuhan masyarakat.

Di samping itu, para Pemohon menilai sebagai rakyat yang wajib tunduk pada setiap produk undang-undang, tidak memperoleh jaminan bahwa regulasi yang mengatur kehidupannya lahir dari proses legislasi yang dilakukan oleh wakil rakyat dengan standar kualitas yang tinggi. Sebaliknya, para Pemohon "dipaksa" menerima undang-undang yang bermutu rendah, yang langsung memengaruhi kehidupan mereka dalam aspek pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, hingga lingkungan hidup. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 240 ayat 1 huruf e UU Pemilu telah membuka ruang bagi hadirnya parlemen dengan standar intelektualitas yang minimalis, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian serius bagi rakyat dan mereduksi makna sejati demokrasi konstitusional di Indonesia.

“Bila syarat legislator hanya dengan ijazah SMA, profesi yang hanya menafsirkan undang-undang seperti hakim, jaksa, advokat, wajib bergelar sarjana, sedangkan masuk akalkah jika pembentuk undang-undang justru cukup dengan lulusan sekolah menengah. Jika dibiarkan martabat Pasal 20 ayat (1) direndahkan, bahkan direduksi oleh ambang yang minimalis,” ujar Nanda sebagai Pemohon I dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).

2. Bayang-bayang UU yang rapuh akibat kapasitas pendidikan legislator yang rendah

TNI menjaga ketat Gedung DPR RI. (IDN Times/Amir Faisol)

Para Pemohon merasakan keresahan mendalam akibat maraknya produk legislasi DPR/DPRD yang bermasalah dan berulang kali dibatalkan oleh MK. Kondisi ini bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan bukti nyata bahwa rakyat dipaksa hidup di bawah bayang-bayang undang-undang yang rapuh, tidak konsisten, dan gagal memberikan perlindungan.

Hal ini mengakibatkan hak-hak dasar yang dijamin UUD 1945, seperti hak atas pendidikan yang layak, kesehatan yang terjangkau, lingkungan hidup yang baik, dan kesejahteraan sosial yang adil, justru terabaikan. Norma Pasal 240 ayat 1 huruf e UU Pemilu, yang hanya mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi calon anggota DPR/DPRD menjadi pangkal persoalan dalam hal turunnya standar parlemen menjadi sekadar arena popularitas dan transaksi politik, bukan ruang intelektualitas dan integritas.

Untuk itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 240 ayat 1 huruf e UU Pemilu, bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai Pasal 240 huruf e "berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat”.

3. MK minta Pemohon perbaiki permohonan

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sementara itu Hakim MK, Ridwan Mansyur, dalam nasihat hakim panel mengatakan, pada bagian kedudukan hukum disebutkan para Pemohon sebagai WNI dan pemilih yang terdaftar di DPT, namun para Pemohon tidak menjelaskan secara rinci atas kedudukan hukum ini.

“Kesimpulan dengan kedudukan hukum ini, benarkah Saudara memiliki legal standing dengan berlakunya pasal ini, merasa dirugikan hak konstitusionalnya?” tanya Hakim Konstitusi Ridwan.

Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani mengungkapkan, pasal yang diujikan pernah diputuskan oleh MK dalam Putusan Nomor 154/PUU-XXIII/2025.

“Harap dilihat apakah sama dan dipelajari landasan pengujiannya. Karena Mahkamah akan melihat semuanya, apakah sama dengan perkara lainnya sehingga semangatnya harus dilapis dengan riset yang lebih kuat,” jelas Hakim Konstitusi Arsul.

Berikutnya Wakil Ketua MK Saldi juga mencermati tentang legal standing para Pemohon.

“Jika diperhatikan cara bekerjanya parleman di dunia, karena ini jabatan bergantung pada dukungan publik, jadi tidak pada kemampuan. Ini soal kepercayaan orang, jadi kerugian potensi dan spesifik itu apa dan belum kelihatan di permohonan ini. Lalu mengapa pasal ini bertentangan dengan UUD NRI 1945, belum ada penjelasannya,” terang Wakil Ketua MK Saldi.

Sebelum menutup sidang, Wakil Ketua MK Saldi mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 6 Oktober 2025 ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan mengadendakan sidang kedua untuk mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.

Editorial Team