Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pakai Baju Adat di Sidang MK, Warga Papua Curhat Bobroknya Food Estate

berita_1758541406_324c54935d02ffaa8e2e.jpg
(dok. Humas Mahkamah Konstitusi)
Intinya sih...
  • PSN Lumbung Padi Nasional merusak hutan, rawa, dan lahan sumber penghidupan warga.
  • Masyarakat setempat bantah klaim ada panen raya di Lumbung Padi Papua.
  • Para Pemohon mendalilkan bahwa UU Cipta Kerja menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Seorang warga Kampung Wogekel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke tampak berbusana nyentrik saat menghadiri sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Ia memilih memakai baju adat khas masyarakat Papua saat mengisahkan bagaimana bobroknya Program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate) yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Ia adalah Liborius Kodai Moiwend yang dihadirkan Pemohon dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 pada Senin (22/9/2025). Perkara uji materiil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) ini yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), serta 19 pemohon lainnya.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut, Liborius mengaku sebagai korban PSN Lumbung Padi Nasional di Papua. Sebagai Saksi Pemohon, ia menuturkan, proyek tersebut berlangsung tanpa dialog dengan masyarakat adat.

“Pertama kali PSN masuk tidak pernah duduk dengan tuan dusun. Mereka masuk seperti pencuri,” ungkap Liborius.

1. PSN Lumbung Padi Nasional justru merusak hutan, rawa, dan lahan sumber penghidupan warga

IMG-20250819-WA0020.jpg
Ritual adat warga Papua di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Ia menambahkan, pada 12 Agustus lalu, sekitar 300 unit ekskavator didatangkan melalui pelabuhan milik perusahaan perikanan.

Menurut Liborius, PSN Lumbung Padi Nasional justru merusak hutan, rawa, dan lahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan warganya. Protes berupa pemalangan juga tak menghentikan aktivitas, bahkan pembongkaran hutan justru dikawal aparat TNI.

“Jadi, mereka bongkar hutan, ada TNI. Masyarakat kami tidak bisa berbuat apa-apa, rawa hutan semua dihancurkan oleh PSN ini,” katanya. Untuk itu, ia menyatakan menolak adanya PSN Lumbung Padi Nasional tersebut.

2. Bantah klaim ada panen raya di Lumbung Padi Papua

Panen padi perdana berhasil dilakukan di lahan cetak sawah demplot lumbung pangan Kampung Wanam, Papua Selatan pada Jumat (16/5/2025) (dok. Istimewa)
Panen padi perdana berhasil dilakukan di lahan cetak sawah demplot lumbung pangan Kampung Wanam, Papua Selatan pada Jumat (16/5/2025) (dok. Istimewa)

Selain itu, Liborius menerangkan, tanah yang sudah dijaga oleh masyarakat setempat dibongkar. Sehingga masyarakat setempat sudah tidak bisa lagi mencari makan dan minum di sana. Ia juga menyinggung kunjungan Gubernur Papua Selatan dan Bupati setempat ke lokasi PSN.

“Mereka bilang panen raya, padahal itu bohong. Bukan panen raya, itu tipu,” ucapnya.

3. Perkara yang diajukan para Pemohon

IMG-20250819-WA0023.jpg
Gerakan Rakyat Menggugat Proyek Strategis Nasional (Geram PSN) sebagai Pemohon di Gedung MK (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Adapun, para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan dalam UU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan PSN, telah menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Para Pemohon berpendapat, percepatan dan kemudahan PSN yang diatur dalam Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja justru menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional warga negara. Norma tersebut dianggap kabur (vague norm) karena memuat frasa seperti “penyesuaian berbagai peraturan” dan “kemudahan dan percepatan” yang tidak memiliki batasan operasional konkret. Hal ini dinilai membuka ruang bagi pembajakan kepentingan politik tertentu dan menutup ruang partisipasi publik yang bermakna.

Selain itu, sejumlah pasal lain dalam UU Cipta Kerja juga turut dipersoalkan, seperti Pasal 123 angka 2, Pasal 124 angka 1 ayat (2), Pasal 173 ayat (2) dan (4), serta Pasal 31 ayat (2). Ketentuan tersebut dianggap membajak konsep kepentingan umum dan hak menguasai negara yang diamanatkan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945.

Dengan demikian, para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mereka berharap, melalui permohonan ini, Mahkamah dapat memastikan akuntabilitas penyelenggara negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pemegang kewajiban untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah Sunariyah
EditorSunariyah Sunariyah
Follow Us

Latest in News

See More

Mendagri Temui Menkeu, Bahas Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemda

23 Sep 2025, 09:33 WIBNews