Bukan Amandemen UUD 1945, MPR Akui Sedang Bahas Rencana Hidupkan GBHN

MPR mengaku tak membahas amandemen UUD

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Sjarifuddin Hasan atau biasa dipanggil Syarief Hasan, mengaku saat ini MPR tidak membahas tentang amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ia mengatakan MPR masih membahas tentang rencana menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Di MPR sama sekali tidak ada (bahas amandemen 1945). Yang ada hanya pembahasan GBHN akan dihidupkan," kata Syarief Hasan dalam diskusi Polemik Trijaya FM, Sabtu (20/3/2021).

1. MPR akan melakukan pendalaman pada rencana menghidupkan kembali GBHN

Bukan Amandemen UUD 1945, MPR Akui Sedang Bahas Rencana Hidupkan GBHNANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Baca Juga: Ketua DPR: Hidupkan Kembali GBHN, Tergantung Kehendak Rakyat

Syarief menyampaikan, MPR saat ini masih mencari jalan keluar mengenai wacana menghidupkan kembali GBHN. Dia mengatakan MPR akan melakukan pendalaman dengan beberapa pihak terkait.

"Kita lagi memutuskan bahwa kita harus melakukan pendalaman dengan berinterkasi dengan masyarakat, akademisi, pakar-pakar dan stakeholder lainnya," ujar Syarief.

2. Usulan menghidupkan kembali GBHN dilontarkan Megawati Soekarnoputri

Bukan Amandemen UUD 1945, MPR Akui Sedang Bahas Rencana Hidupkan GBHNANTARA FOTO/Fikri Yusuf

Pada tahun 2019, usulan menghidupkan kembali GBHN pertama kali dilontarkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Presiden Kelima RI itu mewacanakan diterapkannya kembali GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.

"Arah politik pemerintahan yang disusun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sudah seharusnya ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara," kata Megawati di kampus IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Kamis (8/3/2018).

Ia mengatakan GBHN merupakan suatu kebijaksanaan umum penyelenggaraan negara Indonesia. GBHN memiliki turunan, yakni berupa garis-garis besar pembangunan berisi semacam cetak biru (blue print) rencana pembangunan nasional.

Lalu, isu menghidupkan GBHN kembali muncul ke publik lantaran hasil dari Kongres V PDIP di Bali pada 8-11 Agustus 2019. Dari hasil keputusan tersebut, partai berlambang kepala banteng moncong putih itu ingin menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tinggi negara, yang menetapkan GBHN.

"Demi menjamin kesinambungan pembangunan nasional, perlu dilakukan amandemen terbatas UUD NKRI 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dengan kewenangan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan," demikian bunyi salah satu hasil Kongres V PDIP.

3. Jokowi kembali tegaskan tak berminat jabat presiden tiga periode

Bukan Amandemen UUD 1945, MPR Akui Sedang Bahas Rencana Hidupkan GBHNPresiden Jokowi beri sambutan di acara Pembukaan Inovasi Indonesia Expo 2020 pada Selasa (10/11/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Kemudian, sekitar akhir tahun 2019, perpolitikan Tanah Air sempat diramaikan dengan munculnya wacara amandemen UUD 1945. Salah satu wacana yang menuai sorotan ialah masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang disuarakan anggota DPR dari Fraksi NasDem.

Wacana tersebut mendapat penolakan dari berbagai pihak, mulai dari Demokrat, PKS, Golkar, hingga Jokowi. Isu ini kembali muncul di permukaan setelah ramainya polemik soal kudeta Partai Demokrat antara Moeldoko dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Presiden Jokowi sempat menyatakan tidak setuju dengan usulan mengubah jabatan presiden menjadi tiga periode dalam amandemen UUD 1945. Menurut Jokowi, usulan tersebut sama saja dengan menampar wajahnya.

"Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga (maknanya) menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya, yang kedua, ingin cari muka. Padahal saya sudah punya muka, yang ketiga ingin menjerumuskan," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (2/12/2019).

Jokowi menyampaikan, sejak awal sudah ragu dengan wacana amandemen terbatas UUD 1945 tersebut. Ia ragu sebab amandemen bisa melebar kemana-mana.

"Apakah bisa yang namanya amendemen berikutnya dibatasi? Untuk urusan haluan negara. Apakah tidak melebar kemana-mana? Sekarang kenyataannya seperti itu kan," ujar Jokowi.

"Jadi, lebih baik tidak usah amendemen. Kita konsentrasi aja ke tekanan-tekanan eksternal yang bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan," lanjut dia.

Saat ini, isu amandemen UUD 1945 untuk masa jabatan presiden tiga periode kembali bergulir pada tahun 2021, setelah memanasnya polemik Partai Demokrat antara Agus Harimurti Yudhoyono dengan Moeldoko. Ditambah, pendiri Partai Ummat Amien Rais menyebut pengambilalihan Partai Demokrat itu sebagai salah satu langkah Jokowi untuk merangkul oposisi dan merencanakan skenario jabatan tiga periode.

Menanggapi isu yang semakin liar soal jabatan presiden tiga periode, Jokowi kembali menegaskan menolak usulan tersebut. Bahkan, ia mengaku tak berminat untuk menjabat sebagai presiden tiga periode.

"Janganlah membuat kegaduhan baru, kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi dan saya tegaskan saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat jadi presiden tiga periode," kata Jokowi dalam keterangan persnya yang diunggah di channel YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/3/2021).

Jokowi mengungkapkan tidak ada niat untuk melakukan amandemen UUD 1945. Sebab, konstitusi sudah memutuskan jabatan presiden dan wakil presiden yang ada di Pasal 7 UUD 1945 selama dua periode.

"Konstitusi mengamanahkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama-sama," ucapnya.

Baca Juga: Skenario yang Bisa Diambil Jika Pembahasan Presiden 3 Periode Lolos

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya