Cerita Warga Aceh soal Kendurnya Prokes dan Stigma 'Di-COVID-19-kan'

Kasus COVID-19 di Aceh naik saat provinsi lain turun

Jakarta, IDN Times - Aceh menjadi salah satu provinsi yang masih mengalami lonjakan kasus COVID-19 hingga saat ini. Pada saat kasus di 33 provinsi menurun, di Aceh justru sebaliknya.

Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan, Aceh menjadi salah satu provinsi dengan positivity rate tinggi.

“Bahkan Aceh positivity rate-nya mencapai 51,55 persen yang tertinggi di Indonesia,” ujar Wiku dalam keterangan pers pada 26 Agustus 2021. 

Saat dikonfirmasi kembali, Wiku menyampaikan tingginya positivity rate di Aceh lantaran laju kenaikan kasus virus corona yang masih tinggi di tanah rencong itu. Karena itu, pemerintah akan memprioritaskan untuk menekan laju penularan di Aceh.

“Jika dilihat bahwa kenaikan kasus yang menjadi permasalahan, sehingga intervensi yang harus diprioritaskan ialah menekan laju penularan. Baik jika intervensi ini dapat dilakukan dari hulu, sehingga semakin antisipatiflah sebuah titik penularan dikendalikan,” kata Wiku kepada IDN Times, Kamis (2/9/2021).

Lalu, sebenarnya bagaimana kondisi pandemik COVID-19 di Aceh?

Baca Juga: Seorang Mahasiswi di Aceh Lumpuh Setelah Divaksin COVID-19  

1. Masih banyak masyarakat Aceh yang tak memakai masker hingga stigma negatif 'di-COVID-kan' oleh rumah sakit

Cerita Warga Aceh soal Kendurnya Prokes dan Stigma 'Di-COVID-19-kan'Anggota Satpol PP Kelurahan Gandaria Selatan memberikan imbauan protokol kesehatan bagi warga yang berada di zona merah COVID-19 RT 006 RW 01, Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (21/6/2021). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Kepada IDN Times, salah satu warga Aceh bernama Rahmat (bukan nama sesungguhnya) menceritakan kondisi pandemik COVID-19 di Aceh. Dia mengatakan sejak awal pandemik, protokol kesehatan di Aceh tidak seketat di Jawa. Bahkan, ia mengaku tak merasakan suasana pandemik di sana, apalagi di wilayah Kruenggeukueh, tempatnya tinggal saat ini.

Menurut Rahmat, masyarakat di Aceh memang lebih sering menghabiskan waktunya di warung kopi atau kafe untuk berkegiatan. Meski dalam kondisi pandemik, mereka juga tetap abai pada protokol kesehatan.

"Karena di satu sisi, orang-orang Aceh sudah terbiasa dan nongkrong di warkop. Banyak hal di warkop yang dilakuin, cuma jarang disiplin protokol kesehatan. Meski ada tempat cuci tangan dan lain-lain, tapi orang-orang yang menjalaninya paling mentok masker dan itu tidak semua," kata dia.

Perkara masker, Rahmat juga bercerita masyarakat di wilayahnya yang sering ia temui memang jarang menggunakan masker. "Dari Juni, saya baru balik lagi ke Aceh, ternyata orang-orang masih gak pakai masker," tuturnya.

Untuk tingkat kepercayaan masyarakat pada COVID-19 sendiri, Rahmat menyebut masyarakat Aceh percaya pada adanya virus corona. Namun, terkadang stigma negatif masih ada di tengah-tengah mereka terkait pelayanan di rumah sakit. Di mana banyak yang menilai pihak rumah sakit sengaja 'meng-COVID-kan' warga.

"Cuma masyarakat ini mulai tidak percaya dengan bagaimana rumah sakitnya. Jadi maraknya kematian karena COVID-19, banyak cerita yang mengatakan pasiennya itu di-COVID-kan. Kayak mereka mungkin tidak COVID-19, tapi dari rumah sakit dinyatakan COVID-19," ujar dia.

2. Saat PPKM level 4 hari pertama di Lhokseumawe, kericuhan sempat terjadi

Cerita Warga Aceh soal Kendurnya Prokes dan Stigma 'Di-COVID-19-kan'Polri melaksanakan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dlm rangka Penyekatan di Exit Tol Semanggi. (twitter.com/TMCPoldaMetro)

Selain itu, Rahmat juga menceritakan kondisi penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 di Lhokseumawe. Di sana baru menerapkan PPKM Level 4 pada 30 Agustus 2021. Dia bercerita pada PPKM Level empat hari pertama, kondisnya cukup kacau.

Ketatnya pembatasan, kata Rahmat, membuat masyarakat seperti tidak siap menghadapinya. Banyak masyarakat yang merasa ribet keluar masuk Lhokseumawe. Akhirnya, sempat terjadi kericuhan karena ada warga yang mengangkat blokade penyekatan jalan oleh aparat kepolisian.

"Hari pertama PPKM, di perbatasannya sempat ricuh, mungkin gak siap juga warganya tiba-tiba disuruh vaksin. Jadi peraturan setiap mau masuk Kota Lhokseumawe itu harus vaksin dulu, minimal vaksin pertama. Mungkin karena kaget dengan itu. Dan wilayah yang disekat itu daerah masyarakat kecilnya. Jadi agak kurang cocok aja kesannya," jelas Rahmat.

Rahmat juga menyampaikan lokasi vaksin kebanyakan berada di kota, sehingga masyarakat harus keluar masuk Lhokseumawe.

"Karena vaksinnya di kota, perbatasannya lumayan jauh. Nah, kalau misalkan warga mau keluar masuk, karena aksesnya yang daerah masyarakat kecil itu aksesnya gak sampai ke kota juga mungkin. Jadi harus ngelewatin perbatasan itu. Nah, mungkin itu permasalahannya," kata dia.

Penyekatan di Lhokseumawe tersebut ternyata juga sempat membuat kemacetan, sehingga membuat kondisi semakin memanas.

"Kedua, masyarakat kecilnya ini merasa sangat terhambat dengan adanya penyekatan itu karena sampai macet juga. Jadi sempat ricuh. Banyak warga yang ngotot pengen lewat perbatasan," ujar Rahmat.

3. Masyarakat masih sering nongkrong di warung kopi dan abai pada protokol kesehatan

Cerita Warga Aceh soal Kendurnya Prokes dan Stigma 'Di-COVID-19-kan'Warga berjaga di salah satu jalan akses menuju kawasan RW 04 Kampung Sambongpari, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (21/6/2021). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi.

Cerita lain juga diungkapkan Taufiq Hidayat, salah seorang pekerja yang tinggal di Banda Aceh. Dia bercerita, masyarakat di Banda Aceh masih abai pada protokol kesehatan. Ia masih sering bertemu dengan masyarakat tak memakai masker dan masih suka berkerumun.

"Terlebih dengan kebiasaan masyarakat Aceh itu sering ngumpul atau nongkrong di warung kopi, dan itu bisa kapan saja, setelah salat subuh atau pun malam hari, selalu ramai," kata Taufiq.

Selain itu, tempat makan di Banda Aceh juga masih bebas memperbolehkan masyarakatnya dine in atau makan di tempat. Padahal, Banda Aceh termasuk wilayah yang menerapkan PPKM Level 4.

Bahkan, lanjut Taufiq, wilayah perkantoran juga masih banyak yang menerapkan work from office (WFO).

"Menurut saya, mayoritas masyarakatnya masih belum percaya COVID, terlihat dari tindakan pemerintah daerah, seperti pemberlakuan jam malam untuk warung kopi, ataupun sanksi penutupan warung kopi yang tidak mengikuti protokol kesehatan, tidak menjadi fokus masyarakat untuk paham bahwa pandemik ini nyata dan mudah menular," tuturnya.

Kendati, Taufiq menuturkan, aparat beberapa kali melakukan razia protokol kesehatan. Namun razia tersebut tetap membuat masyarakat tak disiplin protokol kesehatan.

"Jadi contoh nyatanya, orang-orang duduk di warung kopi dan ada razia protokol kesehatan langsung pakai masker, setelah razia, dibuka lagi maskernya," ucap dia.

Baca Juga: Kasus COVID-19 di 33 Provinsi Sudah Turun, Hanya Aceh yang Naik 

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya