[WANSUS] Jaleswari KSP Bicara KKB di Papua Hingga Isu Terorisme

Jaleswari juga cerita soal pandemik COVID-19

Jakarta, IDN Times - Siapa tak kenal dengan srikandi Kantor Staf Presiden (KSP) yang satu ini, Jaleswari Pramodhawardani. Wanita berusia 56 tahun ini dikenal cerdas dan ramah. Perlakuan itu turut dirasakan IDN Times saat bertemu dengan dia di Gedung KSP, Jakarta Pusat, untuk melakukan wawancara khusus.

Saat memasuki ruangannya yang terlihat sederhana dan rapi, wanita yang akrab disapa Dani ini menyambut IDN Times dengan ramah. "Duduk... duduk.. duduk," katanya mempersilakan IDN Times duduk di sofa yang empuk.

Dani, merupakan perempuan kelahiran Jawa Timur, 11 Agustus 1964. Karena pengalaman dan kemampuan yang ia miliki, ia dipercaya menduduki posisi Deputi V KSP yang membidangi Politik, Hukum, Keamanan, Pertahanan dan Hak Asasi Manusia sejak periode pertama Presiden Joko "Jokowi" Widodo hingga periode keduanya.

Sebelum memulai kariernya di KSP, Dani juga telah memiliki banyak pengalaman, seperti menjadi Staf Khusus Sekretaris Kabinet pada 2014-2015, sebagai Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan selama 2015-2016.

Meluangkan waktunya sejenak untuk membahas isu-isu terkini, Dani pun mulai menjawab satu per satu pertanyaan IDN Times. Mulai dari isu Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua, soal pelanggaran HAM, hingga perkembangan terorisme di Indonesia.

Lalu, apa saja jawaban Dani mengenai isu-isu Papua hingga terorisme? Yuk simak wawancaranya.

Baca Juga: [WANSUS] KemenPPPA: Perempuan Rentan Berada di Pusaran Terorisme

Isu soal Papua masih sering dibicarakan, bagaimana keadaan di Papua saat ini?

[WANSUS] Jaleswari KSP Bicara KKB di Papua Hingga Isu TerorismeDeputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Pasti berbeda ya, dulu tuh kan kita ngelihat, ruang-ruang publik lah. Dulu kita lihat penuh, ada kafe, kemudian warung kopi, terus kemudian penjual-penjual itu kan sangat banyak, sekarang berkurang. 

Jadi kami tetap ke Papua karena ada beberapa program prioritas nasional yang harus kami kawal, satunya PON Papua, karena tujuh bulan lagi. Papua akan menjadi tuan rumah dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) dan ini baru pertama kali terjadi, dan luar biasa ya antusiasme masyarakat, warga, kawan-kawan di Papua luar biasa. Makanya kita penting untuk mendukung yang itu.

Jadi kan presiden selalu menyampaikan ke kita urusan Papua bukan soal keamanan saja, bukan soal kekerasan saja, tapi juga kesejahteraan yang juga ini jarang disentuh. Ini adalah indeks pembangunan manusianya paling rendah se-Indonesia. Jadi maksudnya Presiden memilih soal pembangunan kesejahteraan itu sangat tepat sekali, karena memang didasarkan indeks pembangunan manusia yang Papua dan Papua Barat itu paling tertinggal, jadi digenjot. 

Mengapa infrastruktur? Karena infrastrukturnya menghubungkan desa dan kota, desa dengan kecamatan, antar desa, karena ini yang itu problem terbesar di Papua juga. Kalau ada dengan terjadinya konektivitas semacam ini orang kan bisa (mobilitas orang, mobilitas barang) itu menjadi mudah dan karena mobilitas barang menjadi mudah maka harga-harga juga turun, gitu.

Jadi infrastruktur itu mungkin secara langsung, orang langsung bilang 'itu di desa ini gak butuh infrastruktur'. Ini bukan harus dilihat itu apa, ini ada persoalan-persoalan jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang Papua yang ini sudah terjadi puluhan tahun dan kita memang harus punya kesabaran mengurai satu-satu. Pendekatan bottom-up (pendekatan dari bawah) mendengarkan segala macam.

Bagaimana persiapan PON di Papua? Terutama soal kemanannya?

Ya, kita koordinasi dengan Pak Kapolda, Pangdam di sana, gubernur, bupati, wali kota, ini kan ada di tiga tempat Jayapura, Timika sama Merauke, kita udah koordinasi terus, ini apa, kira-kira antisipasi kita apa untuk mengamankan PON. Bukan hanya PON saja, tapi juga COVID-19, vaksin, pokoknya kita terus melakukan dalam situasi pandemik kita kawal.

Bagaimana pandangan Anda soal KKB di Papua?

[WANSUS] Jaleswari KSP Bicara KKB di Papua Hingga Isu TerorismeIlustrasi teroris (IDN Times/Mardya Shakti)

Kami ditugaskan oleh Menko Polhukam berdasarkan arahan Presiden untuk menemukan fakta peristiwa kekerasan dan penembakan dari berbagai insiden yang terjadi saat itu. Saya sendiri mengalami baku tembak dengan KKB di wilayah Kampung Mamba Bawah, Distrik Hitadipa. Sahabat saya Bapak Bambang Purwoko dan salah anggota Satgas Apter Sertu Faisal Akbar mengalami luka tembak yang membutuhkan evakuasi ke RSPAD di Jakarta.

Terkait dengan KKB secara khusus, saya rasa pemerintah tidak akan pernah berkompromi dengan KKB di Provinsi Papua. Pemerintah bertanggung jawab dan terus memberikan perlindungan maksimal bagi segenap warga negara, termasuk masyarakat di kabupaten dari ancaman KKB.

Aparat keamanan akan terus mengambil tindakan terukur dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan, guna menciptakan keamanan bagi masyarakat di Intan Jaya.

Pemerintah pusat memberi kepercayaan penuh kepada Pemprov Papua untuk menyelesaikan masalah ini dan mengawasi pelaksanaan tugas pemerintah daerah dari Kabupaten Intan Jaya. Pemerintah provinsi juga diharapkan terus aktif melakukan koordinasi dengan para tokoh adat dan pemimpin agama setempat.

Kantor Staf Presiden, secara khusus Kedeputian V akan terus mengawal dan memantau hal tersebut.

Bagaimana pandangan soal Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang masuk dalam kategori terorisme? Apakah setuju KKB dimasukan ke dalam kategori terorisme?

Saya rasa kita harus berhati-hati karena urusan Papua ini kan gak mudah. Urusan Papua ini juga jadi sorotan dunia internasional dan pandangan tentang Papua ini antara yang dilihat orang luar, terutama negara-negara yang mengkritik Indonesia itu berbeda dengan cara pandang kita melihat Papua itu sendiri. Jadi saya lebih senang melihat kita harus berhati-hati untuk melihat ini.

Saya sih bisa memahami ya kenapa disarankan untuk dimasukkan ke organisasi terorisme. Karena dianggap aksi-aksinya tuh banyak melakukan pembunuhan-pembunuhan, penembakan-penembakan. Tapi ini pun juga tidak mudah karena kita juga perlu berhati-hati. Ini menjadi perdebatan terminologis juga.

Tapi secara ini, saya memahami latar belakang kenapa ini dikategorikan seperti itu, karena dari aksi-aksinya yang memang mengedepankan tindakan kekerasan.

Pemerintah selalu disarankan melakukan dialog dengan KKB, akankah ada langkah tersebut dari pemerintah?

[WANSUS] Jaleswari KSP Bicara KKB di Papua Hingga Isu TerorismeIlustrasi Pulau Papua (IDN Times/Mardya Shakti)

Kalau mungkin sih bisa aja, gitu. Tapi bagaimana mekanismenya, bagaimana yang didialogkan, antara siapa dengan siapa, itu kan harus jelas di depan dulu. Jangan sampai niatan kita dialog itu tidak dibarengi dengan persiapan atau persyaratan-persyaratan yang nanti takutnya jadi kontraproduktif.

Saya juga gak yakin itu dari pihak sana (KKB) juga akan meng-iyakan, gituka. Ini kan perlu dibicarakan dialognya mau seperti apa. Dulu sih pernah ngomong soal dialog sektoral, yang dimaksud adalah bagaimana masa depan Papua itu penting untuk melihat pendidikan, kesehatan, itu menjadi salah satu hal dasar untuk memajukan Papua. 

Selain isu Papua, Indonesia juga sempat diramaikan dengan isu penembakan enam eks anggota Laskar FPI di KM 50 Cikampek. Bagaimana melihat kasus ini? Apakah termasuk pelanggaran HAM berat? Sementara Komnas HAM menyimpulkan bukan pelanggaran HAM berat.

Berdasarkan UU No 39 Tahun 1999 (Tentang Hak Asasi Manusia) Komnas HAM merupakan mekanisme nasional untuk melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia di Indonesia. 

Berdasarkan Statuta Roma, suatu kasus dapat dikategorikan masuk dalam kriteria pelanggaran HAM berat ketika tindakan penyerangan dan pembunuhan itu merupakan hasil dari sebuah kebijakan atau lembaga negara.

Saya rasa kita harus menghormati temuan dan hasil penyelidikan Komnas HAM, yang sudah menemukan bahwa insiden tersebut bukan pelanggaran HAM berat.

Aksi terorisme juga sangat disoroti publik beberapa waktu lalu. Sebenarnya, bagaimana perkembangan soal teroris di Indonesia?

[WANSUS] Jaleswari KSP Bicara KKB di Papua Hingga Isu TerorismeIlustrasi Bom (Teroris) (IDN Times/Mardya Shakti)

Kita melihat perkembangan aksi teroris 20-an tahun terakhir, dan sampai pada kesimpulan, ancaman terorisme real. Aksi-aksi teror di Indonesia nyata, kemarin saya sudah menyampaikan bahwa hasil kajian Lab45, tercatat 552 serangan teror (2000-2021), sekarang menjadi 553 dengan kejadian serangan baru di Mabes Polri. Sebagian besar berhasil dibongkar oleh kepolisian antara lain juga melalui mekanisme pengadilan yang terbuka.

Terorisme merupakan kejahatan yang dibentuk melalui sebuah proses. Aksi bom bunuh diri dan aksi terorisme lainnya dilakukan dalam proses ideologisasi yang bertahap, sehingga pelaku yakin dan percaya melakukan aksi terorisme tersebut. Sikap intoleransi menjadi benih-benih awal yang membawa kecenderungan pada lahirnya radikalisme, ekstremisme kekerasan, dan terkadang mengarah pada aksi terorisme.

Hal ini juga dikuatkan melalui beberapa kajian panjang dan penelitian yang dilakukan lembaga penelitian terkemuka seperti LIPI, perguruan tinggi, maupun yang dilakukan oleh organisasi masyarakat menunjukkan, bahwa sikap intoleransi dan radikalisme terlihat menguat di sebagian kelompok masyarakat dan instansi pemerintah. Bahkan, hasil survei Alvara Research Center pada 2017 menyebutkan terdapat 19,4 persen aparatur sipil negara (ASN) yang tidak setuju dengan ideologi Pancasila. 

Bukan hanya itu, bahkan sikap intoleran dan radikalisme di kalangan generasi muda, termasuk siswa sekolah menengah atas (SMA) juga memprihatinkan. Berbagai survei sejak 2011 menemukan potensi intoleransi dan radikalisme yang semakin meningkat di kalangan remaja dan siswa SMA.

Di antaranya, survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP, 2011), Setara Institute (2015), Kemendiknas (2016), Paramadina (2017), Alvara Research Center (2017), PPIM UIN Syarif Hidayatullah (2018), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2018), yang menunjukkan semakin meningkatnya potensi radikalisme di kalangan generasi muda. Indonesia tidak sendiri. Ini fenomena global yang perlu terus menerus kita antisipasi bersama. Pemerintah gak bisa sendirian.

Jika melihat jumlah aksi-aksi kekerasan yang terjadi 2000-an terakhir ini, sebenarnya sel-sel teroris ini tidak mati, ini sel-sel tidur, yang hanya menunggu momentum kapan aksi kekerasan diledakkan. Coba kita lihat aksi lima tahun terakhir ini, itu berselang tak lebih dari dua tahun dari aksi bom bunuh diri serupa yang terjadi di Polrestabes Medan November 2019 lalu. Dan berselang tiga tahun dari tiga bom yang meledak di tiga gereja di Surabaya pada Mei 2018 yang dilakukan oleh pasutri dan empat anak mereka. 

Analisis-analisis ini kan memang harus diperdalam ya. Ini kan baru fenomena-fenomena yang kita perlu diuji lebih dalam lagi, yang penting kita tarik benang merahnya dari rentetan peristiwa ini. Kita bisa melihat bagaimana pergeseran simbol-simbol yang menjadi target aksi terror selama 20 tahun terakhir, atau 10 dan lima tahun terakhir. Bagaimana penggunaan perempuan dan anak-anak dalam aksi-aksi teror yang terjadi beberapa tahun terakhir. 

Kejadian-kejadian ini begitu dekat dengan kita, dengan 'rumah' kita. Penting karenanya kita menjaga rumah kita, tetangga kita, komunitas kita untuk saling menguatkan dari ancaman pengaruh atau penyusupan ideologi terorisme. Itulah yang saya maksud bahwa pemerintah tidak bisa sendiri. Karena teroris mengetuk pintu rumah kita, unit terkecil, yaitu keluarga.

BNPT sempat menyebut radikalisme dijadikan alat politik untuk menyerang pemerintah, bagaimana tanggapannya soal itu? Apakah era digitalisasi ini sel-sel terorisme justru berkembang melalui media sosial?

Soal radikalisme segala macam itu, ini memang betul. Dijadikan salah satu iya. Untuk menyerang pemerintah soal kekerasan-kekerasan yang kerap dilakukan dengan mengatasnamakan agama tertentu dan segala macamnya. 

Sekarang ini kan alasan atau bukti untuk menciptakan konflik kan macam-macam. Bisa sumbernya dari sosial ekonomi, kemiskinan, bisa soal radikalisme. Tapi memang tentang salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini adalah ya soal kebhinekaan kita itu. Kebhinekaan itu bisa menguatkan kita, bisa menjadi berkah tapi juga musibah kalau kita gak bisa mengelolanya.

Soal sel-sel terorisme yang berkembang di media sosial, jelas. Saya rasa beberapa analis media melihat fenomena itu. Bagaimana beberapa trending topic di medsos dikuasai mereka melalui akun-akun yang bergerak serentak, untuk menajamkan perbedaan di antara kita dan cipta kondisi konflik horizontal.

Mereka sangat menguasai dan memanfaatkan jalur medsos ini, dari mulai Twitter, Facebook, Line, Instagram, dan sebagainya. Buzzer-buzzer mereka rapi, masif, terstruktur, dalam komando yang sangat disiplin. Kita jarang mengungkap hal ini, padahal ini jauh berbahaya ketimbang polemik buzzer pemerintah, buzzer NGO, maupun buzzer parpol dan lain-lain itu. Tanpa kita sadari, kita masuk dalam konflik yang mereka inginkan dan menjadi tujuan mereka agar pembelahan sosial terjadi masif.

Selama pandemik, pemerintah banyak dikritik terkait kebijakan yang dianggap tak konsisten dan komunikasi antara kementerian/lembaga dinilai tak kompak. Sebagai bagian dari KSP, bagaimana Anda melihat kritikan masyarakat ini?

[WANSUS] Jaleswari KSP Bicara KKB di Papua Hingga Isu TerorismeDeputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Mengkritik merupakan hak masyarakat yang terjamin oleh UUD 1945 dan kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang telah diratifikasi sebagai UU No 12 Tahun 2005. Yang jelas bagi setiap kebijakan pemerintah pasti akan ada time lag dari perencanaan, eksekusi, sampai kebijakan tersebut delivered dan dampaknya terasa oleh masyarakat.

Dalam hal ini KSP berperan untuk memastikan konsistensi kebijakan dan komunikasi antar kementerian/lembaga berjalan dengan baik melalui debottlenecking dan strong coordination. Saya rasa kerja-kerja tersebut tidak tersia-sia.

Pada hasil survei SMRC 23-26 Desember 2020 75 persen warga percaya Presiden Joko Widodo dapat membawa Indonesia dari krisis. Survei CPCS yang dirilis pada Senin 22 Maret juga masih menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah Joko Widodo sebesar 70,7 persen. Rata-rata angka tersebut membaik sejak awal pandemik.

Selama pandemik, apa kesibukan Anda sebagai Deputi V? Apa tugas paling berat yang dilakukan selama pandemik?

[WANSUS] Jaleswari KSP Bicara KKB di Papua Hingga Isu TerorismeDeputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani (Dok.KSP)

Saya sebagai Deputi V menjabat sebagai Koordinator II Bidang Pengendalian Operasi. Fungsi saya dan tim saat itu bertugas untuk mengelola data, membangun sistem informasi, dan memberi dukungan teknologi bagi Gugus Tugas.

Kami waktu itu melaksanakan berbagai rapat koordinasi guna memutakhirkan data. Saya ingat dengan baik bahwa semua database seperti Dapodik dan pihak seperti Babinsa/Bhabinkamtibmas dilibatkan.

Setelah Gugus Tugas masuk pada Komite PC-PEN pada Juli 2020, Kantor Staf Presiden kembali melaksanakan tupoksi kami yakni sebagai satu dari tiga kaki di Istana bersama Setneg dan Setkab, dengan tupoksi: memastikan program prioritas nasional, komunikasi politik, janji presiden, dan isu-isu strategis terkelola secara optimal sebagai back office Presiden.

Selama pandemik sejak Juli saya setidaknya melaksanakan 20 perjalanan dinas atau kunjungan untuk mengawal berbagai isu. Pada 2020 salah satu isu yang paling strategis adalah Pilkada 2020 dan memastikan Pilkada berjalan secara sehat dan berkualitas. Pada detik-detik terakhir sebelum pemungutan suara, saya dan tim masih memimpin rapat dari Kota Jayapura, Papua, untuk memberi dukungan logistik udara kepada KPU Provinsi yang kesulitan menjangkau beberapa wilayah setempat.

Selama pandemik, rutinitas kerja menjadi lebih berat karena pandemik yang memberi dimensi baru dalam kerja-kerja kami. Pada awalnya kita semua harus melakukan penyesuaian luar biasa terhadap digitalisasi. Namun saya dan tim tetap berusaha optimistis, kami terus memegang arahan Presiden bahwa pemerintah memanfaatkan momentum disrupsi teknologi mendorong transformasi digital untuk lompatan kemajuan.

Secara keseluruhan, mungkin bagi saya tugas yang paling berat adalah terus menjaga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, serta menebar harapan pada masa-masa yang sulit ini.

Baca Juga: [WANSUS] Alat Deteksi Antibodi Pasca-Vaksinasi Buatan RI Siap Ekspor

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya