Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
(Tiga pimpinan KPK mengajukan judicial review) ANTARA FOTO/Ariella
(Tiga pimpinan KPK mengajukan judicial review) ANTARA FOTO/Ariella

Jakarta, IDN Times - Implementasi dari undang-undang baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nomor 19 tahun 2019 memasuki babak baru. Setelah digugat dari segi materiil oleh beberapa pihak, kini gugatan juga diajukan oleh tiga pimpinan komisi antirasuah ke Mahkamah Konstitusi. Ketiga pimpinan itu yakni Agus Rahardjo, Laode M. Syarif dan Saut Situmorang. 

Mereka bergabung dengan 10 tokoh dan pegiat antikorupsi yang menggugat undang-undang baru KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiganya didampingi perwakilan koalisi masyarakat sipil mendatangi MK pada Rabu (20/11) untuk mendaftarkan gugatan tersebut. 

Agus menggaris bawahi mereka mengajukan gugatan bukan atas nama pimpinan KPK, melainkan nama pribadi. 

"Jadi, pada hari Rabu, kami atas nama pribadi dan warga negara Indonesia akan mengajukan judicial review ke MK. Jadi, ada beberapa orang yang mendukung kami. Kami juga didampingi oleh lawyer-lawyer. Kami juga akan mengundang para ahli," ujar Agus yang ditemui media di gedung Merah Putih sebelum berangkat menuju ke gedung MK. 

Ia mengaku sesungguhnya masih berharap Presiden Joko "Jokowi" Widodo akan menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Namun, hingga kini Perppu tersebut tak kunjung terbit. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu malah memilih akan menerbitkan Perppu atau tidak tergantung pada hasil pengajuan gugatan di MK. 

"Kami kan sesungguhnya tetap berharap Perppu itu keluar," kata dia lagi. 

Lalu, apa yang menjadi dasar hingga mengajukan gugatan formil mengenai undang-undang itu ke MK? Menurut Agus, gugatan yang mereka ajukan formil dan tidak menyangkut materi dari undang-undang tersebut. 

1. Ada lima alasan mengapa undang-undang nomor 19 tahun 2019 cacat secara formil

(Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif tengah bersiap mengikuti ujian psikotest di Pusdiklat) ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif menjelaskan setidaknya ada lima alasan mengapa mereka menggugat undang-undang nomor 19 tahun 2019 itu tidak memenuhi prosedur secara formil. Pertama, undang-undang tersebut tidak masuk ke dalam prolegnas 2019, kedua, proses pembahasan sangat tertutup dan tidak berkonsultasi dengan mayarakat. Ketiga, KPK selaku organisasi yang akan menggunakan undang-undang itu turut tidak dimintai pendapat. 

"Keempat, naskah akademik (UU nomor 19 tahun 2019) itu kami tidak pernah diperlihatkan kepada publik dan KPK. Kelima, ada aturan baru di dalam UU yang saling bertentangan misalnya pasal 69D dengan pasal 70C," ujar Syarif ketika ditemui di gedung Merah Putih pada (20/11). 

Mantan pengajar di Universitas Hasanuddin itu meyakini dari deretan kejanggalan dalam proses pembentukannya, maka hasilnya pun juga terburu-buru. Akibatnya, hal itu berpengaruh terhadap salah satu komisioner terpilih, Nurul Ghufron. Ia masih berusia 45 tahun. Namun, di dalam undang-undang baru komisi antirasuah tertulis pimpinan yang bisa dilantik minimal berusia 50 tahun. 

2. Tiga pimpinan jilid IV yang ikut melakukan gugatan formil, mengajukan atas nama pribadi

Editorial Team

Tonton lebih seru di