Masih terekam dengan jelas bagaimana momen kemerdekaan 17 Agustus 2019 disambut kemarahan masyarakat Indonesia, terkhusus warga Papua, di berbagai daerah. Berawal dari pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya terkait dugaan perusakan bendera Merah-Putih. Pada kejadian ini, para penghuni asrama juga dikatai monyet.
Di tengah situasi yang belum jelas akar masalahnya, polisi memaksa masuk dengan menembakkan gas air mata dan membobol pagar asrama. Sebanyak 43 orang dibawa ke Mapolrestabes Surabaya untuk menjalani investigasi. Beberapa hari sebelumnya, bentrokan antar-warga dengan mahasiswa Papua juga terjadi di Malang.
Imbas kerusuhan di dua kota tersebut, Jayapura menjadi “lautan api”. Ribuan orang memadati Manokwari, Sorong, dan Wamena untuk menolak diskriminasi yang dilakukan aparat. Di Manokwari, gedung parlemen dibakar. Di Sorong, fasilitas umum dirusak. Tercatat empat orang meninggal di Jayapura dan 33 korban tewas lainnya di Wamena.
“Terkait perilaku diskriminasi rasial terhadap kami orang Papua bukan hal baru. Sudah sejak pertama kali masuk ke Indonesia, seperti ada label di tubuh kami (yang sekolah atau kuliah di luar Papua) OPM, separatis, ada juga pemabuk, perusuh, tukang onar. Hal ini tidak terjadi begitu saja, bahkan dipelihara,” tambah Cisco, dalam webinar yang dimoderatori Veronica Koman, aktivis HAM yang kerap membela warga Papua.
Nino Viartasiwi dalam tulisannya berjudul The Politics of History in West Papua (2018) menjelaskan dua hal yang mendasari konflik Papua, yaitu perbedaan ras yang dimiliki warga Papua (Melanesia) dengan kebanyakan ras di Indonesia (Melayu/Astronesia) dan polemik mengenai integrasi Papua ke dalam Indonesia.
Pada 1949, ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan dituntut untuk menyerahkan seluruh kedaulatan wilayahnya, Belanda enggan memasukkan Netherlands New Guinea (nama sebelum Papua) sebagai bagian integral Indonesia. Alasannya adalah perbedaan suku, ras, dan agama.
Sukarno kala itu berdalih bahwa Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Mereka sama-sama berjuang mengusir penjajah. Adapun perbedaan ras dan suku bukan alasan untuk memisahkan Papua.
Sementara, kebanyakan warga Papua tidak merasa bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia. Adapun perlawanan terhadap penjajah, sebagaimana dituliskan Nino, merupakan perjuangan untuk mengusir kolonial dari tempat tinggalnya. Tidak dilandasi semangat nasionalisme.
Atas dasar itulah pada 1 Desember 1961 Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai negara yang terpisah dari Indonesia. Bendera Bintang Kejora dikibarkan dan Hai Tanahku Papua disenandungkan sebagai lagu nasional.
Deklarasi Papua Barat dianggap ada campur tangan Belanda. Meski Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, mereka tidak serta-merta melepas Papua. Belanda berdalih akan memerdekakan Papua ketika mereka sudah siap. Kisruh politik antara Belanda-Indonesia terkait Papua harus ditengahi oleh PBB.
Pada 1962, seluruh pihak yang bertikai sepakat untuk melaksanakan New York Agreement. Di antara poin kesepakatannya adalah penyerahan Papua Barat kepada PBB yang kemudian akan diserahkan kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Setelah itu Indonesia dituntut untuk menggelar referendum paling lambat 1969.
Referendum atau Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat ) diselenggarakan pada 1969. Dari 800 ribu populasi warga Papua kala itu, hanya 1.025 orang yang terlibat pemilihan. Sistem one man, one vote tidak diterapkan dengan alasan akses ke seluruh warga yang tidak memungkinkan. Hasilnya adalah perwakilan tersebut sepakat untuk mengintegrasikan Papua ke dalam Indonesia.
Bagi sebagian warga Papua, New York Agreement 1962 merupakan bentuk kesewenang-wenangan karena perwakilan Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam perundingan. Selain itu, mekanisme pengambilan suara Pepera dianggap tidak bisa mewakili seluruh suara warga Papua. Indonesia juga mengabaikan fakta bahwa Papua Barat pernah mendeklarasikan diri sebagai negara pada 1961.
Paul Antonopoulos dan Drew Cottle dalam Forgotten Genocide in Indonesia (2019) menjelaskan, terlepas dari perdebatan integrasi Papua, Jakarta hanya memperlakukan Papua sebagai ladang eksploitasi sumber daya alam (SDA).
Pada Februari 2020 lalu, bos Freeport, Tony Wenas, mengungkapkan bahwa keuntungan yang telah diberikan kepada Indonesia mencapai US$19,5 miliar. Artinya, tambang emas di Papua merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar Indonesia.
Soal ini, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, mengatakan, "Tahun 1973 itu di Papua tidak ada apa-apa di sana. Jadi kita bangun semua. Bandara Mimika yang bangun Freeport. Dua air trip untuk membuka keterisolasian masyarakat juga dibangun Freeport." Pria bernama lengkap Clayton Allen Wenas ini menyampaikannya di ajang Indonesia Millennial Summit 2020 yang diadakan IDN Times, 17 Januari 2020.
Tony juga membeberkan, sejak Freeport diambil alih Pemerintah Indonesia, kini perusahaan tambang emas ini berjalan lebih baik.
"Sejak 21 Desember 2018, sebanyak 51 persen (saham) sudah dimiliki Indonesia. Utang sudah lunas dibayar dan tidak ada yang nyinyir lagi, sudah berlangsung selama setahun dan berjalan lancar," ujarnya.
Kembali ke catatan sejarah, pada awalnya, komunitas internasional mendesak Belanda untuk menggelar referendum di Papua. Namun, AS di bawah kepemimpinan John F Kennedy justru mendukung Papua untuk menjadi bagian integral dari Indonesia.
Paul dan Drew beranggapan bahwa dukungan AS terhadap Indonesia tidak lepas dari kekayaan SDA di Papua. Pada 1967 atau dua tahun sebelum Pepera, Indonesia menandatangani kerjasama dengan Freeport untuk eksploitasi tambang emas di Papua. Adapun salah satu petinggi perusahaan tersebut adalah Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger.
Di samping itu, sangat mudah bagi pemerintah untuk menutup akses informasi keluar Papua. Kasus terbaru, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutus Presiden Jokowi dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada tahun 2019.
Selain eksploitasi SDA dan pelanggaran HAM, Kjell Anderson melalui Colonialism and Cold Genocide: The Case of West Papua (2015) menjelaskan bahwa program transmigrasi turut mencabut akar budaya Papua dari tanah leluhurnya.
Untuk mempersiapkan tempat tinggal para transmigran, sepanjang 1982-1990 sekitar 163 ribu hektare hutan dihancurkan setiap tahunnya. Bagi warga Papua yang hidup dengan nilai-nilai adat, kehilangan hutan berarti kehilangan “ibunya”. Mereka yang dipindah paksa juga tidak mendapat kepastian hukum.
Program transmigrasi juga dianggap sebagai upaya modernisasi atas perilaku warga Papua yang dianggap primitif dan terbelakang. Pada 1971, pemerintah disebutkan pernah menggelontorkan dana sekitar Rp205 juta bakal Operasi Koteka, yaitu memaksa warga Papua untuk mengganti koteka dengan celana dan pakaian namun melalui pendekatan militer.
Sejarah panjang diskriminasi inilah yang menyebabkan sebagian warga Papua geram sehingga ingin memerdekakan diri. Pada 2001, Pemerintah Pusat memberikan hak otonomi khusus (Otsus) sebagai upaya mengejar pembangunan di Papua, sekaligus meredam gerakan separatisme.
Hingga 2020, pemerintah sekurangnya telah menggelontorkan dana Otsus sebesar US$7,4 miliar dolar. Sayangnya, upaya tersebut tidak efektif untuk meredam keinginan sebagian rakyat Papua untuk memisahkan diri. Tidak hanya itu, segala macam upaya pemerintah -seperti pemberian jalur khusus ketika mengajukan beasiswa dan pegawai negeri sipil hingga keberadaan staf khusus terkait isu kepapuaan- masih juga gagal menghapus diskriminasi rasial.
“Semacam ada standar ganda. Ketika kami pelaku, cepat sekali diproses. Tapi kalau kami korban, paling sulit. Teman-teman ada yang mencoba melaporkan kasus ke kantor polisi, lalu polis bilang ‘kalian ke asrama saja, suruh senior kalian yang ngatur’. Perlakuan ini juga terjadi di ruang akademis. Diskusi kami selalu diintervensi. Makanya kami selalu kesulitan menyampaikan apa yang terjadi di Papua, termasuk di ruang akademis,” ungkap Cisco.
Cisco menjelaskan, selama ini pemerintah telah gagal dalam upaya merangkul masyarakat Papua. Pasalnya, pemerintah selalu menggunakan “kacamata” Jakarta untuk menyelesaikan masalah bukan dengan mendengar langsung apa keluhan masyarakat setempat. Karena itu, Cisco tidak heran bila keberadaan Trans Papua dan Jembatan Merah-Putih yang selalu dibangga-banggakan pemerintah tidak bisa menyudahi keinginan untuk memisahkan diri.
“Kalau negara saya pikir tidak ada hal baik, karena statusnya kolonial. Kita sekolah ke Jawa bukan hal baik, toh orangtua kita yang bayar. Dari ribuan orang (Papua) yang mati, mana baiknya? Coba lihat hutan Papua, masuk ke dalamnya ada penambangan yang legal dan ilegal. Hal baik apa yang Indonesia kasih? Tidak ada,” kata Cisco.
Dalam diskusi tersebut, menurut Veronica satu-satunya cara untuk menyudahi konflik di Papua adalah dengan menegakkan demokrasi sebenar-benarnya di Papua. Salah satu prinsip demokrasi adalah memberikan pilihan kepada warga Papua apakah ingin memisahkan diri dari Indonesia atau tidak.
“Saya betul-betul melihat tidak ada harapan. Sejak Pepera sampai sekarang. Pengalaman saya sebagai pengacara, di ruang pengadilan saja tidak ada keadilan bagi orang Papua. Otsus cuma pencitraan saja. Jakarta sama sekali gak ada itikad baiknya. Jadi saya sepakat dengan uprising Papua tahun lalu, berikut hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis,” kata dia.