Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (menggunakan pakaian putih) ketika menemui keluarga korban yang menunggu di RSUD Pameungpeuk, Garut. (IDN Times/Azziz Zulkhairil)
Penjelasan dari pihak Mabes TNI yang menuding warga sipil ada di lokasi pemusnahan karena hendak memulung sisa amunisi, membuat marah keluarga korban. Kemarahan itu terungkap dalam kunjungan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ke RSUD Pameungpeuk, Kabupaten Garut pada Selasa kemarin.
Seorang perempuan remaja marah ketika ayahnya disebut tewas di lokasi karena hendak memulung amunisi TNI. Ayah korban diminta oleh TNI untuk membantu pemusnahan amunisi.
"Saya meminta pertanggungjawabannya. Karena bapak saya di situ bukan seperti yang orang-orang pikirin. Bapak saya bukan mulung! Bapak saya di situ kerja sama tentara!" kata perempuan remaja yang mengenakan jilbab hitam sambil berurai air mata, di depan RSUD Pameungpeuk.
Anak korban mengetahui hal itu lantaran sudah sejak sekolah, menyaksikan ayahnya membantu TNI. "Sudah lama bapak saya (kerja sama TNI). Sudah ke mana-mana, sudah ke Manado, Makassar, Bali, Jakarta, Mabes Polri," kata anak korban.
Dia juga membantah ayahnya masuk ke lokasi pemushanan amunisi di Desa Sagara secara ilegal. Karena keberadaan ayahnya di lokasi pemusnahan atas izin dari TNI."Katanya banyak yang bilang kalau bapak saya ke situ nyelonong, ngelawan TNI, itu gak benar!" kata anak korban.
Ada pula Agus Setiawan yang mengaku dibayar Rp150 ribu per hari untuk membantu TNI melakukan pemusnahan amunisi kedaluwarsa di Garut. Agus menyampaikan hal itu ketika rumahnya dikunjungi oleh Gubernur Dedi Mulyadi.
"Kami jadi buruh, Pak. Buruh buka selongsong, per hari dibayar Rp 150 ribu," kata Agus.
Dia mengatakan tugasnya membantu untuk melepas selongsong amunisi milik TNI. Durasi mereka bekerja menyesuaikan amunisi yang akan dimusnahkan TNI. Pekerjaan itu pun bisa berlangsung selama belasan hari.
Selain mendapat upah harian, Agus mengaku juga biasa menjual rongsokan dari sisa-sisa pemusnahan amunisi.