Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Koalisi Sipil Sebut Kalimat TNI Tak Peka Terhadap Keluarga Korban

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi ketika menemui keluarga korban yang menunggu di RSUD Pameungpeuk, Garut. (IDN Times/Azziz Zulkhairil)
Intinya sih...
  • Koalisi Masyarakat Sipil menilai pernyataan TNI yang menyebut warga sipil ikut menjadi korban karena memulung sisa amunisi sebagai sembrono dan terburu-buru.
  • Koalisi meminta agar dilakukan investigasi independen, imparsial, dan menyeluruh atas tragedi ini serta proses pemusnahan amunisi harus jauh dari warga sipil.
  • Keluarga korban marah dengan tuduhan bahwa ayahnya tewas karena hendak memulung amunisi TNI, padahal ayahnya bekerja sama dengan tentara secara legal.

Jakarta, IDN Times - Sejumlah lembaga masyarakat sipil (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menilai pernyataan dari petinggi TNI yang menyebut warga sipil ikut menjadi korban karena diklaim hendak memulung sisa amunisi, dianggap pernyataan sembrono serta terburu-buru. Sebab, pernyataan itu disampaikan saat belum ada hasil penyelidikan yang menyeluruh dan imparsial. Selain itu, kata koalisi, pernyataan TNI tersebut dianggap melukai keluarga korban. 

"Klaim seperti itu terkesan menyalahkan korban demi mengaburkan tanggung jawab institusi TNI atas kelalaian yang terjadi," ujar koalisi dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Rabu (14/5/2025). 

Pernyataan sepihak itu, kata koalisi, juga dianggap tidak sensitif terhadap kondisi keluarga korban yang tengah berduka. Kalimat itu kali pertama disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi, pada Senin (12/5/2025).

Ia menduga, jatuhnya korban dari warga sipil karena mereka langsung mendekati area pemusnahan amunisi yang sudah kedaluwarsa untuk memulung sisa amunisi. Sebab hal itu sering terjadi di aktivitas pemusnahan lainnya. 

"Apapun penyebab ledakan, termasuk ada dan tidaknya pelanggaran SOP keamanan lokasi oleh TNI dengan keberadaan warga sipil di lokasi peledakan, kami mendesak agar dilakukan investigasi segera. Investigasi ini independen, imparsial dan menyeluruh atas tragedi ini," kata mereka. 

1. Proses pemusnahan amunisi TNI harus steril dari keberadaan warga sipil

Penampakan amunisi kedaluwarsa di Garut. (IDN Times/Istimewa)

Lebih lanjut, koalisi menyebut, secara prinsip proses pemusnahan amunisi perlu dilakukan jauh dari warga sipil dan steril. "Tidak dimungkinkan warga sipil mendekati area disposal amunisi, baik sebelum, selama dan setelah proses disposal amunisi tersebut," kata koalisi. 

Sehingga, soal keberadaan warga sipil di area pemusnahan menjadi pendorong kuat soal perlunya tim pencari fakta (TPF). Dalam insiden pada Senin kemarin, ada 13 korban yang meninggal dunia. Sebanyak sembilan korban merupakan warga sipil dan empat korban lainnya merupakan prajurit TNI Angkatan Darat (AD). 

"Ini adalah tragedi dan harus diusut. Kegagalan mengusutnya sama saja dengan kegagalan negara untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak hidup mereka yang menjadi korban," tutur koalisi. 

2. Komisi I DPR didesak untuk membentuk tim pencari fakta yang independen

Sejumlah polisi berjaga saat berlangsung unjuk rasa terkait Revisi UU TNI di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)

Koalisi masyarakat sipil juga mendesak komisi I DPR RI untuk segera membentuk tim pencari fakta (TPF) dan menyelidiki tragedi ini. Selain agar keluarga klorban mendapatkan hak untuk tahu apa yang terjadi juga karena perlu ada pengawasan ketat atas peralatan mematikan seperti senjata, amunisi maupun bahan peledak di lingkungan TNI. 

Tanpa adanya pengawasan yang ketat dan evaluasi yang menyeluruh dari parlemen, kejadian mematikan seperti hari Senin lalu bperotensi terulang kembali. "Selain itu, tiap proses penanganan amunisi dari produksi, distribusi, hingga pemusnahan harus patuh pada standar keamanan dan ditangani oleh mereka yang profesional," kata koalisi. 

Selain itu, koalisi masyarakat sipil juga mendesak tim investigasi juga melibatkan lembaga independen yang berasal dari luar TNI. "Kepolisian dan Komnas HAM juga memiliki kewajiban menginvestigasi kasus ini karena banyaknya korban warga sipil dan kejadian yang berada di luar zona militer," tutur mereka. 

3. Keluarga protes korban disebut memulung sisa amunisi TNI

Suasana salah satu rumah duka korban di Kampung Cimerak, Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut (IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Penjelasan dari pihak Mabes TNI yang menuding warga sipil ada di lokasi pemusnahan karena hendak memulung sisa amunisi, membuat marah keluarga korban. Kemarahan itu terungkap dalam kunjungan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ke RSUD Pameungpeuk, Kabupaten Garut.

Seorang perempuan remaja marah ketika ayahnya disebut tewas di lokasi karena hendak memulung amunisi TNI. Ayah korban diminta oleh TNI untuk membantu pemusnahan amunisi.

"Saya meminta pertanggungjawabannya. Karena bapak saya di situ bukan seperti yang orang-orang pikirin. Bapak saya bukan mulung! Bapak saya di situ kerja sama tentara!" kata perempuan remaja yang mengenakan jilbab hitam sambil berurai air mata, di depan RSUD Pameungpeuk. 

Anak korban mengetahui hal itu lantaran sudah sejak sekolah, menyaksikan ayahnya membantu TNI. "Sudah lama bapak saya (kerja sama TNI). Sudah ke mana-mana, sudah ke Manado, Makassar, Bali, Jakarta, Mabes Polri," kata anak korban.

Dia juga membantah ayahnya masuk ke lokasi pemushanan amunisi di Desa Sagara secara ilegal. Karena keberadaan ayahnya di lokasi pemusnahan atas izin dari TNI.

"Katanya banyak yang bilang kalau bapak saya ke situ nyelonong, ngelawan TNI, itu gak benar!" kata anak korban.

Ada pula Agus Setiawan yang mengaku dibayar Rp150 ribu per hari untuk membantu TNI melakukan pemusnahan amunisi kedaluwarsa di Garut. Agus menyampaikan hal itu ketika rumahnya dikunjungi oleh Gubernur Dedi Mulyadi. 

"Kami jadi buruh, Pak. Buruh buka selongsong, per hari dibayar Rp 150 ribu," kata Agus. 

Dia mengatakan tugasnya membantu untuk melepas selongsong amunisi milik TNI. Durasi mereka bekerja menyesuaikan amunisi yang akan dimusnahkan TNI.

Pekerjaan itu pun bisa berlangsung selama belasan hari. Selain mendapat upah harian, Agus mengaku juga biasa menjual rongsokan dari sisa-sisa pemusnahan amunisi.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Sunariyah
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us