Kantor Pusat PLN (Dok. PLN)
Menurut Riden, ketika kita bicara bagaimana listrik bisa dinikmati rakyat Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilewati, yaitu mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi, hingga retail atau penjualan. Oleh karena itu, penguasaan negara harus mencakup semua tahapan tersebut.
"Tetapi sayangnya, saat ini telah terjadi privatisasi, karena tahapan tersebut diserahkan ke pihak swasta. Terutama di pembangkitan dan retail," ujar dia.
Riden menuturkan, seharusnya di semua tahapan tersebut dikuasai oleh negara melalui perusahaan BUMN, dalam hal ini PT PLN (Persero) yang diberi mandat berdasarkan undang-undang untuk mengelola sektor ketenagalistrikan.
"Dengan kata lain tidak boleh diserahkan kepada perusahaan swasta yang pada akhirnya menyebabkan diskriminasi dan pelanggaran terhadap hubungan kerja serta tingkat kesejahteraan terhadap Tenaga Alih Daya (TAD). Dalam jangka panjang, privatisasi akan berdampak pada mahalnya tarif listrik yang merugikan masyarakat luas," ucap dia.
Dia menegaskan, swastanisasi sektor ketenagalistrikan bukan saja pelanggaran terhadap konstitusi, tetapi juga menyebabkan ketidakpastian terhadap status hubungan kerja, menurunnya kesejahteraan para buruh, dan perlindungan K3 yang bekerja di sektor ketenagalistrikan.
"Khususnya mereka yang bekerja sebagai Tenaga Alih Daya (TAD) di pelayanan handal (YANDAL) yang dulunya bernama Pelayanan Teknik (YANTEK); seperti Penanganan Gangguan Alat Pengukur & Pembatas (APP), Penanganan Gangguan Sambungan Rumah (SR), Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Rendah (JTR), Penanganan Gangguan Gardu Distribusi, Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Menengah (JTM), hingga Penanganan Gangguan Saluran Kabel Tegangan Menengah (SKTM)," kata Riden.