JAKARTA, Indonesia—Dua dekade yang lalu, tepatnya pada 21 Mei 2018, Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI. Lewat pidato singkat di Istana Negara sekira pukul 09.00 WIB, pria yang kerap dijuluki The Smiling General itu menegaskan tak mungkin lagi meneruskan jabatannya di tengah kencangnya aspirasi masyarakat yang menuntut reformasi dan pergantian rezim.
“Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia,” ujar Soeharto ketika itu.
Usai lengser keprabon, kekuatan politik Soeharto dan keluarga Cendana meredup. Sejumlah badai politik melanda trah Cendana dan Partai Golkar selaku partai yang dibesarkan oleh Orde Baru pimpinan Soeharto. Golkar bahkan sempat terancam bubar jika tidak ‘diselamatkan’ oleh mantan Ketua DPR RI Akbar Tanjung. Golkar bisa selamat karena mengambil jarak dengan keluarga Cendana.
Di sisi lain, pasca-Soeharto, kekuatan politik keluarga Cendana terus digembosi. Di jalur hukum, Soeharto terus diburu lewat kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto dan keluarganya. Kasus-kasus dugaan korupsi yang terkait Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto juga didorong agar masuk ke meja hijau. Ketika itu, putra sulung Soeharto itu ditenggarai terlibat sejumlah praktik lancung, salah satunya kasus korupsi Bulog.
Namun bukan kasus korupsi yang akhirnya menjerat Tommy. Pada 2002, Tommy dijebloskan ke penjara karena terbukti mendalangi pembunuhan terhadap hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Sedangkan Soeharto yang sakit-sakitan praktis hanya menunggu ajal menjemputnya tanpa bisa mempertahankan kekuatan politiknya yang terus tergerus. Pada Januari 2008, Soeharto menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah lama didera penyakit.