Ilustrasi media sosial (/IDN Times/Sukma Shakti)
Di era media sosial dan teknologi, David M. Howard dalam tulisannya berjudul "Can Democracy Withstand the Cyber Age?" (2017) menitikberatkan dua hal yang menentukan kualitas demokrasi, yaitu kebebasan berekspresi dan distribusi informasi.
Dosen di University of Texas School of Law itu menegaskan, demokrasi memang bukan sistem yang sempurna, tapi demokrasi menjamin setiap warga negara terlibat dalam mengambil keputusan. Lewat media sosial, proses diskusi antara warga dengan pemerintah semakin mudah dan suara minoritas juga semakin didengar.
Sayangnya, Indonesia memiliki noktah hitam pada dua hal itu. SETARA Institute 2019 mencatat, dari skala 1 sampai 7, kebebasan berekspresi mendapat nilai 1,9. Angka itu merupakan yang terendah dari 11 indikator untuk mengukur HAM di periode pertama Jokowi.
Ada 10 indikator yang digunakan untuk menilai kebebasan berekspresi. Yang paling rendah adalah penjaminan ekspresi melalui media daring dan kriminalisasi berdasarkan UU ITE, dengan nilai 1,3. Catatan ini belum termasuk kriminalisasi dan aksi kekerasan terhadap jurnalis yang belakangan semakin marak terjadi.
SAFEnet Indonesia mencatat ada 381 kasus yang menjerat warga negara dengan UU ITE sepanjang 2011-2019. Sementara, data Mahkamah Agung yang dikutip oleh SAFEnet menunjukkan, ada 508 putusan pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018.
Satu catatan yang meresahkan mereka adalah kasus dengan UU ITE paling banyak terjadi pada 2018, yaitu 292 kasus. Bahkan lebih banyak dari total periode 2011-2017, yaitu 216 kasus. Pun kasus cuitan guyonan Gusdur oleh Ismail Ahmad yang dinilai menyinggung kepolisian, tidak kalah meresahkan.
Setelah dipanggil aparat keamanan Kepulauan Sula, Ismail mengatakan, esensi dari pemanggilan ditunjukkan kepada seluruh warga negara agar lebih bijak bermedia sosial. “Buat jadi pelajaran saya. Buat saya dan semua kalau posting itu kutip saja, saya rasa belum aman,” kata Ismail sebagaimana dikutip dari Tirto, Rabu (17/6).
Kebebasan berekspresi di masa kini turut dibayang-bayangi fenomena doxing atau pembongkaran identitas seseorang. Bahkan tidak sedikit juga yang difintah. Seseorang yang menyinggung jagoan politiknya akan diserang oleh para pembelanya. Biasanya, mereka akan menggunakan narasi Ad hominem, yaitu mengkritik individu tanpa memperhatikan substansi kritiknya.
Kasus yang belum lama terjadi adalah fitnah terhadap komika Bintang Emon. Setelah video kritiknya yang dibalut komedi viral di dunia maya, Bintang ramai-ramai diserang oleh akun anonim. Meme yang beredar di media sosial adalah Bintang dituduh menggunakan narkoba.
Menurut dosen Universitas Pembangunan Negeri (UPN) Veteran Jakarta, Sri Lestari Wahyuningroem, fenomena seperti doxing terjadi karena pembelahan sosial dan politik telah melahirkan fenomena idolatry (mengidolakan tokoh secara ekstrem).
“Ada persoalan dalam partisipasi politik di Indonesia. Ada satu kultur baru, yaitu bagaimana kita mengidolakan elite dan ini satu kultur politik yang betul-betul menguat di 2019. Dan gejala-gejala baru ini elite-elite oligarki yang membuat,” kata Sri dalam webinar yang diselenggarakan oleh YLBHI, Minggu (14/6) lalu.
Terkait distribusi informasi, Indonesia sekurangnya telah menerapkan dua kali pelambatan internet, yaitu ketika kerusuhan di Papua dan kerusuhan menolak hasil Pemilu di DKI Jakarta.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi AJI, Ika Ningtyas, khawatir pendekatan seperti ini akan terus dilakukan pemerintah apabila kerusuhan terulang kembali. Dalam dua kasus di atas, dalih pemerintah sama, yaitu membatasi internet agar masyarakat tidak terprovokasi dengan hoaks. Faktanya, setelah internet diperlambat, kasus tidak meredam keesokan harinya.
“Pada 2016, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengecam negara yang melarang akses internet. Tren pemblokiran memang banyak dipakai dan Indonesia menduplikasinya. Kami melihat kebijakan ini akan terus dipakai oleh pemerintah apabila tidak ada koreksi dari masyarakat sipil,” kata Ika melalui webinar yang diselenggarakan oleh AJI, Selasa (9/6).
Penelitian bertajuk Computanial Propaganda Research yang dikeluarkan oleh Oxford University pada 2019 silam menunjukkan, ada upaya sistematis yang dilakukan oleh partai politik atau politikus menggunakan cyber troops atau buzzer untuk mempengaruhi opini publik.
Di negara otoriter, pemerintah memiliki kuasa penuh atas akses informasi, sehingga buzzer digunakan untuk membela kepentingan penguasa. Sementara, di negara demokrasi, buzzer dimanfaatkan untuk memanipulasi opini publik yang mana hal tersebut melanggar kebebasan HAM untuk berpikir.
Kehadiran buzzer atau pendengung berbahaya bagi demokrasi karena tujuan mereka adalah trending topic, sehingga informasi yang diunggah masyarakat bisa tenggelam dan diabaikan. Fungsi media sosial yang seharusnya menyuarakan kelompok minoritas malah tidak berjalan.
Lebih berbahaya lagi, menurut pengamat media sosial Ismail Fahmi, buzzer berbahaya karena mereka bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan ketika pemerintah berasumsi apa yang viral di media sosial merupakan apa yang diinginkan masyarakat.
Pemerintah sudah berkali-kali mengklarifikasi bila mereka tidak menggunakan jasa buzzer. Pemerintah juga sering mengingatkan agar buzzer tidak mencemari atmosfer demokrasi.
Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Fahmi menyampaikan, pernyataan pemerintah harus diimbangi kebijakan konkret. Jika tidak, maka pemerintah bisa dikatakan sebagai pihak yang mengambil keuntungan dari iklim demokrasi yang tidak sehat.
Menyambung hasil penelitian Howard, ketika negara membatasi kebebasan berekspresi dan distribusi informasi, maka korban pertamanya adalah demokrasi dan negara itu sendiri. Sebab, masyarakat tidak bisa memberikan memberikan masukan terbaiknya kepada pemerintah karena informasi yang mereka terima terbatas, atau banyak yang sudah dimanipulasi.
Tragedi Hukum dan Demokrasi di Era Jokowi