Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kepala BGN, Dadan Hindayana dan Menko Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimmin Iskandar kala meninjau salah satu dapur MBG di Sleman.. (IDN Times/Tunggul Damarjati)
Kepala BGN, Dadan Hindayana dan Menko Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimmin Iskandar kala meninjau salah satu dapur MBG di Sleman.. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Intinya sih...

  • Pemilik modal memperbanyak titik penyaluran MBG

  • Harga MBG sampai ke pelaksana per porsi hanya Rp8 ribu

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Transparansi Tender Indonesia (TTI) mengungkap hasil investigasi tentang pelaksanaan dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dibangun Badan Gizi Nasional (BGN). Hasilnya, hal ini diduga membuka jalan bagi konglomerasi yayasan yang beroperasi seperti perusahaan.

Ketua TTI, Nasruddin Bahar, mengatakan, dalam praktiknya, yayasan hanya dijadikan kedok padahal yang bermain sebenarnya adalah para pemilik modal atau investor.

“Yayasan digunakan sebagai bendera saja dengan menyisihkan fee untuk yayasan sebesar Rp2.000 per porsi,” kata Nasruddin Bahar kepada IDN Times, Senin (15/9/2025).

1. Pemilik modal memperbanyak titik penyaluran MBG

Presiden Prabowo mengajak Bill Gates meninjau program MBG di SD N Jati 03 Pulogadung pada Rabu (7/5/2025). (dok. Tim Komunikasi Prabowo)

Nasruddin menilai, terdapat kesalahan mendasar dalam regulasi dan implementasi program. Uang negara melalui APBN justru lebih banyak mengalir ke konglomerasi investor melalui yayasan-yayasan dapur mandiri.

Dalam pelaksanaan di lapangan, kata dia, program dapur MBG justru menjadi ajang bisnis pemilik modal. Modusnya, para pemilik modal besar memperbanyak titik penyaluran MBG.

“Kontrak lima tahun itu nilainya jauh lebih besar dibandingkan pembangunan fisik yang bekerja sama dengan pemerintah daerah melalui lahan pinjam pakai,” kata dia.

Bahar mengatakan, secara hukum, yayasan bersifat nirlaba sesuai UU Nomor 16 Tahun 2001 Jo UU Nomor 28 Tahun 2004. Namun dalam praktiknya, proyek dapur MBG justru dijalankan 90 persen dengan skema bisnis yayasan.

Polanya sederhana, modal awal pembangunan ditukar dengan nilai kontrak pembayaran per porsi dikalikan jumlah penerima manfaat. Dengan skema ini, APBN yang seharusnya digunakan untuk membangun dapur fisik justru dialihkan ke kontrak jangka panjang.

“Pemerintah daerah sebenarnya sudah menyediakan lahan dengan skema pinjam pakai, tetapi hingga kini tidak ada realisasi pembangunan dapur BGN (MBG) yang dibiayai APBN lewat tender terbuka yang justru berjalan adalah kontrak yayasan yang penuh nuansa bisnis,” ujar Nasruddin.

2. Harga MBG sampai ke pelaksana per porsi hanya Rp8 ribu

Dapur MBG Ilir Timur III Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

TTI mengungkap adanya celah gratifikasi dalam pengelolaan biaya per porsi. Kontribusi seperti biaya sewa Rp2.000 per porsi dilebur ke dalam total biaya Rp15 ribu.

“Dalam kontrak, BGN bayar Rp15 ribu tapi sampai ke bawah (pelaksana) hanya Rp8 ribu,” ujar dia.

Menurut dia, ini pola yang menguntungkan pengurus yayasan dan para pemodal. Uang rakyat semestinya dialokasikan untuk gizi justru mengalir sebagai kompensasi bisnis.

“Banyak pemodal menanamkan saham di berbagai yayasan sebagai bentuk investasi. Padahal, UU Yayasan secara tegas melarang praktik pembagian keuntungan. Fakta ini menandai terjadinya penyimpangan regulasi,” ujar dia.

3. Melanggar prinsip transparansi

Menu MBG di SDN 129 Palembang (IDN Times)

Menurut TTI, penyimpangan ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan berpotensi menjadi korupsi berjamaah. APBN yang seharusnya untuk pembangunan fisik melalui tender terbuka malah dialihkan ke kontrak yayasan.

“Ini membuka ruang markup biaya, persekongkolan, dan tentu saja melanggar prinsip transparansi,” kata Nasruddin.

Kegagalan menyerap anggaran pembangunan fisik juga menunjukkan lemahnya pengendalian pemerintah pusat terhadap regulasi pelaksanaan program.

“Di sinilah letak kesalahan regulasi program kerja Presiden Prabowo. Landasan hukum tidak tegas membatasi peran yayasan sehingga investor bisa masuk dan memanfaatkan celah,” kata dia.

Pada akhirnya, ujar Nasruddin, masyarakat penerima manfaat hanya dijadikan tameng legitimasi. Mereka ditampilkan seolah-olah mendapat keuntungan, padahal uang besar justru mengalir ke konglomerasi yayasan.

“Program yang semestinya memperkuat ketahanan gizi dan ekonomi rakyat, berubah menjadi ladang bisnis,” kata dia.

4. Regulasi yang lemah membuka jalan yayasan jadi mitra utama

Ilustrasi: Pengolahan MBG di SPPG Gagaksipat, Boyolali. (IDN Times/Larasati Rey)

Menurut TTI, inti persoalan ada pada desain regulasi yang lemah. Pemerintah membuka ruang terlalu lebar bagi yayasan untuk menjadi mitra utama, tanpa memperkuat mekanisme tender terbuka yang transparan.

“Akibatnya, yayasan yang seharusnya bersifat sosial berubah fungsi menjadi instrumen investasi. Regulasi program kerja Presiden Prabowo gagal mengantisipasi praktik penyalahgunaan ini,” kata Nasruddin.

TTI mendesak agar pemerintah segera melakukan audit menyeluruh terhadap skema kemitraan yayasan dalam dapur MBG, serta mengembalikan jalur pembangunan ke mekanisme APBN berbasis tender terbuka, transparan, dan akuntabel.

“Program Dapur BGN (MBG) yang digadang sebagai ikon kerja Prabowo justru menyingkap masalah serius. Regulasi longgar, gratifikasi terselubung, dan konglomerasi yayasan. Jika tidak segera diperbaiki, program yang seharusnya untuk rakyat akan berakhir sebagai mesin bisnis investor dengan legitimasi sosial semata,” kata dia.

5. BGN cukup bermitra dengan Koperasi Merah Putih

Menu MBG di SDN 129 Palembang (Dok. IDN Times)

Seharusnya, kata Nasruddin, BGN bekerjasama dengan koperasi desa yang sudah berdiri di seluruh Indonesia. BGN langsung berkontrak dengan koperasi sehingga anggaran per porsi Rp15 ribu masuk ke kas.

“BGN tidak perlu membangun dapur yang menghabiskan uang ratusan triliun. BGN cukup bermitra dengan Koperasi Merah Putih sehingga ekonomi masyarakat desa ikut tergerak dari rantai pasok program makanan bergizi gratis,” ujar dia.

Atas temuan ini, TTI akan melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Saat ini kita masih mengumpulkan bukti di lapangan sebelum melaporkannya ke KPK,” kata Nasruddin.

Editorial Team