Hari-Hari Ketika Ekonomi RI Dalam Tekanan

Rupiah gonjang-ganjing, defisit naik

Jakarta, IDN Times - “Secara umum kondisi kita memang tidak bagus,” kata Suryani Motik, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), ketika dikontak IDN Times, Rabu (15/8/2018). Yani menanggapi tulisan opini ekonom Muhammad Chatib Basri yang dimuat di koran Kompas di hari yang sama. 

Dalam tulisan berjudul “Waspada” itu Chatib Basri yang juga mantan menteri keuangan di periode ke-2 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan situasi ekonomi yang tengah dialami Indonesia saat ini.

“Cadangan Bank Indonesia turun. Kita butuh Dolar AS, dan sumbernya hanya dari investasi dan ekspor. Sayangnya, ekspor kita menurun. Investor melihat gejala ini dan melakukan aksi jual di pasar modal,” kata Yani, yang juga salah satu Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin).

Sebenarnya di bulan Juli 2018, ekspor yang sempat turun di bulan sebelumnya, kembali naik. Menurut data Badan Pusat Statistik, ekspor Juli tercatat US$16,24 miliar, naik 19,33 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Realisasi investasi di kuartal II 2018 memang turun dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Pada kuartal I 20018 investasi senilai Rp 185,3 triliun, pada kuartal II menjadi Rp 176,3 triliun atau turun 4,9 persen.

Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Thomas T Lembong mengatakan, penyebabnya adalah gejolak nilai tukar Rupiah yang membuat investor menahan diri. “Ini sikap wait and see yang terjadi saat memasuki tahun politik yang diamplifikasikan dengan gejolak Rupiah dan pasar modal dunia khususnya di negara berkembang,” kata Tom di kantor BKPM, Senin (13/8/2018).

Menteri kabinet kerja di Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumpulkan sejumlah pengusaha pengurus Kadin di Hotel Westin, Jakarta (15/8/2018). Yani mengatakan pertemuan ini adalah lanjutan dari pertemuan pengusaha dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor bulan lalu.

Dalam pertemuan yang berlangsung Kamis (26/7/2018) itu Jokowi mengundang 40 pengusaha yang memiliki bisnis berorientasi ekspor untuk membahas kondisi global yang mengalami ketidakpastian dan kecenderungan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.

Awal pekan ini nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sempat menyentuh Rp14.600.

Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada menilai pelemahan Rupiah terjadi karena dua faktor. Pertama, data ekonomi dalam negeri yang dinilai kurang baik. 

Sementara di sisi lain, sentimen mengenai gejolak ekonomi Turki turut menjadi faktor yang membuat sejumlah mata uang di dunia, termasuk Rupiah mengalami tekanan terhadap Dolar AS.

 "Diketahui, Turki memiliki banyak eksposur utang terhadap Eropa. Ketika ekonomi Turki di ambang krisis, maka akan mempengaruhi ekonomi Eropa dan dapat berdampak ke negara di kawasan Asia," katanya, sebagaimana dikutip laman Antara.

Baca Juga: Melemah di Senin Pagi, Rupiah Tembus Rp14.600/Dolar

1. Pengusaha diminta membawa pulang ke Indonesia hasil ekspornya

Hari-Hari Ketika Ekonomi RI Dalam TekananPresiden Joko Widodo bertemu pengusaha Kadin (BPMI via Setkab.go.id )

Menurut Yani Motik, dalam pertemuan dengan pengusaha, pemerintah meminta pengusaha membawa pulang hasil ekspornya.  “Menko Darmin, bocor 15 persen,” ujar Yani. Dalam pertemuan dibahas juga aksi Negara Paman Sam menaikkan suku bunga The Fed, bank sentra AS. “Pasti berpengaruh ke saham investor,” ujar Yani.

Sebelumnya, usai pertemuan di Istana Bogor, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memastikan belum ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengundang dan menahan devisa dalam jangka pendek guna mengatasi gejolak nilai tukar Rupiah.

Baca Juga: Wacana Menahan Devisa di Tengah Gejolak Rupiah

2. Pengusaha meminta pemerintah perlu merevisi UU Ketenagakerjaan

Hari-Hari Ketika Ekonomi RI Dalam TekananANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Pengusaha Shinta Kamdani mengatakan pihaknya sudah sering menyampaikan perlunya pemerintah mewaspadai defisit transaksi berjalan. “Perbaikan defisit transaksi berjalan adalah dengan peningkatan produktivitas dan daya saing, bukan dengan membatasi impor,” kata Shinta, kepada IDN Times, Rabu (15/9/2018).

Menurut Shinta, yang juga pimpinan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), sekitar 90 persen dari impor yang dilakukan pengusaha adalah barang modal dan bahan baku. “Salah satu solusi cepat meningkatkan ekspor adalah merevisi UU Ketenagakerjaan, sehingga sektor manufaktur padat karya bisa bergerak.

Salah satu contoh masalah yang menjadi polemik di kalangan pengusaha dalam aturan ketenagakerjaan itu ialah ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk membayarkan pesangon bagi para pekerjanya.

Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani pernah mengatakan, pengusaha menilai kewajiban membayarkan pensiun secara kumulatif dan pesangon bagi pekerja saat pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat memasuki usia pensiun akan membebani pengusaha. Selain dibebani dengan kewajiban pembayaran uang pesangon, pengusaha juga dibebani pembayaran uang penghargaan masa kerja bagi pekerja yang memenuhi syarat.

3. Ekonomi Indonesia tengah menghadapi hari-hari dalam tekanan

Hari-Hari Ketika Ekonomi RI Dalam TekananRapat Terbatas penguatan cadangan devisa di Kantor Presiden, 14/8 (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Chatib Basri dalam tulisannya mengingatkan bahwa situasi ekonomi Indonesia tengah menghadapi tekanan. “Krisis keuangan global 2008-2009 telah memaksa Bank Sentral AS (The Fed) melakukan quantitative easing dengan memompa likuiditas. Akibatnya tingkat bunga d AS mencapai tingkat terendah (0,25 persen),” ujar Chatib.

Kondisi ini memicu arus modal masuk ke emerging markets, termasuk Indonesia. “Investor mengejar imbal di pasar berkembang. Tetapi, diingatkan oleh Chatib, saat perekonomian AS membaik The Fed melakukan normalisasi dengan menaikkan tingkat bunga acuan ke kisaran 3-3,5 persen seperti sebelum krisis. Saat ini tingkat bunga The Fed 2 persen.

Chatib mengingatkan ancaman perang dagang AS-Tiongkok yang berpengaruh terhadap Indonesia. “Prospek ekspor Indonesia bisa terganggu, apalagi dengan pelemahan mata uang Renminbi,” tulis Chatib.

Dampaknya akan terlihat pada akhir 2018 dan 2019. “Selain itu tekanan inflasi akan mulai meningkat di akhir tahun akibat kenaikan harga barang yang diimpor. Dalam konteks ini pengusaha harus memilih: membebankan kenaikan harga ke konsumen, menahan harga –yang artinya mengurangi margin keuntungan, atau kombinasi keduanya. Jadi dunia usaha dalam tekanan,” demikian pandangan Chatib.

4. Waspadai defisit transaksi berjalan

Hari-Hari Ketika Ekonomi RI Dalam TekananIlustrasi ekspor impor (Pixabay/Echosystem)

Chatib Basri mengingatkan perlunya memperbaiki defisit transaksi berjalan. Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan pada tahun ini akan melonjak tajam dibanding tahun lalu. BI memperkirakan tahun ini dapat menyentuh hingga mencapai 3 persen.

Menurut Chatib, defisit transaksi berjalan yang tidak berlebihan sebenarnya tak membahayakan asal bisa dibiayai dengan investasi asing langsung di sektor ekspor, terutama manufaktur, dan bukannya investasi portofolio.

Senada dengan keluhan pengusaha, Chatib menulis bahwa perbaikan defisit transaksi berjalan jangan dengan menahan impor, karena 90 persen impor barang modal dan bahan baku. “Jika impor mendadak ditahan, maka proses produksi termasuk ekspor akan terganggu. Perekonomian justru terpukul,” tulisnya.

Dia juga mengingatkan, peningkatan produktivitas butuh waktu, begitu juga industri subtitusi impor. “Salah satu solusi cepat meningkatkan ekspor adalah merevisi UU Ketenagakerjaan agar sektor ekspor manufaktur padat karya kembali bergerak,” ujar Chatib.

Dia juga menawarkan solusi jangka pendek dengan membuat prioritas proyek infrastruktur.

Hal lain, menurut data BI salah satu sumber membengkaknya defisit transaksi berjalan di triwulan II tahun 2018 adalah migas. “Defisit di neraca migas perlu dikurangi dengan menaikkan harga BBM,” kata Chatib.

Menurut dia, pengalaman menunjukkan subsidi mendorong penyelundupan akibat disparitas harga. Subsidi BBM juga mendorong migrasi dari BBM nonsubsidi ke subsidi. Akibatnya impor melonjak. “Kenaikan harga BBM akan mengurangi penyimpangan ini. Kenaikan BBM dan tarif listrik juga akan mengurangi beban Pertamina dan PLN.

Masalahnya, dalam tahun politik seperti ini, menaikkan harga BBM biasanya dijauhi karena dianggap tidak populis.

Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM), melakukan langkah-langkah untuk membantu mengatasi masalah defisit transaksi berjalan dan pelemahan Rupiah.

Diantaranya dengan memerintahkan Pertamina membeli semua lifting minya yang diproduksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), untuk kurangi impor.

Baca Juga: Juli 2018, Neraca Dagang Indonesia Defisit US$2,03 Miliar

Baca Juga: Rupiah Melemah, Ini 5 Langkah yang Diambil ESDM

5. Upaya stabilisasi Rupiah, BI naikkan suku bunga acuan ke tingkat 5,5 persen

Hari-Hari Ketika Ekonomi RI Dalam TekananANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Dalam Rapat Dewan Gubernur BI yang berlangsung Rabu (15/8/2018), upaya stabilisasi Rupiah jadi agenda utama. BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan BI 7-day (Reverse) Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) ke level 5,50 persen.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kenaikan suku bunga 7-DRRR sejalan dengan upaya mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik serta mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas aman.

Keputusan ini diharapkan bisa menarik lebih banyak arus masuk dana asing agar pasokan dolar bertambah guna membiayai defisit.  

“Kami mendukung keseriusan pemerintah untuk menurunkan defsit transaksi berjalan dengan mendorong ekspor dan menurunkan impor termasuk penundaan proyek pemerintah yang memiliki kandungan impor tinggi,” kata Perry.

Saat ini posisi defisit transaksi berjalan mencapai US$ 8 miliar, setara dengan 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Angkanya terburuk sejak tahun 2014 yang pernah menyentuh 3,1 persen.

Ekonom dari Institut Pertanian Bogor, Bayu Krisnamurthi, sepakat dengan peringatan yang ditulis Chatib Basri. “Semua yang ditulis benar, situasinya demikian. Dan kondisi ini sudah dibahas bersama dengan ekonom di pemerintahan,” ujar Bayu, yang juga mantan Wakil Menteri Perdagangan di era Presiden SBY.

Dunia usaha tentu menunggu sikap pemerintah yang akan disampaikan dalam Pidato Kenegaraan Pengantar Nota Keuangan. Pidato ini biasanya disampaikan Presiden setiap tanggal 16 Agustus.

Stay tuned, dan kencangkan ikat pinggang.

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya