Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBB

Wawancara Suara Millennial

Jakarta, IDN Times – Jarum jam sudah menunjukkan waktu pukul 22.55 WIB. Letnan Jenderal TNI Doni Monardo masih sibuk mengoreksi draf Surat Edaran soal larangan mudik. Dia melakukan koordinasi, menerima telepon dari beberapa pejabat termasuk menteri.

"Setuju Pak Menteri, insentif untuk dokter dan tenaga kesehatan harus segera kita sampaikan. Hidup kita tergantung kepada mereka," ujar Doni, saat menerima telepon dari seorang anggota kabinet Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

Di sela koreksi surat dan dokumen, masuk telepon penting. Sang cucu yang berusia dua tahun, kangen bertemu "Atuk", panggilan sayang ke Doni, yang asli Minang, tapi lahir di Cimahi itu.

"Wah, Fazza sudah pintar ya, nanti kalau sudah bisa ketemu kita jalan-jalan ya. Maaf ya, Atuk belum bisa bertemu Fazza," ujar Doni sambil menatap layar telepon pintarnya. Mereka melakukan video call, dan bercanda sejenak. Wajah Doni yang sudah seharian berkegiatan tampak semringah. "Tiap hari begini, benar-benar menghibur. Tentu saya kangen keluarga. Tapi pekerjaan ini butuh fokus penuh," kata Doni.

Lantai 10 Gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di kawasan Jalan Pramuka, Jakarta itu jadi saksi bisu kerja tim BNPB yang dipimpin Letnan Jenderal TNI Doni Monardo. Doni, yang tepat berusia 56 tahun pada 10 Mei 2020 ini sudah hampir delapan minggu berkantor dan tidur di sini.

Selasa malam, 5 Mei 2020, IDN Times menyambangi Doni, yang merangkap jabatan sebagai ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sejak 13 Maret 2020. Awalnya, Doni bekerja berdasarkan Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas COVID-19 ini.

Selang seminggu, pada tanggal 20 Maret 2020, Presiden Jokowi menerbitkan Keppres No 9/2020, perubahan atas keppres sebelumnya. Keppres terbaru memberikan penguatan kepada Gugus Tugas, dengan pelibatan kementerian dan lembaga.

Setidaknya ada tiga hal yang memperkuat, yaitu sistem organisasi dengan struktur tim pengarah sampai ke daerah, modal finansial dari APBN, dan mekanisme reaksi cepat melalui percepatan impor barang terutama alat kesehatan untuk penanganan COVID-19.

Doni matang dengan pengalaman lapangan dan teritorial. Lulusan Akademi Militer tahun 1985 ini pernah menjabat Komandan Pasukan Pengamanan Presiden di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Komandan Jenderal Pasukan Khusus (Kopassus), Panglima Daerah Militer XVI/Pattimura, Pangdam III/Siliwangi, Sekretaris Dewan Ketahanan Nasional, kemudian sejak 9 Januari 2019 kepala BNPB.

Ayah Doni merupakan perwira militer juga, yaitu Letkol CPM Nasrul Saad. Dari istrinya, Santi Ariviani, Doni dikaruniai tiga anak.

Baca Juga: Ulang Tahun, Kepala BNPB Doni Monardo Dapat Kado Istimewa dari Istri

Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBBDok. Istimewa

Beberapa hari lalu Anda tampil dengan pakaian militer. Padahal sejak memimpin BNPB biasa memakai pakaian warna putih dan rompi BNPB. Ada pesan khusus yang mau disampaikan? Bagaimana evaluasi PSBB?

(Tersenyum). Ini adalah satu upaya untuk menyampaikan suatu pesan kepada kita semua, bahwa penanganan COVID-19 ini harus dibarengi dengan kesadaran untuk meningkatkan disiplin. Biasanya, hubungan dengan disiplin ini kan militer, tentara, jadi sekali-sekali boleh dong pakai baju tentara.

Memang ada juga yang minta. Yang minta bukan hanya dari para pejabat ya, tetapi juga teman-teman yang di luar, yang sudah lama sekali kenal sama saya, sudah lama tidak pernah ketemu dan melihat saya selalu menggunakan pakaian kebesaran saya begini, baju putih dengan rompi. Mereka bilang Pak Doni sekali-sekali tampil dong dengan seragam militer, kan masih aktif gitu.

Ya hari itu sempat rapat juga secara virtual dengan Presiden. Presiden oke. Soal disiplin ini, saya ingin sampaikan ya. Proses transmisi atau transformasi virus dari seseorang kepada orang lain. Setelah kita coba untuk mendalami paling tidak ada tiga bagian tubuh kita yang menjadi sumber atau tempat proses pengeluaran. Yang pertama mata, yang kedua hidung, yang ketiga adalah mulut.

Sehingga setiap kita diberikan permintaan untuk cuci tangan, maka kita harus tahu untuk apa saya harus cuci tangan. Supaya tangan kita selalu bersih dan ketika tangan kita bersih, kita menyentuh bagian sensitif dari wajah itu sudah aman gitu. Karena bisa saja kita setiap saat cuci tangan tetapi hanya dua detik saja mungkin ya memegang benda pintu, meja, handphone, lantas menyentuh tiga bagian sensitif tadi, otomatis kita sudah kemungkinan besar terpapar. Nah, ini butuh kesadaran pribadi untuk selalu mengontrol tangan kita.

Kemudian yang kedua, kita diminta untuk menggunakan masker, di sini pun kita harus tahu kenapa harus menggunakan masker. Salah satu penularan yang terjadi aerosol, dari orang yang positif COVID-19 itu dengan mudah bisa masuk ke dalam rongga mulut kita, sehingga paling tidak selain kita tidak menyentuh bagian sensitif dari wajah, harus menggunakan masker, dan satu lagi jaga jarak satu setengah meter.

Nah, ini kan harus memiliki satu tingkat kedisiplinan, sudah disiplin tinggi tetapi disiplin kolektifnya belum. Ketika kita sedang sendirian tiba-tiba ada orang lain mendekat, mungkin satu, dua, tiga, akhirnya terjadi gerombolan. Ya harus ada satu, dua orang yang mengingatkan berjarak, longgarkan. Jangan sampai ada yang menulari satu sama lainnya.

Kenapa demikian, karena justru yang berbahaya itu orang yang tidak berada di rumah sakit. Kalau orang di rumah sakit hampir pasti kita bisa menghindari mereka. Tetapi justru orang yang tanpa gejala, tidak ada indikasi ternyata sudah sebagai carrier, sebagai pembawa virus. Orang tanpa gejala saya katakan adalah silent killer. Ketika nanti mereka mendekati kelompok rentan, maka kelompok rentan ini sangat mungkin terpapar begitu.

Evaluasi PSBB? Sudah ada 4 provinsi dan 22 kabupaten kota ya.

Secara umum kita lihat ada peningkatan disiplin, semakin banyak warga yang sadar menggunakan masker, semakin banyak juga masyarakat yang berusaha tidak berdekatan satu sama lain.

Tetapi sekali lagi, penanganan disiplin ini harus selalu diingatkan, harus ada orang yang mampu menyampaikan pesan ketika di area publik. Di tempat umum pun, melihat ada sekelompok orang yang tidak mengikuti protokol kesehatan, mereka membiarkan satu sama lainnya dekat, jadi harus saling mengingatkan ya, menyampaikan pesan minta maaf, tolong jaga jarak. Kalau lagi antre di mini market, kalau ada yang dekat, tolong jaga jarak.

Ini butuh suatu keberanian juga, tidak semua orang berani mengingatkan yang lainnya, bisa saja nanti diingatkan malah marah. Termasuk juga menggunakan masker dan sekarang ini mungkin masker sudah tidak seperti beberapa bulan yang lalu ya, sulit dan langka.

Sekarang sudah banyak yang menjual masker dan sebagaimana yang sudah kita ketahui juga, menggunakan masker tidak harus masker yang berasal dari pabrikan, dari UMKM juga banyak yang bisa digunakan.

Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBBDoni Monardo Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (IDN Times/Fiqih Damar Jati)

Persentase pencapaian?

Ada peningkatan tetapi kita berharap bahwa kesadaran ini semakin tinggi dan tidak hanya terjadi di tempat-tempat tertentu, tetapi di seluruh wilayah. Kita tidak tahu di antara masyarakat yang berada di suatu kawasan, mungkin merasa selamanya aman-aman saja, tidak ada yang terpapar virus, tidak ada yang menjadi korban, tetapi belum tentu daerah ini aman.

Bisa saja di antara mereka berada di suatu tempat atau sedang melakukan aktivitas di tempat lain, satu hari, dua hari, hari ketiga bisa jadi dia terpapar virus. Lantas di komunitas tersebut ada orang yang kelompok rentan tadi. Jadi saya sering mengatakan, yang pertama itu kelompok rentan adalah hipertensi, yang kedua, diabetes, yang ketiga jantung, yang keempat asma.

Dan kita lihat dari data-data yang ada di dalam apa namanya, website COVID19.go.id, itu bisa ketahuan presentase terbesar (yang terinfeksi), jadi kita harus sering mengatakan dan mengingatkan kelompok rentan untuk sementara jangan dulu dekat dengan anak muda.

Anak muda ini berdasarkan sejumlah peneliti pakar epidemiologi adalah kelompok yang paling berbahaya. Mereka sehat, tidak terlihat ada gejala sebenarnya mereka sudah positif COVID-19, mereka sudah carrier. Sekarang ini Gugus Tugas atas perintah Bapak Presiden telah mendatangkan lebih dari satu juta reagen untuk PCR tes, dan di sinilah kita harus menjaring sebanyak mungkin ODP dan PDP, ODP terutama Orang Dalam Pemantauan. 

Sehingga mereka ditesting, saat mereka positif harus segera dilakukan isolasi.
Nah, kalau semakin banyak kita menjaring ODP dan juga termasuk PDP maka potensi menular semakin berkurang. Dan di sinilah dibutuhkan kesungguhan ketika statusnya positif COVID-19, tidak boleh ke luar rumah. Secara sadar melakukan isolasi mandiri untuk recovery kembali.

Bagaimana caranya sembuh tapi obat belum ada? Sudah banyak penjelasan dari para dokter, caranya harus cukup istirahat, makan makanan yang bergizi kemudian sedikit diimbangi olahraga, tidak boleh panik, tidak boleh stres, kemudian membuat suasana hati gembira insya Allah tidak lama akan sembuh gitu. Daya imun tubuhnya baik, bagus ya.

Bagi yang menjalankan isolasi mandiri, bagaimana memenuhi kebutuhan pokok mereka? Di beberapa negara, Korsel termasuk, kebutuhan dipenuhi pemerintah. Di Indonesia?

Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBBKepala BNPB Doni Monardo (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Jadi bisa kita lihat sekarang ini ada dua cara isolasi mandiri, yang dilakukan oleh personal, lantas isolasi mandiri yang juga dilakukan oleh pemerintah. Nah, di Jakarta sudah ada tempat seperti Wisma Atlet, di daerah itu sudah banyak kepala desa yang berinisiatif isolasi mandiri.

Tempatnya di mana? Mereka memilih berdasarkan kesepakatan dengan para perangkat desa, ada yang memilih sekolahan, ada yang memilih Balai Desa, ada juga rumah penduduk yang disiapkan untuk isolasi mandiri ini. Kalau yang isolasi mandiri yang disiapkan pemerintah, bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi mungkin tidak begitu bagus kemampuannya, maka itu semua dibiayai pemerintah.

Tetapi kalau isolasi mandiri yang disiapkan di level komunitas itu ada kepala desa yang membiayai dengan dana desa, termasuk gotong royong. Nah, di sinilah kekuatan kita, masyarakat satu sama lain saling bahu-membahu untuk membantu masyarakat yang positif COVID-19.

Di Jakarta juga sudah ada beberapa RT yang nanti mungkin Uni bisa berkomunikasi dengan camat yang ada di beberapa daerah, termasuk Sawah Besar, di mana masyarakatnya sudah positif COVID-19, lantas tetangganya itu urunan memberikan bantuan. Kekuatan kita solidaritas, gotong-royong.

Banyak tempat melakukan micro lockdown, di level komunitas kompleks, kelurahan, desa, apakah itu dibolehkan mengingat sebuah daerah untuk melakukan PSBB saja harus persetujuan dari Gugus Tugas dan menteri kesehatan, pemerintah pusat?

Ya selama tidak mengganggu aktivitas transportasi yang lain saya rasa gak ada masalah toh kalau di tingkat RT mereka melakukan isolasi mandiri, tidak ada masalah. Kecuali mereka menutup jalan untuk menuju ke kecamatan lain, apalagi jalan antar kabupaten, apalagi antar provinsi, misalnya. Itu gak boleh, pasti akan diberikan peringatan oleh aparat keamanan.

Soal tes PCR, ada rencana peralihan alat tes cepat molekuler TBC bernama Gene Xpert yang diproduksi untuk COVID-19, sudah sejauh mana itu prosesnya? Bagaimana dengan kondisi RS kita? Kapan bisa tes 10 ribu per hari?

Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBBDoni Monardo Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (IDN Times/Fiqih Damar Jati)

Yang begini saya gak hafal persis ya tapi saya bisa berikan gambaran, di Indonesia ini kita memiliki paling tidak tiga jenis alat untuk mengetahui cara seseorang terpapar COVID-19 atau tidak. Yang pertama menggunakan PCR dengan swab. Kedua dengan Gene Xpert yang tadi, yang ketiga ada Abbots.

Saya kebetulan bukan dokter, bukan ahli laboratorium, jadi saya hanya tahu tiga poin itu. Sekarang sudah bisa kita datangkan reagen untuk PCR test. Jumlahnya telah mencapai 1 juta unit-lah, kemudian akan datang untuk Gene Xpert, serta untuk Abbots juga. Jadi beberapa puskesmas yang dulu pernah punya alat untuk deteksi TBC tadi itu bisa dioptimalkan.

Jadi, mengapa kita lakukan, waktu itu kalau gak salah pemberian dari satu negara kepada pemerintah Indonesia dan sudah lama alatnya tidak digunakan karena walaupun secara peringkat Indonesia berada pada posisi nomor tiga penderita TBC di dunia, tetapi semakin hari akan semakin berkurang. Jadi penggunaan alat itu juga semakin sedikit. Tetapi karena jumlahnya cukup banyak, saya dengar dari tim pakar Gugus Tugas itu juga banyak, ada yang bisa sampai 300 unit yang bisa digunakan. Makanya Kementerian Kesehatan mendatangkan Gene Xpert dan juga Abbots tadi. 

Satu juta reagen itu didistribusikan ke seluruh Indonesia. Sudah ada 25 provinsi yang menggunakan mesin PCR untuk swab test dan setiap laboratorium itu sudah diatur. Laboratorium yang sudah punya pengalaman yang petugasnya sudah terlatih dikasih lebih banyak. Nah sementara yang masih baru, masih belajar, sedikit lebih kecil gitu sampai akhirnya mereka terlatih.

Sekarang satu kendala kita adalah karena masih baru, kalau (tenaga laboratorium) yang sudah lama itu sudah sangat terampil sehingga kecepatannya (mendapatkan hasil tes) semakin bagus. Kekurangan tenaga lab ini kita akan tutupi dengan pelatihan video conference, dimulai besok.

Jadi, di 25 provinsi tidak semuanya baru. Gugus Tugas minta bantuan kepada Ketua Umum PB IDI, Pak Daeng Faqih, supaya ikut mem-backup kita dan saya sudah membuat surat memohon kepada seluruh Gugus Tugas Provinsi untuk melibatkan IDI wilayah dalam proses testing, jadi proses ini sudah menjadi program prioritas. Presiden setiap rapat bertanya, berapa kemampuan kita? Sejauh mana hasilnya?

Kapan bisa tes 10 ribu sehari?

Paling tidak mungkin butuh waktu dua minggu melatih setiap petugas lab untuk jadi terampil. Jadi kalau sekarang ini rata-rata satu orang tenaga lab, itu hanya bisa mungkin satu kali putaran, artinya delapan jam. Nah, kalau misalnya kita ingin lebih banyak lagi hasil tes, kita harus melipatgandakan jumlah tenaga tugasnya, nanti di-mix tenaga baru dengan yang senior, bisa menjadi dua kelompok

Pengadaan 1.500 Genexpert untuk uji coba itu, setahu saya sudah dibagikan. Sekarang ini ada 59 lab yang beroperasi. Berpotensi akan tambah lagi, beberapa sumbangan dari donatur untuk mesin PCR ini datang, kemudian memang kita dukung untuk menambah di tiap-tiap provinsi yang belum ada. Nah, kenapa ini harus kita optimalkan karena kita kan tidak tahu kapan ini akan berakhir dan upaya menjaring mereka yang berpotensi sebagai positif COVID-19 kan harus terus-menerus, semakin banyak mesin PCR untuk swab test ini semakin bagus. 

Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBBIDN Times/Nena Zakiah

Di daerah yang sudah red zone, kemampuan untuk persiapan melakukan PCR test itu sudah dipenuhi. Termasuk Jakarta, kalau Jakarta masih ada masalah gak untuk kapasitas melakukan itu dengan kebutuhan?

Kita sudah optimistislah, Jakarta sudah optimistis. Kalau gak salah ada 16 mesin PCR di Jakarta. Paling banyak. Beberapa Rumah Sakit malah sudah bisa mandiri. Total rumah sakit untuk pasien COVID-19 ini, dari pemerintah pusat memberikan rujukan sebanyak 172 rumah sakit, kemudian dari pemerintah provinsi ada juga, total semuanya ada 668 rumah sakit rujukan untuk pasien COVID.

Khusus untuk penderita COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, beberapa hari yang lalu saya mendapat penjelasan dari Dirjen Pelayanan Kesehatan, Pak Bambang, Pak Bambang ini ruangannya di sini nih, di sebelah meja saya. Nah, dia mengatakan kepada saya, secara total jumlah pasien yang dirawat telah mencapai 73 persen dari jumlah bed yang tersedia. Kemudian baru saja dapat laporan untuk RSPI itu jumlah tempat tidur dengan jumlah pasien yang dirawat baru terisi 50 persen.

Insya Allah ya sekarang lebih tenang gitu, gak kewalahan lagi. Kalau hari pertama, Uni, sampai dengan awal minggu keempat kita nyaris gak istirahat di sini. Karena hampir tiap malam melayani permintaan, ada yang kenal baik ada yang sama sekali gak kenal, Uni, yang minta tolong, kemudian menjelaskan bahwa saudaranya ada di taksi butuh rumah sakit dan tentu saya tidak mungkin mau lepas tangan begitu saja. Saya berusaha untuk mencari informasi, di mana letak rumah sakit yang masih ada bed yang masih kosong begitu dan itu relatif penuh semua.

Jadi tingkat stres kami waktu itu luar biasa karena permintaan dari masyarakat yang lagi kesulitan mendapatkan perawatan. Saya sebagai kepala Gugus Tugas pun begitu sulit mendapatkan tempat bagi masyarakat yang minta tolong ke saya, apalagi orang lain ya. Tetapi setelah rumah sakit darurat Wisma Atlet itu beroperasi, sudah mulai berkurang dan dua minggu terakhir ini terjadi pengurangan pasien di rumah sakit termasuk di RSPI Sulianti Saroso.

Selama ini kita melihat RSPI Sulianti Saroso penuh terus kan. Direktur utamanya datang ke mari menjelaskan, mulai hari pertama sejak keputusan status pemerintah membuat darurat  bencana untuk COVID ini, penuh terus ya. Dan terakhir, bahkan disampaikan ruang IGD itu pun terpakai. Mudah-mudahan gak ada tambahan lagi, cukup seperti ini atau makin lama makin berkurang gitu.

Bagaimana dengan prediksi di Jakarta bisa terinfeksi 700 ribuan? Apakah RS siap?

Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBBKepala BNPB Doni Monardo (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Ya, analisa, perkiraan, bisa saja. Namun kembali ke salah satu kekuatan kita adalah upaya pencegahan dan sekarang juga ada kerjasama Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas dengan platform Unicorn yang mengelola dokter online, telemedicine. Presiden mengatakan itu rumah sakit tanpa dinding, dan ternyata sangat efektif. Menteri kesehatan dua minggu yang lalu melapor ke Presiden, yang biasanya pasien itu konsultasinya tentang COVID-19, sekarang sudah beralih ke bukan COVID-19, jadi jenis penyakit yang lain.

Jadi ini data-data kami ikuti terus dan di tiap daerah diikuti terus, bahkan beberapa gubernur ada yang menyiapkan hotel untuk menampung masyarakat yang kurang mampu. Jadi kekhawatiran Uni tadi tentang kemungkinan terjadi penumpukan di rumah sakit yang mengakibatkan rumah sakit lumpuh, mudah-mudahan tidak akan terjadi. Selama kita bekerja keras untuk mengajak masyarakat menjaga kesehatan dan ketika mengalami gejala yang mungkin kurang menyenangkan, demam tidak terlalu berat, ya harus berusaha untuk mengobati diri sendiri. Pola seperti ini harus menjadi salah satu bagian yang diikuti masyarakat.

Jadi bagaimana kita bisa meningkatkan pengetahuan COVID-19 ini, penting ya karena kalau sudah sakit berat kritis, tentu itu yang harus dibawa ke rumah sakit. Selama masih bisa mengikuti aktivitas secara mandiri di rumah ya lebih baik di rumah. Kalau kita sudah semakin tahu tentang COVID-19 ini, lama-lama kita harus berpikir ternyata dokter terbaik itu bukan di rumah sakit. Dokter terbaik itu adalah diri kita sendiri. Ketika kita merasa gejala badan tidak enak, kita konsultasi pakai telemedicine, kemudian kita berinisiatif untuk testing ternyata positif, misalnya, ya kita harus bisa mengerti bagaimana melakukan berbagai macam upaya untuk bisa pulih.

Obatnya kan tidak ada. Dokter rumah sakit harus menjadi benteng terakhir. Jangan sampai kita membiarkan dokter kita kelelahan. Dokter kita tidak cukup istirahat, akibatnya dokter kita akan berkurang dan menurun imunitasnya, dan ini berbahaya untuk dokter. Kita tidak ingin kehilangan dokter. Uni, sebagai informasi saja rasio dokter kita dengan jumlah penduduk, kita memiliki dokter spesialis itu jumlahnya 34 ribu sekian ratus, itu dokter spesialis. Kemudian dokter total dokter umum, dan dokter spesialis ditotal itu kurang dari 200 ribu. Artinya, 1 orang dokter Indonesia baik umum maupun spesialis itu harus melayani sekitar 1.300 orang warga negara kita.

Nah kalau kita lihat lagi dengan kasus yang sekarang ini yang hubungannya dengan penyakit paru ya, COVID-19, jumlah dokter spesialis paru-paru kita itu 1.970-an. Berarti satu orang dokter paru harus melayani 1,2 juta warga negara kita. Alangkah menyesalnya kita, ketika membiarkan dokter kewalahan, kesulitan, lantas ada dokter yang wafat. Berarti satu dokter yang wafat, kita akan kehilangan dokter paru untuk perawatan 1,2 juta masyarakat.

Makanya kita harus sadar, bangsa Indonesia dengan segala keterbatasan ini, maka yang perlu kita lakukan adalah bagaimana kita jangan masuk ke ruang medis. Sementara kita dengan jumlah penduduk yang besar ini tentu harus memikirkan langkah strategi yang harus dilakukan agar beban itu tidak masuk ke rumah sakit.

Kekuatan kita itu ada di tengah masyarakat, yaitu dengan gotong royong, dengan bersatu. Kampanye untuk melakukan protokol kesehatan yang paling hebat lagi adalah harus mengerahkan tokoh-tokoh nonformal. Banyak daerah yang sekarang mengedepankan tokoh nonformal-formal untuk mengingatkan.

Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBBIDN Times/Dhana Kencana

Hari ini (Selasa 5 Mei 2020) maestro seniman, Didi Kempot meninggal dunia. Saya dapat informasi, bahwa sebenarnya Bang Doni sempat komunikasi akan kerja sama dengan almarhum?

Saya diberitahu oleh Pak Tommy (wartawan senior Suryopratomo), saya diminta untuk memberikan testimoni kepada Mas Didi Kempot tentang apa yang telah dia lakukan termasuk menyampaikan ucapan terima kasih. Itu saya lakukan hari Sabtu berarti 3 atau 4 hari yang lalu. Saya rekam video, intinya saya menjelaskan bahwa para pahlawan dulu yang melawan penjajah menggunakan senjata mengusir penjajah.

Pahlawan masa kini yang menangani COVID-19 adalah para dokter yang menjadi pahlawan kemanusiaan untuk menyelamatkan begitu banyaknya masyarakat. Para budayawan, para seniman pun bisa menjadi bagian dari pahlawan kemanusiaan, karena mereka bisa mengajak masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan. Itu pesan yang saya sampaikan kepada Mas Didi Kempot, karena Mas Didi Kempot bisa melakukan berbagai upaya untuk membantu masyarakat.

Kemudian ada rencana beliau akan ke Jakarta untuk membahas sebuah program yang intinya adalah bagaimana kita akan membangun sebuah narasi supaya tidak terpapar virus COVID-19. Harus jaga jarak, jaga diri sendiri, jaga keluarga, jaga lingkungan, kemudian juga jaga ketahanan kesehatan kita agar semakin bagus, kemudian bersatu. Ini adalah bagaimana kita bersatu memberikan dukungan dan bantuan kepada masyarakat yang terdampak.

Jadi yang pertama itu bersatu, ulang ya apa namanya berjaga untuk terhindar dari terpapar COVID-19, bersatu itu  agar tidak terkapar karena kehilangan pekerjaan. Nah, kemudian poin yang terakhir adalah berjaya, percaya ini adalah sebuah proses usaha kita semua untuk menuju suatu keberhasilan. Kebetulan 17 Agustus kan Hari Kemerdekaan, kita harapkan (saat itu) kita berjaya telah berhasil menangani COVID-19.

Tapi ini harus didukung dengan seluruh komponen untuk disiplin untuk patuh untuk taat. Mas Tommy mengatakan perlu ada satu figur yang bisa menggerakkan seluruh kekuatan masyarakat kita agar bisa ikut dalam program ini. Beliau menyarankan figur Didi Kempot.

Soal data terinfeksi, meninggal dunia, masih kontroversi. Soalnya jumlah testing belum memadai, dan hasilnya pun lambat, bisa 14 hari. Apakah bisa diperbaiki?

Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBBDok. Istimewa

Jadi memang sudah beberapa waktu ya paling tidak tiga minggu terakhir ini setiap ada rapat COVID-19, kita evaluasi data. Saya ini baru bisa optimal pada saat ada Keppres Nomor 12 tahun 2020, yang mana bencana sekarang ini dinyatakan sebagai bencana non alam, menjadi bencana nasional. Jadi buat akses ke data. Kemudian keppres itu juga  telah memberikan instruksi bahwa seluruh gubernur bupati, walikota, adalah kepala Gugus Tugas di tingkat provinsi, kabupaten/kota. Nah sebelumnya data-data ini berbeda, selalu ini berbeda, karena ada BPBD itu laporannya ke BNPB, kemudian ada dinas kesehatan itu laporannya ke Pusdatin Kementerian Kesehatan.

Setelah terbentuknya Gugus Tugas di tingkat provinsi, maka saya mengatakan setiap Gugus Tugas harus punya satu posko, tidak boleh polisi buat posko sendiri, TNI buat posko sendiri, nanti ada bunda juga buat posko sendiri, Dinkes buat posko sendiri, gak boleh. Semua harus berada pada satu sistem terintegrasi di bawah kendali Gugus Tugas provinsi atau gubernur. Nah di dalam organisasi Gugus Tugas daerah ini ada unsur TNI, ada unsur Polri, ada unsur Kemkominfo, ada unsur BIN, ada unsur dari Dinas Kesehatan,  BPBD.

Sebelum dilaporkan ke Jakarta, seluruh data harus berada pada satu titik dulu sehingga ketika dilaporkan itu tidak ada lagi perbedaan. Ini sedang berproses tetapi kita lihat juga datanya semakin hari semakin akurat. Hanya waktu pelaporan, ya mungkin di sini adalah masalah waktu ya, tetapi secara organisasi saya sudah mengatakan seluruh provinsi itu wajib melaporkan datanya. Apapun yang terjadi kepada Gugus Tugas Pusat tidak boleh ada yang lain, sehingga semua harus mengambil data dari yang ada di Pusdalop-nya Gugus Tugas Pusat.

Jadi kalau data-data yang lama tentu kita lihat memang ada selisih perbedaan antara yang meninggal dengan status meninggal karena waktu itu kita belum memiliki reagen PCR untuk test sehingga pada saat ada yang wafat kemudian statusnya ODP, tetapi karena belum diperiksa maka belum ketahuan hasilnya jadi tidak dimasukkan sebagai wafat karena COVID-19 begitu.

Menurut Anda, kapan situasi pandemik di Indonesia membaik?

Kalau dilihat kurvanya, sekarang DKI kan mulai perlambatan kecuali hari ini ada penambahan kasus positif cukup besar. Tetapi kalau dilihat yang dirawat di rumah sakit, kemudian yang sakit, kemudian yang meninggal, terjadi penurunan. Hanya peningkatan adalah yang terkonfirmasi positif secara umum sebenarnya, walaupun sudah ada data terkonfirmasi, ini karena kita semakin agresif melakukan testing.

Jadi pasti akan ada penambahan tetapi yang perlu kita lihat lagi adalah berapa pasien yang dirawat di rumah sakit, kemudian kita lihat beberapa pasien yang sudah sembuh jumlahnya berapa, semakin besar. Ya kemudian kita lihat beberapa yang wafat terutama yang sudah terdaftar sebagai pasien positif. Nah kalau bisa kita jaga momentum ini ya sangat mungkin proses PSBB bisa berakhir lebih awal. Tentu setelah Lebaran ya, artinya masuk ke dalam periode bulan Juni, Juli sudah mulai penurunan sehingga diharapkan akhir Juli.

Jadi peak-nya Mei, kemudian awal Juni sudah mulai berkurang, kemudian awal Juli sudah semakin menurun lagi. Akhir Juli kita harapkan sudah mulai, kalau 100 persen untuk tidak ada lagi yang terkonfirmasi rasanya itu sulit sekali ya. Kita lihat ada negara yang tadinya sudah merasa aman ternyata kena gelombang kedua dan ini pun harus kita waspadai. Pak Presiden juga mengatakan hati-hati ya dan selalu melakukan antisipasi karena ibarat kita begini, kita tekan bola atau balon satu sisi nanti yang lain melembung nih. Nah begitu nanti yang salah satu diangkat lagi, nanti berubah lagi.

Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBBANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna

Ini juga diingatkan banyak pakar, adalah situasi pingpong satu daerah sudah selesai daerah lain belum. Nanti daerah yang masih belum, menulari lagi yang sudah mulai pulih. Selama dunia belum berhasil menemukan vaksin, ya tentu belum ada yang aman. Berapa lama? Saya rasa belum ada satu pun pakar yang berani mengatakan kapan akan berakhir. Tinggal sekarang kapan vaksin kira-kira bisa diakui sebagai salah satu faktor untuk membuat orang tidak terpapar, ditemukan. Kita harus mempersiapkan diri dengan hidup normal gaya baru, new normal, jadi ke mana-mana harus pakai masker, harus selalu jaga jarak, tidak bisa lagi salaman seperti yang lalu termasuk juga berpelukan.

Nah kita harus mempersiapkan semuanya bagaimana nanti pabrik harus mengurangi karyawan kantor, juga restoran termasuk juga mungkin bioskop ya, bioskop yang selama ini duduknya dempet ya harus ada pemisahan jarak.

Kita masih diminta untuk melakukan pengkajian anak sekolah kira-kira kapan tepatnya untuk mulai, tapi bertahap. Saya harus banyak diskusi menerima masukan dari berbagai macam pihak. Bahkan hampir setiap malam itu saya harus menjawab beberapa pertanyaan dan juga saran, masukan yang diberikan kepada saya untuk saya jelaskan kembali. Kalau saran yang bagus saya akan jadikan bagian dari program yang sedang dilakukan. Kalau seandainya mungkin sedikit berbeda ya saya ucapkan terima kasih.

Dari awal saya melihat masalah COVID-19 ini tidak bisa hanya diselesaikan oleh medis. Makanya kami sepakat Gugus Tugas ini kita harus memperbesar porsi bidang psikologisnya supaya masyarakat jangan semuanya lari ke medis yang seperti Uni katakan tadi, kita tidak ingin rumah sakit kewalahan.

Yang kedua, persoalan yang juga sangat berat adalah ego sektoral. Jika sebelumnya anak buah saya prajurit semua dengan mudah saya bisa berbicara A, dilaksanakan A, ternyata di sini tidak. Dan, di sinilah tantangan bagaimana saya harus memimpin dengan segala kesabaran, tidak boleh cepat marah, tapi juga tidak boleh membiarkan ketika ada sesuatu yang saya lihat bertentangan dengan prinsip-prinsip untuk kebaikan bangsa dan negara.

Di situ tampil tentara saya, jadi begitu saya lihat ini harus ambil ke langkah-langkah yang tegas, maka saya harus adil untuk memberikan suatu penegasan bahwa yang kita lakukan hari ini adalah bagaimana kita mampu secara cepat untuk melindungi kepentingan bangsa, jangan lagi membawa apa namanya latar belakang dari institusi. Alhamdulillah sekarang sudah melebur, tetapi awalnya sulit sekali.

Yang ketiga, masalah yang berhubungan dengan pemberitaan. Jadi saya merasa bahwa upaya-upaya mengajak masyarakat ini yang paling besar itu berada di tangan media, pers, terutama dari data yang saya peroleh itu televisi dan radio 63 persen. Jadi saya pun berusaha semaksimal mungkin bagaimana kiranya seluruh komponen yang berada pada program, untuk sosialisasi ini, bisa bersatu bisa menjadikan satu kesempatan di mana rakyat mendapatkan informasi yang arahnya kepada narasi positif. Tetapi tentu tidak mudah.

Namun secara perlahan saya lihat semangatnya pada akhirnya mulai ada sebuah kesungguhan bahwa tidak ada gunanya mencari kesalahan siapa pun, karena tidak ada pemberitaan negara mana pun yang sangat siap menghadapi masalah COVID-19 ini.

Seperti apa komunikasi yang bakal dijalankan? Yang berbeda dengan yang sudah berjalan?

Pandemik Corona, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Evaluasi PSBBDoni Monardo Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (IDN Times/Fiqih Damar Jati)

Data mengatakan 70 persen seseorang terpapar itu karena tangan ya. Inilah yang perlu kita lakukan penjelasan kepada publik. Kenapa Anda harus cuci tangan, kenapa harus pakai masker dan harus disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Kalau kita berbicara tentang sosial dengan physical distancing, publik di bawah gak ngerti.

Jadi ada beberapa persoalan yang kita hadapi. Dari awal konsep gugus tugas ini adalah metode kolaborasi pentahelix, berbasis komunitas, gotong royong, dan bersatu. Siapa saja di situ, mulai dari pemerintah kemudian akademisi, peneliti, kemudian yang ketiga dunia usaha, kemudian yang keempatnya adalah komunitas, di sini ada LSM tokoh masyarakat dan tokoh agama, tokoh-tokoh non formal lainnya, dan yang terakhir media. Kalau ini bisa kita rangkai sebagai sebuah komponen yang bersatu, maka tidak sulit.

Jadi boleh mudik gak?

Sama sekali tidak boleh ya. Tidak boleh mudik. Titik! Kegiatan untuk urusan pelayanan dasar masyarakat, untuk sektor pertahanan, keamanan, ketertiban sektor kesehatan, kargo, penanganan COVID sendiri itu kan tidak mungkin tidak berpindah. Ada spesimen yang harus dibawa dari satu daerah ke daerah lain, jangan terhambat. Kalau gak ada pesawat akan terganggu semua. Jadi pengecualian sangat ketat.

Reporter: Aldzah Fatimah Aditya

https://www.youtube.com/embed/ih0g41VpUqM

Baca Juga: YLKI: Larangan Mudik Direlaksasi Itu Kebijakan Blunder

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya