[Wawancara Khusus] Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto

Kisah pergulatan di tiga ruang redaksi

Jakarta, IDN Times - Nama lengkapnya Ishadi Soetopo Kartosapoetro. Khalayak, terutama yang mengikuti perkembangan dunia komunikasi dan media massa di Indonesia, mengenalnya dengan nama Ishadi SK.

Jejak keterlibatannya di dunia media massa mungkin paling lengkap.  Apalagi di dunia televisi. Namanya menanjak ketika dia menjadi direktur utama Televisi Republik Indonesia (TVRI). Dia juga membidani lahirnya dua stasiun televisi swasta, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan Trans TV.

Ketika tuntutan reformasi menggelinding, Mei 1998, Ishadi SK menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio Televisi dan Film (RTF) di Departemen Penerangan.  

Pergulatan yang terjadi di ruang redaksi (newsroom) televisi saat terjadi gelombang tuntutan reformasi 1998 menarik minat Ishadi. Dia menjadikan tema ini sebagai bahan disertasi doktor di Universitas Indonesia. Disertasi itu kemudian dibukukan dengan judul: Media dan Kekuasaan; Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto.

Jakob Oetama, pendiri Kelompok Kompas dan Gramedia menuliskan kata pengantar di buku itu. Antaralain bunyinya, “Elastisitas dalam media massa pada umumnya sangat dinamis termasuk media televisi. Sehingga, ketika pasca lengser-nya Soeharto, tahun 1998, termasuk TVRI dan RRI yang sebelumnya menjadi satu-satunya pemilik kebenaran informasi, runtuh dan masuk dalam kelompok dan semangat kegiatan jurnalistik umumnya, - termasuk tiga televisi swasta yang didirikan putra-putra Soeharto - menjadi bagian dari lembaga publik seperti halnya televisi dan radio swasta lainnya.”

Jakob melanjutkan, “Mereka (televisi dan radio swasta) ramai-ramai menumbangkan dominasi kekuasaan ideologis dan legitimasi kekuasaan Soeharto. Dalam kasus televisi di Indonesia, ibaratnya anak yang dilahirkan ikut memakan ibu yang melahirkan.”

Disertasi Ishadi adalah catatan rinci di balik layar pergulatan di RCTI, SCTV, dan Indosiar, ketiganya dimiliki oleh keluarga dan pengusaha kroni Soeharto saat itu.

Saat bertemu dengan IDN Times, Selasa, 1 Mei 2018, Ishadi nampak masih enerjik di usianya yang ke-75 tahun. Kami bertemu, mengobrol dan menikmati sajian kedai kopi yang terletak di mal, di kawasan Jakarta Selatan. “Wah, saya jadi nostalgia nih, membaca kembali buku saya,” canda Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) ini.  

Dia juga menyentil wartawan zaman kini yang sebagian larut dalam dukung-mendukung kekuasaan. 

Baca juga: Kronologi Reformasi Mei 1998, Terjungkalnya Kekuasaan Soeharto

1. Mengapa Anda membuat studi khusus untuk mengenai pergulatan di newsroom tiga televisi milik keluarga dan kroni Presiden Soeharto?

[Wawancara Khusus] Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden SoehartoIDN Times/Uni Lubis

Saya waktu itu membaca disertasi dari seorang profesor di Amerika, Edward Jay Epstein. Di situ pertama kali ruang redaksi (newsroom) di Amerika berhasil diteliti dan dijadikan disertasi. Kenapa? Orang-orang news itu kan kaku, angkuh, arogan, eksklusif, tidak mau diganggu, tidak mau diwawancara walaupun mereka ahli wawancara, pekerjaannya wawancara. Jadi, newsroom itu jarang sekali bisa diteliti. Tidak boleh ada peneliti-peneliti yang masuk ke ruang newsroom karena sangat eksklusif. 

Waktu itu dia (Edward, red) berhasil masuk dan saya terpikir ini sebuah gagasan bagus karena saya bekerja di televisi, saya paham televisi, saya kerja di TVRI waktu itu dan kemudian ketika krisis Mei 1998 saya jadi Dirjen Radio Televisi dan Film (RTF). Jadi saya mempunyai akses, pandangan, kontak, dan tugas yang luas berkaitan dengan krisis Mei 1998. Tapi saya sendiri dari awal sudah mengatakan "Saya ini seorang jurnalis. Sampai kapan pun saya adalah seorang jurnalis yang bebas dan selalu memberitakan hal-hal yang benar".

(Dalam bukunya, Ishadi menuliskan, “Penelitian terinspirasi oleh Edward Jay Epstein, yang menulis disertasi dengan meneliti aktivitas, pengumpulan, proses dan penyiaran berita di tiga stasiun ruang berita televisi NBC, CBS, dan ABC di AS. Penelitiannya merupakan yang pertama kali dilakukan di ruang berita televisi di AS. Dia melakukannya untuk meraih gelar doktor di Harvard University, dan kemudian dibukukan dengan judul News From Nowhere: Television and The News (1974).”

Setelah kasus Mei 1998, ada kesempatan ini terbuka. Kenapa? Karena saya akhirnya bisa membuat sebuah analisa, perbandingan, karya ilmiah yang berkaitan dengan pergolakan di newsroom karena saya tahu betul bahwa orang-orang news baik di RCTI, SCTV, Indosiar waktu itu saya yakin betul mereka adalah jurnalis sejati. Mereka tentu tidak sepakat dengan apa yang sudah dilakukan oleh rezim Soeharto akhir-akhir 1997, masuk ke 1998. 

Waktu itu kan (Soeharto) sangat berkuasa. Koran-koran diberedel, segala macam. Saya yakin mereka (jurnalis) mempunyai semangat untuk melawan. Jadi, saya akan teliti apakah benar semangat itu ada. Apakah benar bahwa mereka meskipun digaji dan bekerja di sebuah perusahaan yang kebetulan waktu itu owner-nya bagian dari pemerintahan, berani melakukan perlawanan? Dan ternyata terbukti kasusnya ada tiga (televisi).

2. Bagaimana hasil penelitian pergulatan di tiga newsroom saat meliput Reformasi Mei 1998?

[Wawancara Khusus] Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden SoehartoIDN Times/Rochmanudin

Pertama, kasus RCTI. Ketika dia menayangkan pernyataan Ketua DPR/MPR Harmoko yang meminta  Soeharto mengundurkan diri. Itu eksklusif RCTI, saya tahu betul. Karena itu saya dalami di sana, dan saya menemukan betul ada perlawanan luar biasa, ada tarik-menarik, kontestasi yang sangat sengit antara pemilik dan para jurnalis di sana yang akhirnya konflik itu dimenangkan oleh jurnalis. 

Kedua, dalam kasus SCTV, saya cari kasus-kasusnya, ditemukan kasus "Cabut Gigi" Ira Koesno. Ira Koesno mewawancarai Sarwono Kusumaatmadja, tokoh Golkar, yang saat itu sudah sangat keras menentang pemerintahan Soeharto. Wawancara dilakukan di program berita Liputan6. Walaupun akhirnya Pak Sarwono mau dibujuk untuk bersikap halus, tapi dia menggunakan istilah cabut gigi dengan mengatakan "Kalau satu gigi yang sakit, ya dicabut saja gigi yang sakit itu supaya gigi-gigi yang lain bisa berfungsi sebagaimana mestinya." 

Nah, cabut gigi menurut data Dinas Intelijen TNI mengatakan itu adalah sinyal yang dimaksud 'kalau ada orang yang mengatakan cabut gigi di televisi' artinya mahasiswa harus bergerak. Jadi itu dianggap pemicu dari gerakan mahasiswa berikutnya. Karena itu marah sekali Pak Menteri Penerangan R Hartono, Peter F Gontha (pimpinan SCTV), Harmoko, Panglima ABRI Wiranto dan pimpinan TNI AD ke Liputan6. 

Memang terjadi korban karena Sumita Tobing, direktur pemberitaan Liputan6 SCTV dipecat, Don Bosco, produser eksekutif Liputan6 diskors, Ira Koesno diskors, dan berita wawancara Liputan6 yang belum selesai harus dihentikan. Ini sebuah pukulan yang luar biasa.Tapi saya melihat ada pemberontakan di situ.

(Dalam bukunya, Ishadi memuat bantahan Peter F Gontha: “yang saya lakukan adalah meminta mereka untuk tidak bekerja sementara sampai Harmoko atau pejabat lainnya melupakan, setelah itu mereka diizinkan kembali bekerja. Dalam kasus pemecatan Ira Koesno dan Sumita Tobing, skenarionya sama. Mereka hanya diberhentikan sementara. Sumita Tobing menerima, namun Ira Koesno menolak karena waktu itu suasana sudah sangat dipengaruhi oleh reformasi. Sementara penolakan Ira Koesno didukung oleh seluruh karyawan sehingga saya membatalkan.”)

[Wawancara Khusus] Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden SoehartoIDN Times/Sukma Shakti

Ketiga Indosiar. Mereka lebih cerdik ketika membuat program berita. Yang membuat pihak lain, nama beritanya, Fokus. Indosiar merekrut seorang redaktur Kompas, Dedy Pristiwanto. Dia dikenal orang yang cukup keras di Kompas. Dia direkrut untuk memimpin Fokus. Dalam struktur pemberitaan Indosiar Mei 1998, pemrednya adalah Kepala Penerangan ABRI, dan dia yang meneliti setiap berita, harus lewat persetujuan dia sebelum bisa ditayangkan. 

Dedi ini orang yang keras, wartawan yang keras. Tanggal 20 Mei malam dia sudah dapat bocoran bahwa Soeharto akan mengundurkan diri pada pukul 10 tanggal 21 Mei 1998. Banyak wartawan yang dapat bocoran, tapi semuanya diperintahkan untuk tidak menyiarkan. 

Semuanya patuh, kecuali Dedi Pristiwanto. Dia menyiarkannya pada pukul 6 pagi pada 21 Mei 1998. Kenapa tentara--siapa pun yang sudah mulai menentang Soeharto--takut kalau berita disiarkan? Karena mengetahui bahwa Soeharto masih sangat berkuasa. Bisa saja kalau sudah diumumkan oleh media, Pak Harto membatalkan pengunduran dirinya karena dia masih sangat kuat. Seluruh tentara, TNI, ABRI, Golkar, masih solid di belakang Soeharto. 

Nah, tapi kan disiarkan pagi hari, dampaknya tidak terlalu keras. Meskipun itu merupakan suatu keberanian, karena risikonya seperti itu. Dia mengatakan pada saya dalam wawancara "Sebelum saya membacakan berita itu, saya sudah minta keluarga saya mengungsi karena saya tahu risikonya kalau saya ditangkap". Jadi setelah diberitakan, jam 6 sampai jam 10 dia merasa sangat khawatir kalau misalnya Soeharto gak jadi mundur. Tapi kenyataannya jam 10 pagi Pak Harto menyatakan mundur. 

Jadi itulah gambaran apa yang terjadi di dalam newsroom, tiga televisi paling utama waktu itu, membuktikan ada perlawanan dalam newsroom. Ini menarik untuk dibahas.

3. Seberapa besar peran dari media massa arus utama saat itu, termasuk tiga televisi tersebut dalam menyebarluaskan semangat reformasi yang memaksa Soeharto lengser?

[Wawancara Khusus] Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden SoehartoIDN Times/Uni Lubis

Televisi itu sangat besar pengaruhnya dan memang ketika mulai ada perlawanan dari mahasiswa, ada tarik menarik, ada pemerintah yang mencoba untuk mengganti pemerintahan, itu semakin kuat. Tiga stasiun televisi itu dinilai bagian dari Cendana (rumah pribadi Presiden Soeharto, red) yang sangat kuat. Jadi, mereka sangat hati-hati dalam menyiarkan berita. Sampai kemudian terjadi tiga kasus tadi. 

Itu pun terjadinya pada tanggal 16-20 Mei 1998. Hanya lima hari mereka akhirnya berani mengambil keputusan untuk memberitakan fakta yang sesungguhnya terjadi. Berani untuk dalam kasus RCTI, menayangkan berulang-ulang pernyataan Harmoko yang meminta agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Padahal dia adalah ketua MPR. Kita tahu Harmoko waktu itu adalah menteri yang sangat dibanggakan, sangat diandalkan Soeharto, 15 tahun dia memimpin, bahkan menjadi ketua DPR dan MPR sekaligus. Jadi sangat powerfull

Sampai kemudian tanggal 18 Mei dia memberikan pernyataan supaya Soeharto mundur. Itu suatu hal yang sangat signifikan. Jadi Harmoko yang saat itu benteng untuk menjaga seluruh media di Indonesia agar tidak melakukan pemberitaan yang melawan pemerintah lewat berbagai aturan, kalau media cetak lewat pemberedelan, kalau TV lewat ajakan-ajakan tak langsung. Tetapi tanggal 18 Mei RCTI memecahkan suasana di mana mereka dianggap tak mampu menjadi bagian dari reformasi yang sedang bergulir. 

Jadi, tiga stasiun itu mulai 16 Mei sampai 20 Mei 1998 punya peranan yang sangat strategis di dalam mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung reformasi. Dan menurut saya itu juga salah satu reason dari Soeharto untuk secara bijaksana menyatakan dirinya mundur untuk menghindari perang saudara dan pertumpahan darah yang makin lama eskalasinya makin meningkat. 

Jadi peranan televisi dalam lima hari terakhir itu sangat besar. Sebelumnya RCTI dianggap stasiun televisi yang sangat takut, hati-hati, wartawa-wartawannya dicemooh oleh media cetak, khususnya sebagai wartawan penakut untuk memberitakan kebenaran. Jadi, lima hari itu menentukan.

4. Kini 20 tahun reformasi. Bagaimana peran media arus utama?

[Wawancara Khusus] Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden SoehartoIDN Times/Uni Lubis

Setelah reformasi terjadi perubahan besar. Yunus Yosfiah sebagai Menteri Penerangan waktu itu menghapuskan bredel, bahkan izin yang sebelumnya lewat berbagai syarat hanya tinggal tiga syarat. Pertama, kemampuan ekonomi, kedua, kemampuan mengelola koran, ketiga, syarat untuk hanya patuh pada NKRI. Jadi, hanya tiga syarat itu yang dijelaskan. Kalau sebelumnya syaratnya banyak, bahkan pemred dan wakil pemrednya harus dilakukan tes, diuji, harus anggota PWI, lulus pendidikan di Lemhanas pimpinannya. Jadi, setelah reformasi media cetak bebas.

Bagaimana dengan media televisi? Ini menarik. Saya waktu itu Dirjen RTF, dipanggil oleh Pak Yunus Yosfiah waktu itu Beliau Menteri Penerangan, yang juga lulusan Kopassus, jenderal bintang tiga. Dia mengatakan pada saya: "Pak Ishadi coba di-arrange mekanisme untuk membuka lagi kesempatan lima stasiun televisi swasta yang baru. Ada dua reason-nya, pertama  (alokasi) frekuensi yang tersedia tinggal lima, di Jakarta khususnya. Kedua, kalau dulu lima sekarang harus lima lagi. Dulu zaman Pak Soeharto lima, zaman reformasi harus ada lima yang baru."

Saya waktu mengatakan "Pak, 10 terlalu banyak, sedangkan lima pun terlalu banyak". Saya jelaskan mengenai situasi di Eropa, di Amerika. Namun dia menjawab "Gak, ini di Indonesia dan kita sedang reformasi".

Saya sarankan daripada membuat televisi baru lima, lebih baik bapak meminta lima stasiun televisi yang sudah ada milik pihak-pihak yang punya kedekatan dengan Pak Harto untuk menyerahkan stasiun televisi lama itu kepada yang baru dengan dijual. Tetapi dengan harga pasar, jadi bukan dengan harga yang merugikan mereka karena mereka kan juga sudah punya modal. 

Dia tetap gak setuju. Pokoknya ada lima yang baru. Ketika ada 10 stasiun televisi, persaingan jadi semakin ketat, padahal waktu zaman Pak  Harto, lima pun hanya tiga yang survive. Dua itu disubsidi oleh perusahaan-perusahaan induknya. Ketika 10 lebih parah lagi. Sampai akhirnya pada 2006-2007 terjadi konsolidasi. Waktu itu dimulai Trans TV mengambil TV 7milik Kompas yang sudah tidak mampu lagi untuk mengembangkan diri, lantas ganti nama menjadi Trans7.

Kemudian Hary Tanoe yang sudah memiliki RCTI berhasil mengakuisisi karena kemampuan bisnisnya menurun, Global dan MNC karena kasus. MNC jadi ada tiga, Global, RCTI, dan MNC, tadinya TPI. Transmedia ada dua, TransTV dan Trans7. Kemudian SCTV dengan Indosiar karena Indosiar mengalami tekanan politik maupun ekonomi, jadi lepas sahamnya ke SCTV. Nah, terakhir Lativi dibeli Grup Bakrie jadi TV One dan ANTV. Jadi akhirnya ada lima.

Saya berani mengatakan sekarang ini, suatu ketika kepemilikan televisi mungkin jadi tiga, karena tiga adalah paling ideal untuk membuat televisi survive sampai sekarang. Terlebih lagi dengan adanya media online. Kenyataannya, dalam lima tahun terakhir penonton televisi lima persen sudah tergerus oleh media online. Mereka tidak lagi menonton free to air, tapi mereka menonton live streaming, di gadget, di handphone khususnya anak-anak muda. Akibatnya, perolehan iklan televisi terus menurun. 

Tidak hanya itu, perolehan share televisi juga menurun. Lima tahun lalu, kita masih bisa mendapatkan share paling tinggi 17 share point, lewat itu 14, turun terus karena penonton televisi makin lama makin berkurang. 

Mereka (khalayak muda) sudah ada pilihan terutama di media online. Jangan lupa, sekarang ini iklan-iklan yang selama ini diperebutkan oleh televisi juga direbut Google, Facebook, YouTube. Mereka juga membuat program-program yang memungkinkan bisa menarik iklan dari existing television ini. Jadi asumi saya mungkin dalam 10 tahun akan ada perubahan yang sangat strategis, ada distrupsi, oleh istilah saya ada perubahan. Pilihannya berubah atau diubah. Kalau berubah, kita sendiri yang melakukan perubahan secara bertahap. Kalau diubah, dipaksalah orang lain untuk berubah.

Semua stasiun televisi sekarang sepakat harus melakukan perubahan. Ini sudah mulai dilakukan. Kita siap ke media online yang tak konvensional seperti sekarang. Jadi kalau dilihat dari pengaruh, pengaruhnya masih besar.

Baca juga: 5 Film Berlatar Peristiwa Mei 1998 yang Wajib Millennials Tonton

5. Apakah media saat ini masih kritis terhadap kekuasaan?

[Wawancara Khusus] Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden SoehartoIDN Times/Uni Lubis

Terbagi, terbelah. Ada media yang pimpinannya ketua partai. Kebetulan ketua partainya itu bagian dari pemerintah. Atau pilihannya ke pemerintah. Akibatnya berkurang sikap kritisnya, tidak berhenti sama sekali. Hanya sewaktu-waktu khususnya dengan Pilkada. Tapi saya ingin mengatakan apakah kampanye melalui media televisi terus-menerus mampu untuk memenangkan seseorang jadi presiden atau pimpinan pemerintahan? Tidak. Karena dari 10, sementara ini ada tiga yang televisinya dimiliki tokoh parpol, yaitu MNC Group sampai second point Viva Media Group dan Metro TV. 

Tapi saya mengatakan, belum pernah ada dalam sejarah, belum ada ceritanya dalam perpolitikan Indonesia, yang menguasai televisi menjadi presiden. Setelah Pak Harto ada Habibie, dia gak punya TV. Kemudian Gus Dur, Megawati, SBY, Jokowi. Gak punya TV, tapi didukung TV. Jadi, TV bisa mendukung, TV lebih obyektif. Kalau baik didukung, kalau gak baik dilawan. Dan selalu di dalam newsroom mereka bangga dengan ketidakberpihakan, kebebasan, karena itulah inti dari jurnalistik.

Topik:

Berita Terkini Lainnya