Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, Feri Amsari, menilai revisi undang-undang TNI tak ada yang menyinggung soal kesejahteraan prajurit TNI. Justru yang difokuskan memberikan ruang bagi prajurit TNI level perwira tinggi yang belum memiliki jabatan alias nonjob.
Data dari Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) menunjukkan, ada minimal 120 perwira tinggi yang nonjob dan 310 prajurit di level perwira menengah mengalami nasib serupa.
Salah satu poin di dalam revisi UU TNI yang menguatkan pandangan itu tertulis di dalam Pasal 47 Ayat 2 soal penugasan TNI di kementerian atau lembaga. Di dalam Undang-Undang Tahun 2004, prajurit TNI aktif boleh bertugas di 10 kementerian atau lembaga. Sedangkan, di revisi UU Tahun 2025, prajurit TNI aktif dibolehkan bertugas di 14 instansi sipil.
Prajurit TNI aktif yang dapat bertugas di instansi sipil itu diketahui memiliki pangkat perwira menengah hingga perwira tinggi. Sebab, jabatan sipil yang akan diemban ada di level eselon II ke atas.
"Inilah yang ditentang oleh masyarakat sipil. Mestinya yang dipikirkan pembuat undang-undang adalah kesejahteraan prajurit TNI, bukan membuat pekerjaan-pekerjaan yang malah merugikan prajurit karena mereka jadi tidak fokus kepada pekerjaannya," ujar Feri kepada media di Jakarta pada Sabtu (22/3/2025).
Ia mengatakan, usai disahkan pada Kamis, 20 Maret 2025, maka ada dua kerugian yang akan dialami oleh warga sipil.
"Pertama, pekerjaan warga sipil diambil. Kedua, kita tidak lagi memiliki militer yang profesional. Bagaimana pun peran dan kepentingan kita terhadap militer yang profesional luar biasa. Soal teritorial hingga ancaman global," tutur pemeran pria di film dokumenter "Dirty Vote" itu.
Ia menegaskan, yang dibutuhkan oleh para prajurit TNI adalah kesejahteraan bukan pekerjaan tambahan.