Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

WANSUS Panja RUU TNI: Bukan Pesanan, Dwifungsi ABRI Tidak Diberi Ruang

Ilustrasi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). (ANTARA FOTO/Aprilio Akbar)
Intinya sih...
  • DPR resmi meresmikan RUU TNI menjadi UU, meskipun masih banyak penolakan di masyarakat sipil
  • Pengesahan RUU TNI berdasarkan surat Presiden dan terus menuai kritik karena dinilai tidak transparan dan akuntabel
  • Anggota Panja RUU TNI membantah pembahasan tertutup, melibatkan para ahli, pengamat militer, dan elemen bangsa lainnya

Jakarta, IDN Times - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya meresmikan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi UU, meskipun gelombang penolakan terus bergema di kalangan masyarakat sipil.
Adapun pengesahan itu dilakukan dalam rapat paripurna ke-15 masa persidangan II DPR, yang digelar di Gedung Nusantara 1, pada Kamis (20/3/2025). Rapat dipimpin langsung Ketua DPR RI Puan Maharani. 

Mulanya, Puan meminta Ketua Komisi 1 DPR RI Fraksi PDIP sekaligus Ketua Panja RUU TNI Utut Adianto untuk menyampaikan laporan.

Dalam laporannya, Utut menegaskan, perubahan UU TNI tetap pada prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia (HAM), serta memenuhi ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah ditetapkan.

Selanjutanya, Puan meminta persetujuan kepada seluruh peserta rapat, apakah RUU TNI ini dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU.

"Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap rancangan undang-undang tentang perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia apakah dapat disetujui?" tanya Puan kepada peserta rapat.

Seluruh peserta rapat paripurna menyatakan setuju. Puan selanjutnya mengetok palu sidang. 

Pengesahan RUU TNI menjadi UU,  berangkat dari adanya surat Presiden bernomor R12/pres/02/2025 tanggal 13 Februari 2025 meminta supaya perubahan atas undang-undang ini segera dibahas bersama.

Kritik terhadap RUU TNI terus bergema. Terlebih, dalam pembahasannya dinilai tidak transparan dan akuntabel. Komisi 1 DPR RI bahkan menggelar rapat pembahasan lanjutan di sebuah hotel mewah di Jakarta selama dua hari.

Berikur petikan wawancara IDN Times bersama Anggota Panja RUU TNI sekaligus Komisi 1 DPR RI Fraksi PKB Oleh Soleh, terkait pembahasan RUU TNI yang terkesan buru-buru dan tertutup.

Komisi 1 terkesan hide and seek dalam membahas RUU TNI?

Pertama, saya mengklarifikasi dan ingin menjawab pertanyaan itu, sebenarnya kita membahas undang-undang TNI ini tidak buru-buru, tidak tertutup justru terbuka. Terkesan ini sebuah pesanan padahal kebutuhan.

Tidak ada, jadi ini UU yang sudah lama, carry over. UU ini sudah dari periode yang lalu bukan dadakan. Kami meminta pendapat para ahli, pengamat militer, pendapat koalisi masyarakat sipil. Tidak ada yang tertutup, tidak ada.

Apa alasan pembahasan konsiyering digelar di hotel mewah?

Dalam tatib diperbolehkan bahwa dalam pembahasan segala sesuatu yang memang dipandang perlu pencermatan yang lebih luas dapat dilakukan rapat di luar.

Memang kesannya ini muncul di tengah efisiensi. Kami memahami [kebijakan] efisiensi ini. Kami juga punya rasa, punya kepedulian terhadap keadilan masyarakat. 

Kita konsiyering itu hanya butuh koordinasi yang efektif agar tidak berjauhan. Kenapa butuh koordinasi yang efektif, karena kita akan membahas hal yang mencakup Indonesia apalagi soal TNI. 

Kita membahas dari pagi sampai malam, kita manusia bukan robot. Kita perlu istirahat, kemudian ketika terjadi harmonisasi, sinkronisasi penundaan dua jam, tiga jam kita mau gimana? 

Enam hari yang dialokasikan kita hanya pakai dua hari dan sisanya kita bahas di kantor, bukan di hotel. Yang dimaksud terbuka kami dalam penyusunan undang-undang ini melibatkan semua elemen bangsa.

Kalau nggak salah sampai 20, 30 elemen bangsa yang kami undang diminta pendapatnya diminta masukannya.

Nah, kalau misalnya berbicara kenapa ini seolah-olah, tidak seolah-olah ini di hotel, tidak melibatkan publik dalam pembahasannya, kalau semua elemen ikut membahas kira-kira selesai? Kan sudah ada yang mewakilkan ke DPR, Komisi 1. 

Kami meramu, meracik, memfilter keinginan masyrakat. Bagaimana keinginan pengamat, masyarakat sipil, dari pemerintah, dalam hal ini TNI. 

Banyak kekhawatiran, salah satunya RUU TNI menghidupkan Dwifungsi ABRI?

Kemarin sudah kita jelaskan, media-media sudah dipanggil semuanya. Apa yang berspekulasi itu tidak terjadi. 

Soal Dwifungsi ABRI tidak diberi ruang, soal TNI jabatan sipil tidak diberi ruang, karena yang diberi ruang yang berhubungan dengan polhukam. Soal perbatasan, kalau perbatasan dijabat sipil, kira-kira bagaimana?

Ada kekhawatiran TNI bisa ikut menghalau demo? Bagaimana penjelasannya?

Kami juga memahami, kami juga menanyakan bagaimana pemerintah ingin menggunakan ABRI dalam eksekusi tanah, atau misalnya dikerahkan untuk menghalau demo, bukan untuk perang.

Penjelasan seperti yang berinvestasi ini dijelaskan dalam peraturan pemerintah bagaimana teknis pelaksanaan, bagaimana pengamanan di darat dan perbatasan, itu aturan pelaksanaannya ada di dalam PP.

Kami juga memahaminya, mereka (TNI dan pemerintah) menjelaskan bahwa mereka tidak akan menyalahgunakan apa yang dipikirkan oleh warga. 

Kewenangan Presiden penuh dalam OMSP, bagaimana jaminan Komisi 1 terkait ini?

Saya memaham. Saya justru menghormati dan mengapresiasi kekhawatiran, kemudian mengingatkan kepada DPR karena memang DPR terkhusus Komisi 1 terwujud lagi panja punya pemikiran yang sama, punya keprihatinan yang sama dengan seluruh elemen bangsa yang mereduksi bahwa undang-undang ini menjadi belok, undang-undang ini dijadikan alat kekuasaan kembalinya Dwifungsi ABRI, kemudian TNI menguasai sektor-sektor jabatan sipi.

Bahkan ada yang lebih serem lagi berkomentar, apakah Indonesia mau di Myanmarkan. Kami menghargai kekhawatiran itu, juga ada di kami di Panja di Komisi 1. Nah kami berulang-ulang menayakan itu, tinggal sekarang soal kepercayaan, apakah kepercayaan ini juga akan dibangun, karena kalau rakyat tidak ada kepercayaan kepada pemerintah, kemudian pemerintah tidak nyaman memberikan itu, juga tidak membangun sebuah demokrasi yang bagus.

Demokrasi yang bagus itu titik awalnya adalah kepercayaan yang dibangun bersama, karena persatuan dan kesatuan itu, keutuhan NKRI ini, karena ada kepercayaaan. Satu suku dengan suku yang lain, satu bahasa dengan bahasa yang lain, karena ada kepercayaan.

Kalau misalkan hari ini terus-menerus digelindingkan seolah-olah tidak percaya kepada DPR, lalu konteks demokrasi kita bagaimana?

Bukankah trust ini muncul kalau seluruh prosesnya transparan?

Sebenarnya hari ini saya merasa tidak ada yang tertutup, kalau saya pribadi sebagai pelaku panja, dan bahkan ketua panja mengatakan bahwa pembahasan ini bersifat terbuka bukan tertutup. 

Semua fraksi setuju, kalau catatan PKB apa saja?

Fraksi PKB mensyarakatkan soal penguatan supremasi sipil, penempatan penempatan prajurit aktif hanya mencakup kementerian/lembaga yang membidangi strategi yang terkait pertahanan, keamanan. Rinciannya ada 14 kementerian/lembaga.

Karena memang ini sudah ada UU 34 Tahun 2010 dan Keppres ada 5. Dielaborasi, hanya memperkuat. Kami berencana menempatkannya di Badan Pengelola Perbatasan.
Logika saya karena perbatasan ini riskan, bagaimana penyelundupan senjata, narkoba, TPPO. Justru saya menyetujui ini karena ingin melindungi rakyat. Impor barang bekas, masyarakat sipil bisa ditangkap?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us