Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Press Briefing UN Indonesia di Kantor UN Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2024) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Jakarta, IDN Times - Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku di tiap daerah menciptakan hukum adat di dalamnya untuk menyelesaikan berbagai masalah. Hal ini tak terkecuali juga pada penanganan kasus kekerasan seksual melalui hukum adat. Namun, tak sedikit hukum adat yang memihak pada korban secara keseluruhan dan kerap kali malah merugikan korban.

Gender Programme Specialist United Nations sexual and reproductive health agency (UNFPA) Indonesia Risya Kori mengatakan ini berkenaan dengan living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga dinilai tak harmonis mengatur soal living law.

Salah satu contohnya adalah denda adat di Mentawai yang diselesaikan dengan ‘tulou’ atau denda adat yang tidak memberikan pemulihan pada korban.

“Karena ini kan bermuara dari ketidak harmonisan antara undang-undang TPKS sama KUHP yang memisahkan di situ ada Living Law. Jadi kalau kita mengacu pada undang-undang TPKS kan tidak ada restorasi justice. Semua harus pidana,” kata dia di United Nations The Resident Coordinator Office, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2024).

1. Harusnya kasus kekerasan seksual diselesaikan dengan pidana

Press Briefing UN Indonesia di Kantor UN Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2024) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sementara di living law, kata Risya jika mengacu pada KUHP justru ingin dilestarikannya hukum-hukum adat yang berlaku. Tidak hanya di Mentawai, di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga ada kawin tangkap.

“Jadi itu seharusnya tidak boleh. Semua harus pidana,” kata dia.

2. Upaya pembuatan kajian

Editorial Team

Tonton lebih seru di